Psychology | Learning | Parenting | Writing | Education

 

Perbedaan Analisis Level Rendah dan Analisis Level Tinggi

June 9, 2021 . by . in Creative Learning . 0 Comments

Sering kali orang mengatakan bahwa menggunakan konsep  atau teori untuk mengaji fakta adalah proses melakukan analisa. Padahal penggunaan referensi itu bisa dilakukan secara lebih mendalam. Karena itu level analisis yang dilakukan bisa berbeda, yang disebut dengan analisis level rendah dan analisis level tinggi. Lalu apa perbedaannya?

Apa itu Analisis?

Sering kali kita dilibatkan dengan istilah analisis atau analisa. Secara awam, segala aktivitas mencermati sesuatu dan kemudian menghasilkan pernyataan atau simpulan yang tidak serta merta terlihat secara eksplisit dari objek yang dicermati, maka disebut sebagai kegiatan menganalisis. Lalu apa itu analisis?

Analisis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkara dan sebagainya). Dari sumber yang sama, analisis juga diartikan sebagai penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri, serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman secara keseluruhan. Masih dari sumber yang sama, analisis juga berarti pemecahan persoalan yang dimulai dengan dugaan akan kebenarannya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan dan disimpelkan (disederhanakan) bahwa analisis adalah aktivitas memecah fakta, objek, peristiwa dan sebagainya menjadi bagian-bagian yang relevan untuk menjelaskan fakta, objek, atau peristiwa tersebut. Sebagai contoh, ketika terjadi persosalan dalam perusahaan, misalnya penurunan angaka penjualan, maka pemangku institusi dapat memecah persoalan penjualan menjadi penyebab, aktor atau pihak yang terlibat, dampak, intensitas dan sebagainya. Semua pecahan tersebut relevan untuk menjelaskan tentang kondisi penjualan, atau lebih  spesifiknya kondisi penurunan penjualan.

Setelah kita mengetahui arti dari analisis, maka kita akan beranjak kepada substansi dari tulisan ini, yaitu membedakan atau memahami perbedaan analisis level rendah dan analisis level tinggi.

 

Perbedaan Analisis Level Renah dan Analisis Level Tinggi

Dalam proses menganalisis, pasti melibatkan sumber atau alat yang digunakan untuk melakukan analisis. Karena itu, kita sering mendengar istilah ‘pisau analisis’. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa pisau adalah alat atau tools untuk mengupas, membedah, atau membelah. Aktivitas ini masih relevan dengan definisi analisis, yaitu memecah. Namun, pembedaan level analisis rendah dan tinggi tidak serta merta didasarkan pada ‘pisaunya’, namun bagaimana kita menggunakan ‘pisau’ tersebut.

Ketika kita menarik kembali analogi ‘pisau’, maka dengan pisau yang sama, dua orang analis bisa memiliki kedalaman yang berbeda dalam melakukan analisis. Dengan kata lain, sumber konsep, teori, atau pengalaman yang sama, dua orang dapat melakukan analisis secara berbeda. Berikut ini akan saya jelaskan, bagaimana dua cara analisis tersebut.

1. Analisis Level Rendah (Referensif)

Analisis level rendah disebut juga dengan analisis referensif atau boleh secara umum disebut dengan berpikir referensif. Berpikir menggunakan referensi sudah masuk dalam aktivitas analisis. Dengan referensi tersebut, kita dapat memecah fakta, peristiwa, kejadian, masalah dan sebagainya. Hanya saja, referensi tersebut hanya digunakan sebagai acuan atau pedoman, seperti kamus yang digunakan untuk mencari arti atau padanan kata. Dengan bahasa perumpamaan (kalau tidak mau disebut sindiran), cara berpikir seperti ini juga sama seperti seseorang yang menggunakan primbon dan meramalkan nasib seseorang dengan cara mencocokkan. Dengan input berupa hari dan pasaran lahir misalnya, kita bisa membuka buku primbon dan langsung membaca artinya di situ. Ini disebut cara berpikir referensif, yang juga bisa diterapkan ketika kita melakukan analisis.

Untuk lebih memahami penjelasan dari analisis level rendah, saya akan memberikan contoh dari kasus yang sering saya temui, yaitu cara mahasiswa melaporkan hasil kegiatan praktikumnya. Jika seorang mahasiswa mempunyai hipotesis bahwa seorang anak mengalami autisme, maka ia akan menggunakan pedoman diagnosis untuk dicocokkan dengan setiap gejala pada anak tersebut. Jika memenuhi, maka anak tersebut bisa dijustifikasi sebagai autis. Sebaliknya jika tidak memenuhi, maka ia tidak dapat dikatakan autis. Jika hanya memenuhi sebagian, maka itu anak menunjukkan tingkat keparahaannya.

analisis level

Apakah Kamu menggunakan analisis level rendah atau analisis level tinggi? (foto: zonamahasiswa.id)

2. Analisis Level Tinggi (Transformatif)

Analisis level tinggi disebut juga dengan analisis transformatif atau boleh secara umum disebut dengan berpikir transformatif. Cara berpikir seperti ini lebih kompleks daripada sekadar menggunakan referensi. Sebuah referensi tidak langsung digunakan, namun perlu diabstraksikan. Dengan demikian, referensi yang digunakan bisa lebih dari satu dan antar referensi dicarikan atau dibuatkan hubungannya. Ketika kita pakai istilah ‘dicarikan’, maka kita menggunakan referensi lain untuk menghubungkan antar referensi. Jika kita menggunakan istilah ‘dibuatkan’, maka kita langsung mengaitkan antar referensi dengan pengetahuan yang kita miliki (bahkan bisa juga dengan imajinasi). Dengan kata lain, penggunaan referensi didahului dengan abstraksi untuk menemukan prinsip-prinsip dari referensi tersebut.

Untuk lebih memahami penjelasan dari analisis level tinggi, maka saya akan kembali kepada contoh tentang kasus yang dihadapi mahasiswa, yaitu autisme. Jika mahasiswa tersebut memperhatikan setiap karakteristik autis, maka mahasiswa tersebut akan berusaha mencari karakteristik yang lebih prinsip atua pokok. Dampak dari upaya ini bisa berupa klustering, klasifikasi, kategorisasi, atau pengelompokan karakteristik. Dari kelompok-kelompok karakteristik tersebut, dapat ditarik ciri prinsip dari autisme. Prinsip ini baru digunakan untuk menganalisis autisme. Inilah yang disebut dengan analisis level tinggi atau transformatif.

 

Setelah memabaca tulisan ini, mungkin kalian akan bertanya-tanya atau berusaha mencari, darimana saya bisa mengategorikan kedua level analisis ini. Tidak perlu dicari, karena Kamu akan kesulitan menemukannya, karena proses yang saya gunakan dalam membuat tulisan ini lebih bersifat transformatif. Semoga sudah bisa dipahami. Selamat belajar,

0.00 avg. rating (0% score) - 0 votes
Tags: , , , , , ,

Artikel tentang Creative Learning Lainnya:

by

Creative Learning Designer | Parenting Consultant | Writing Coach


 

Post a Comment

Your email is never published nor shared. Required fields are marked *

*
*

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>