Psychology | Learning | Parenting | Writing | Education

 

Rahasia Parenting: Mengelola Perilaku Super Aktif Anak

August 17, 2012 . by . in Parenting . 15 Comments

Ini adalah sebuah rahasia kecil dalam parenting, tetapi punya dampak yang dahsyat. Rahasia parenting kali ini kita akan membahas tentang perilaku anak yang sangat aktif  dan bagaimana mengelolanya.

Rahasia Parenting: Mengelola Perilaku Super Aktif

Ada cara-cara sederhana untuk menangani anak, dalam kasus ini adalah anak yang aktif. Namun cara-cara sederhana itu kadang tidak kita sadari. Karena tidak disadari, maka kita tidak memanfaatkannya. Bagaimana cara sederhana mengelola perilaku aktif anak?

Beberapa hari yang lalu, seorang ibu (sebut saja Mama Via) konsultasi tentang anaknya yang aktif, malah cenderung overactive (versinya si mama, hyperactive). Anaknya berusia 19 bulan (sebut saja Via).

Yang menjadi keluhan Mama Via adalah ketika anaknya dibonceng pakai motor. Si anak tidak bisa diam. Ia selalu tertarik dengan banyak hal, menujuk ke sana ke mari, minta berdiri dan tidak jarang bergerak dan menari. Tentu saja ini menyusahkan papanya yang bertugas mengemudikan motor. Selain itu, tingkah Via ini juga membuat mamanya capek, tangannya ngilu. Akibat kebiasaan seperti ini terjadi setiap kali keluar rumah pakai motor, Mama Via jadi pikir-pikir seratus tujuh kali jika akan keluar rumah. Untung Mama Via bisa bertahan, tidak berpikir menjatuhkan Via. Mungkin untuk yang satu ini ia juga berpikir seratus tujuh kali hehehe.

Pertanyaannya, apakah Si Via ini hyperactive dan harus dikendalikan? Bagaimanakah caranya agar Via bisa dikendalikan setiap kali dibonceng pakai motor, mengingat hanya itu kendaraan satu-satunya yang ada di rumah mereka?

Yang perlu dikaji pertama adalah kata hyperactive. Hati-hati menggunakan kata ini. Memang wajar jika Mama Via menggunakan istilah ini. Ada dua kemungkinan penyebab, Mama Via memilih kata hyperactive untuk melabeli anaknya.

Kalau kasusnya Via, aku pikir itu bukan hyperactive. Kalau overactive mungkin saja. Akan tetapi coba kita lihat lagi bagaimana keseharian Via. Ternyata orangtua Via cuma mengeluhkan kebiasaan Via ketika naik kendaraan, bukan di rumah. Kalau perilaku di rumah tidak terlalu menjadi keluhan, maka naik kendaraan dengan tingkah laku tertentu menjadi sesuatu yang sangat khas, sifatnya kasuistik.

Namun ketika aku bertanya soal ini, Mama Via langsung menambahkan bahwa di rumah juga kelewat aktif, meskipun tidak membuat mereka repot. Kalau di rumah lebih jauh dari bahaya, maksudnya jatuh dari kendaraan. Demikian penjelasan Mama Via.

Ok, untuk menjaga anak agar aman dari hal yang membahayakan, itu memang mutlak harus selalu diupayakan, seperti yang dilakukan Mama Via ketika membawa anaknya turut serta naik kendaraan bermotor. Hanya saja, persoalannya, selain tentang label hyperactive yang diberikan kepada Via, juga tentang tarik ulur antara mengelola anak dan kesempatannya untuk belajar. Untuk yang terakhir kebetulan memang tidak ditanyakan oleh Mama Via. Tapi bolehlah nanti dibahas sedikit tentang hal tersebut.

Sumber Gambar: rudicahyo's instacanv.as gallery

Active, Overactive, Hyperactive. Anak Anda?

Anak-anak berperilaku aktif itu wajar. Setiap pengalaman sensorik yang mereka peroleh dalam perkembangannya itu akan mereka respon dengan berbagai cara agar kepuasan dirinya terpenuhi. Pengalaman sensorik yang berupa penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan dan rasa, merupakan hal yang luar biasa untuk anak, karena bagi mereka itu baru. Tentu saja ini berbeda dengan kita yang sudah lama hidup di dunia, terbiasa menduga dan terlampau banyak bekal pengetahuan yang digunakan.

