Tiga Pola Strategi Mewujudkan Disiplin Positif pada Anak
November 20, 2018 . by rudicahyo . in Parenting, Psikologi Populer . 0 Comments
Kedisiplinan bukan pembentukan atau perubahan perilaku yang dipaksakan. Jika hal itu diterapkan, maka yang terjadi hanya keptuhan buta yang hanya bersifat kambuhan. Karena itu, perlu ditumbuhkan disiplin positif pada diri anak. Berikut ini tiga pola strategi dalam mewujudkan disiplin positif pada anak.
Pernahkah Ayah, Bunda, Kakak, menyuruh anak untuk melakukan sesuatu atau melarang agar tidak melakukan perbuatan yang tidak dikehendaki, tetapi hasilnya hanya bersifat sementara? Secara naluriah, anak berusaha memuaskan kesenangan dirinya. Hanya saja, di sisi lain dalam diri anak juga berkembang sistem kontrol alami yang datang kemudian dengan kekuatan yang kadang tak seimbang dengan dorongan untuk melakukan berbagai perilaku yang menyenangkan. Tidak jarang kesenangan itu bertentangan dengan harapan lingkungan.
Namun kenapa perilaku yang diperintahkan atau dilarang hanya dipatuhi sementara? Jawabannya karena terpaksa. Atau dengan kalimat yang lebih ilmiah, anak didorong oleh motivasi internal untuk melakukan kepatuhan, padahal dirinya sendiri tidak merasa nyaman melakukannya.
Dengan demikian, berbicara disiplin positif berarti berusaha membangun perilaku adaptif (sesuai harapan) pada diri anak yang dimulai dari kesadaran, anak senang melakukannya. Artinya, kita tidak dapat memisahkan dari membicarakan motivasi internal, dan bagaimana menghidupkannya.
Membangun motivasi internal untuk menjadi disiplin bukan sebuah tindakan instan dengan hasil yang spontan. Perlu kontinuitas, konsistensi dan ketelatenan untuk terus melakukannya. Jika disiplin positif sudah terbangun pada diri anak, selanjutnya akan menjadi lebih mudah bagi anak untuk bersikap dan melakukan tindakan yang adaptif.
Bagaimana pola pembentukan disiplin positif pada diri anak? Berikut ini ada tiga strategi yang masing-masing strategi memiliki pola atau varian penerapan.
Strategi 1: Pergeseran penggunaan penjelasan, deskripsi, hingga contoh
Perubahan atau pembentukan perilaku dengan bahasa penjelasan atau nasihat. Perubahan dengan menggunakan penjelasan atau nasihat memiliki keunggulan, yaitu kecepatan dalam mendatangkan perubahan, tetapi lemah dalam daya tahan. Artinya, penjelasan akan lebih mudah diterima oleh anak untuk kemudian dilaksanakan. Karena penjelasan lebih banyak menyentuh wilayah permukaan, maka perubahan perilaku dapat bersifat sementara. Selanjutnya, sangat mungkin anak kembali kepada perilaku semula. Bahasa penjelasan atau preskripsi memang lebih cepat bekerja. Ia menyentuh dua wilayah otak yang berkaitan dalam pemrosesan bahasa, yaitu area wernicke dan area broca. Kedua area tersebut bertanggungjawab untuk menyerap, mengartikan bahasa, serta menyusun ekspresi bahasa sebagai responnya. Begitu cara kerjanya, sehingga informasi mudah dipahami dan dilaksanakan, tetapi bukan diproyeksikan untuk membuat perubahan pada diri. Dengan demikian, bahasa penjelasan dapat diterapkan untuk kondisi yang menghendaki perubahan cepat, misalnya anak dihadapkan pada bahaya, seperti bermain pisau, korek api, dan semacamnya.
Contoh bahasa penjelasan atau preskripsi: “Adik, letakkan pisaunya. Bermain pisau itu berbahaya jika tidak didampingi orang dewasa. Tangannya bisa terluka, karena pisau itu tajam” dan seterusnya.
Pembentukan atau perubahan perilaku dengan bahasa deskripsi. Pembentukan atau perubahan perilaku dengan bahasa deskripsi berarti menggunakan cerita untuk membuat perubahan pada diri anak. Jika kita cermati kalimat sebelumnya, ada kata kunci ‘pada diri’. Artinya, perubahan tersebut lebih diupayakan dari dalam. Bahasa cerita memang tidak mendatangkan perubahan yang cepat seperti bahasa penejelasan atau preskripsi. Menggunakan bahasa cerita butuh waktu dan upaya yang berulang-ulang. Namun demikian, penggunaan bahasa deskripsi berdampak lebih panjang, bahkan bisa selamanya. Bedanya dengan bahasa preskripsi, bahasa deskripsi menghidupkan seluruh bagian otak, tidak hanya area pemrosesan bahasa (wernicke dan broca). Karena itu, anak dapat mengalami apa yang kita ceritakan.
Contoh bahasa deskripsi: “Pada waktu ayah kecil dulu, ayah juga pernah menggunakan pisau kakek. Pisau kakek sangat tajam, karena sering diasah dan digunakan untuk mencukur kumis (orang jaman dulu tidak pakai silet). Ayah sudah diperingatkan untuk tidak menggunakannya jika tidak dibantu orang yang lebih tua. Pada suatu saat ayah mencoba-coba untuk menggunakannya. Ternyata jari telunjuk ayah terkena pisaunya sampai dalam. Karna ayah takut dimarahi, ayah menyembunyikannya, tidak mengatakan pada siapapun. Ayah mencelupkan jari ayah ke bak cuci piring, sampai seluruh airnya memerah karena darah mengalir tidak berhenti. Ini coba lihat jari ayah (sambil menunjukkan jarinya, jika memang hal itu adalah fakta yang pernah terjadi).
Pembentukan atau perubahan perilaku dengan contoh. Cara yang ketiga ini adalah yang paling ideal, karena kita sudah lebih dulu melakukan sebagai contoh. Artinya, sebelum meminta anak untuk melakukan sesuatu, kita harus lebih dulu melakukannya, dan diketahui oleh anak.
Strategi 2: Top-Down Vs Bottom-Up
Pembentukan atau perubahan perilaku top-down berarti kita memberi tahu apa yang harus dan tidak boleh dilakukan oleh anak. Selanjutnya anak akan melakukannya. Cara ini perlu lebih banyak divariasikan dengan strategi yang kedua, yaitu bottom-up.
Pmebentukan atau perubahan perilaku bottom-up berarti kita mengajak anak untuk merefleksikan sebuah kejadian atau perilaku anak. Kita mengajak anak berdialog untuk menceritakan kembali apa yang telah terjadi. Anak diajak untuk mengeksplor tindakan dan dampaknya bagi diri atau orang lain. Setelah itu baru anak merumuskan apakah tindakan tersebut seharusnya dilakukan atau tidak.
Strategi 3: Pembentukan aturan denga pola pasitf-objek vs aktif-subjek
Pembentukan aturan sebagian mungkin dilakukan dengan cara pasif-objek, yaitu menempatkan anak yang menjalankan aturan sebagai objek pelaku saja. Anak tidak dilibatkan dan merasa punya kepentingan atas aturan tersebut. Penerapan model seperti ini akan membentuk kepatuhan dengan motivasi eksternal. Karena itu, cara ini dapat kita geser kepada model aktif-subjek.
Pembentukan aturan dengan aktif-subjek berarti menempatkan anak sebagai subjek aktif yang dapat dilibatkan dalam membentuk dan menyepakati aturan. Kepentingan anak harus diwadahi dalam aturan tersebut, sehingga ia merasa mendapatkan manfaat ketika menjalankannya.