Setiap rangsangan yang datang ke indera anak, merupakan sumber pemuasan akan rasa ingin tahu mereka. Dorongan rasa ingin tahu itu berenergi cukup besar jika dibandingkan dengan dorongan rasa ingin ngetes. Orang dewasa biasanya lebih kepada rational testing daripada memuaskan rasa ingin tahu. Dugaan yang sudah disusun di benak orang dewasa itu sendiri akan mengelola dorongan yang sedianya lebih besar, yaitu rasa ingin tahu. Pada diri anak, dorongan ini tidak dihambat oleh dugaan, sehingga lebih kuat tuntutannya untuk dipuaskan. Karena itulah anak menjadi lebih aktif jika dibandingkan dengan orang dewasa.

Menyimak penjelasan ini seolah dalam dunia nyata tidak ada masalah antara perbedaan antara orang dewasa dan anak-anak tersebut. Padahal, ketika orang dewasa menggunakan standar mereka yang lebih anteng untuk melihat anak-anak yang aktif, maka mereka mengatakan anak-anak hyperactive. Karena orangtua punya standar yang lebih anteng dalam berperilaku, maka merekapun juga mudah merasa lelah dan menganggap anaknya susah dikendalikan. Karena itulah sebutan hyperactive sering muncul dan diberikan kepada anak.

Penyebutan hyperactive ini bisa disebabkan oleh dua hal, karena belum tahu artinya atau karena persepsi orang dewasa yang memandang perilaku anak secara dramatis. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, karena orangtua atau orang yang lebih dewasa sudah terbentuk dan mempunyai standar mereka sendiri, maka dalam melihat perilaku anak juga akan disesuaikan dengan sudut pandang mereka. Inilah yang membuat persepsi mereka jadi begitu dramatis.

Hyperactive sebenarnya sama juga dengan berbagai istilah yang juga menggunakan istilah hyper, seperti hypersex, hypersensitive, hyperbola dan hyper-hyper yang lain. Hyper artinya sangat atau lebih. Dengan demikian, secara sederhana hyperactive dapat diartikan sangat aktif.

Lalu apa bedanya dengan overactive? Kata over berarti lebih atau terlalu. Dengan demikian, secara sederhana, overactive dapat diartikan lebih aktif atau terlalu aktif.

Sepertinya kedua istilah masih wajar untuk digunakan. Keduanya juga punya arti yang mirip. Meskipun seperti tidak ada bedanya, namun keduanya sebenarnya dalah konstruk yang berbeda. Disebut konstruk karena kedua istilah itu sudah punya artinya masing-masing yang boleh dibilang lebih baku, karena dikaitkan dengan topik atau keilmuan tertentu. Dalam psikologi, keduanya adalah konstruk yang berbeda.

Overactive dapat diartikan lebih atau terlalu aktif. Ketika anak berperilaku lebih banyak daripada biasanya, maka anak akan menjadi overactive. Jika perilaku yang lebih aktif ini diulang-ulang dan menjadi kebiasaan, maka bisa dikatakan anak tersebut overactive. Bedanya, yang pertama dilabelkan kepada perilaku yang terjadi di konteks yang terbatas. Artinya tidak menjadi kebiasaan anak. Sedangkan yang kedua, sudah menjadi kebiasaan anak. Karena itu penyebutan overactive sudah menjadi ciri atau karakteristika anak. Jika anak overactive, maka ia lebih ditarik oleh pertimbangan-pertimbangan dari luar. Artinya, tuntutan dari luar yang membuat anak atau seseorang menjadi overactive. Misalnya tunutan pekerjaan, menyelidiki sesuatu, menyelesaikan tugas dan sebagainya.

Hyperactive punya arti yang sama. Namun pada kontruk perilaku, hyperactive sudah di luar ambang batas normalnya. Karena itu, hyperactive lebih sering dimaksudkan untuk menyebut abnormalitas tertentu. Jika seseorang dikatakan hyperactive, maka perilaku yang berlebihan itu sudah di luar ambang batas dan sudah menjadi abnormal. Dibandingkan dengan overactive, hyperactive lebih kuat digerakkan oleh dorongan dari dalam. Stimulus luar hanya berperan sebagai pemicu kecil.

Sepertinya, pada anak-anak perilaku yang didorong dari dalam dengan kuat, itu sangat wajar, seperti yang sudah kita bahas sebelumnya. Hanya saja, pada anak hyperactive, stimulus menjadi sangat sensible. Anak sangat peka berlebihan terhadap stimulus. Jika stimulus bervariasi dan dalam jumlah yang banyak, maka anak hyperactive seolah-olah akan menanggapi itu semua. Karena itulah, kelainan hyperactive biasanya diiringi dengan attention deficit atau kurangnya fokus.

Mudah-mudahan sekarang sudah lebih jelas tentang perbedaan active, overactive dan hyperactive. Sekarang tinggal melihat diri dan anak kita, sudah tepatkah kita melabeli anak kita.

Sumber Gambar: rudicahyo's instacanv.as gallery

Bagaimana Mengelola Perilaku yang Terlalu Aktif?

Ada banyak cara untuk mengelola perilaku yang terlampau aktif. Tentu saja ini juga bersifat sangat kasuistik. Namun secara umum, untuk treatment yang efektif, yang perlu diperhatikan adalah modalitas anak, kondisi lingkungan dan penguatan pada tujuan atau luaran perilaku.

Pengenalan modalitas itu penting. Barangkali saja perilaku aktif anak dikarenakan anak dan orangtua belum mengenali apa yang disukai oleh anak. Dari perilaku yang jumlahnya banyak dan bervariasi, kita bisa kelompokkan mana perilaku yang sama dan mana perilaku yang punya sifat-sifat yang sama. Dari situ kita akan mengenali, mana perilaku yang intensitasnya paling tinggi. Kepada perilaku tersebut kita bisa fasilitasi anak. Dengan mengenali sifat aktivitas yang disenangi, kita bisa menggunakan karakteristik aktivitas tersebut untuk kegiatan yang lain.

Kondisi lingkungan juga perlu diperhatikan. Kondisi yang kondusif bisa diupayakan, misalnya mengurangi distorsi atas perilaku yang sedang dilakukan oleh anak. Ini diupayakan untuk melatih foksu akan pada perilaku tertentu. Dalam konteks terapi, bisa dilakukan latihan dengan mengontrol faktor-faktor eksternal perilaku yang berpotensi mengganggu konsistensi perilaku yang dimaksud.

Tujuan yang dimaksud dari sebuah perilaku juga penting dan bisa digunakan untuk melatih anak lebih fokus kepda sebuah pekerjaan, sehingga ia mengerjakannya sampai selesai. Penguatan tujuan diawali dengan pemahaman anak terhadap tujuan tersebut. Tekankan kepada manfaat yang akan diperoleh, kenikmatan yang akan diraih, perasaan positif yang menjadi efek, dari perilaku atau aktivitas yang akan dilakukan. Mengenalkan tujuan aktivitas dengan cerita juga bisa membangun atmosfir dalam diri anak atas kegiatan yang akan dilakukan. Perkuatan juga bisa dilakukan dengan meningkatkan rasa memiliki terhadap tujuan. Misalnya dengan memperkuat persepsi pada diri anak bahwa ia akan menyelesaikan sebuah misi.

Bagaimana dengan Via?

Untuk konteks Via, sebenarnya aku juga punya pengalaman yang sama. Anakku, Bintang, yang berumur kurang lebih sama juga mengalami hal tersebut ketika aku ajak naik motor. Ibunya kadang merasa lelah jika harus memeganginya di belakang. Karena itu, ibunya meminta bergantian, dia yang nyetir dan aku yang memegangi Bintang.

Ternyata ada hal yang mengejutkan. Ketika aku yang memegangi, Bintang lebih anteng. Paling tidak ia bisa bertahan dengan kondisi anteng dalam waktu yang lebih lama.

Pikiran spekulatif melintas. Aku coba dua cara-cara yang berbeda. Aku memeluk dengan tanpa memeluk. Ternyata pelukan membuat anak lebih tenang. Kurang puas dengan cara itu, aku coba lagi dengan memegang telapak tangannya sambil memeluknya. Ternyata hasilnya jauh lebih baik.

Aku teringat dengan pelajaran Biologi waktu SMA. Setiap bagian tubuh manusia itu mengandung ujung-ujung syaraf dengan jumlah yang berbeda. Hal ini membuat kepekaan tiap bagian tersebut berbeda. Dulu waktu ada pertanyaan, bagian mana yang paling peka, aku jawab telapak tangan. Ternyata jawaban asal itu salah. Yang paling banyak mengandung ujung syaraf adalah bibir dan tengkuk atau leher bagian belakang. Itu kalau aku tidak salah ingat.

Setelah aku pikir, jawabanku yang telapak tangan itu tidak sepenuhnya salah. Setelah aku cek, ternyata ada sebuah artikel yang mengatakan bahwa bagian yang mengandung banyak ujung syaraf adalah ujung jari kaki dan tangan serta telapak tangan dan kaki. Itulah yang membuat bagian tubuh tersebut sering digunakan untuk merasakan panas dingin atau kasar lembut sebuah permukaan.

Apa yang dikatakan guru Biologi juga benar, karena di bagian bibir dan tengkuk juga mengandung banyak ujung syaraf. Nah, moderasinya, soal penggunaan sebagai organ pendeteksi stimulus rabaan. Ujung jari dan telapak tentu saja bagian tubuh yang sering digunakan untuk fungsi tersebut. Karena sering digunakan, maka kepekaannya juga lebih bagus, meskipun mungkin jumlah ujung syarafnya tidak sebanyak yang ada di tengkuk atau bibir.

Bagian terpentingnya, organ biologis punya kaitan yang kuat dengan organ psikologis. Nah lho, apa itu organ psikologis. Padahal kan yang disebut psikis itu tidak seperti fisik yang bisa dilihat. Kok ada organ segala?

Keterkaitan antara organ biologis dengan fungsi yang menjadi kebiasaan menjadikan muncul yang disebut organ psikologis, meskipun ini cuma istilah yang aku ciptakan sendiri. Kebiasaan penggunaan organ untuk fungsi tertentu akan memunculkan persepsi atas organ biologis. Persepsi yang diperkuat karena penggunaan berulang dan keberhasilan kerja organ, akan membangun organ psikologis ini.

Hal ini seperti halnya jantung yang berfungsi memompa darah. Ketika berdekatan dengan bahaya atau orang yang disukai, organ ini berdebar, memompa darah lebih cepat. Tak jarang kita berpikir terbalik. Ketika jantung berdebar, kita anggap ada firasat tertentu, misalnya ada bahaya atau kita sedang jatuh cinta. Jantung jadi bergeser dari merespon stimulus fisik menjadi menanggapi stimulus psikis. Begitu juga dengan kebiasaan telapak tangan atau ujung jari yang digunakan untuk meraba atau merasakan lingkungan.

Penggunaan ujung jari atau telapak untuk merasakan lingkungan ini berarti membuat kontak dengan lingkungan. Ketika kontak tersebut sering terjadi maka orang akan lebih mudah merespon atas sebuah stimulus lingkungan yang hadir pada dirinya. Ketika organ ini terbuka, telapak tangan misalnya, maka udara di sekeliling akan lebuh mudah terasa. Ketika digunakan untuk meraba, tentu berbeda antara tangan yang terbuka dengan yang menggunakan sarung tangan, bukan?

Untuk itulah, sebuah pegangan yang hangat dan membuat anak nyaman, akan memutus atau mengurangi kontak anak dengan lingkungan. Begitu juga jika organ yang peka itu kita pegang dengan lembut dan diberikan kenyamanan, maka selain putus kontak dengan lingkungan, anak akan memilih menikmati kenyamanan. Karena itulah orangtua menyelimuti anaknya ketika ia sedang tertidur. Ini sama saja memutus kontak dengan lingkungan dan memasukkan anak dalam kenyamanan.

Tentu saja ambang batas anak berbeda-beda. Ada yang mudah sekali dibuat nyaman dan diputus kontaknya dengan lingkungan. Namun ada juga yang meskipun didekap dan dipegang erat, tetap saja tidak atau sulit mengelola anak. Jika lingkungan mempunyai daya rangsang yang lebih kuat daripada kenyamanan yang kita berikan, maka bisa jadi anak tetap meronta dan ingin merespon stimulus lingkungan tersebut. Tapi untuk kasus Mama Via, paling tidak untuk mengelola anak ketika dibonceng di motor saja, mungkin saja upaya ini berhasil. Meski sangat mungkin punya banyak kelemahan, upaya ini patut dicoba, barangkali saja menuai hasil. Selain itu, konteks kejadian juga berpengaruh.

Rahasia Parenting: Mengelola Perilaku Super Aktif

Kira-kira seperti itu cara atau tips kecil yang mungkin berdampak luar biasa untuk mengelola anak. Ada yang mau mencoba? Atau ada trik dan tips lainnya?

0.00 avg. rating (0% score) - 0 votes
Tags:

Artikel tentang Parenting Lainnya:

by

Creative Learning Designer | Parenting Consultant | Writing Coach


 

15 Comments

  1. WordPress › Error

    There has been a critical error on this website.

    Learn more about troubleshooting WordPress.