Apakah kita sudah mewujudkan disiplin positif pada diri anak? (foto: parenting.co.id)
Demikian pola strategi dalam membangun disiplin positif. Ketiga strategi tersebut merupakan pola yang begeser dari cara yang paling tidak disarankan karena memotivasi kepatuhan secara eksternal, hingga strategi yang paling ideal karena membangun perilaku berdasarkan kesadaran dari dalam. Kita dapat memilihnya, mana yang lebih efektif untuk mewujudkan disiplin positif pada diri anak.
Bagaimana cara Ayah, Bunda, Kakak, dalam mewujudkan disiplin pada diri anak? Apakah bersesuaian dengan cara yang saya uraikan di atas? Boleh dishare di kolom komentar di bawah tulisan ini ya Ayah, Bunda, Kakak semua.
Artikel tentang Parenting, Psikologi Populer Lainnya:
- 7 Efek Tertawa dari Hati
- Ikigami (Death Notice), The Ultimate Limit, Eksistensi Diri Menjelang Kematian
- Konsultasi Parenting: Orangtua Bosan, Hati-Hati Anak Jadi Korban
- Efek Akun Pencitraan Buat Pemiliknya
- Bagaimana Mengatasi Temper Tantrum Anak?
- Sayangnya, Kehidupan Nyata Itu....
- Selective Mutism, Jangan-jangan Anak Kita...
- Dampak Reaksi Kekhawatiran yang Berlebihan terhadap Anak
- Bagaimana Film Amazing Spiderman di Mata Psikologi?
- Menjatuhkan Mental Anak, Sering Tidak Disadari
- The Philoshophers (After The Dark), Sebuah Pertarungan 'Kepala' dan 'Hati'
- Rahasia Parenting: Mengelola Perilaku Super Aktif Anak
- Pengembangan Diri yang Paling Murni
- Belajar Pembentukan Perilaku dengan Observational Learning Bandura
- Psikologi Humanistik: Dengan Teknologi, Belajar Dimanapun Bisa Dibagi
- 5 Alasan Fundamental Kenapa Membudayakan Membaca pada Anak Sangat Penting?
- Kenapa Anak mengalami Kelekatan yang Tidak Aman?
- Kompetisi Ego Mengaburkan Keselarasan Orangtua dan Anak
- Bagaimana Menggunakan Kata JANGAN untuk Anak?
- Untuk Masa Depan Anak, Berkorbanlah!
- Dampak Individual dan Sosial dari Perfeksionisme
- Kamu Menyebutnya Kesadaran
- Pengalaman Kecil yang Menguatkan Hubungan dengan Pasangan
- Bersujud adalah Obat Psikologis yang Ampuh
- Berkubang dengan Masalah atau Membudayakan Solusi?
- Apakah Kita Benar-Benar Memiliki 'Me Time'?
- Seni Pengawasan terhadap Anak
- Memaksakan Cara Berpikir Orangtua dapat Melemahkan Imajinasi Anak
- Personal Well Being, Apa dan Bagaimana?
- Proses Pembentukan Pribadi Pengeluh
- Pentingnya Anak Menyadari Potensi Diri
- Harga Sebuah Kesempatan bagi Anak
- Semua Orangtua Punya Anak Kreatif
- 3 Modal Utama Anak Aktif
- Jika Sudah Punya Mimpi, Terus Diapakan?
- Bagaimana Menemukan dan Mengenali Potensi Anak?
- Antara Anak dan Karir, Sebuah Surat dari Seorang Ibu
- Apa yang Harus Kita Lakukan Jika Anak Nonton Film?
- Air Mata sebagai Emotional Release
- Bagaimana Menjadi Orangtua yang Mengelola Larangan dan Perintah?
- Riya' Meter, Sebuah Alat Penakar untuk Menyelamatkan Diri dari Pamer
- Bagaimana Terjadinya Penularan Sifat Orangtua kepada Anak?
- Pentingnya Menepati Janji kepada Anak
- Harmonisasi Pola Alamiah Diri dengan Pekerjaan
- Apa yang Membangun Keyakinan Diri (Self Determination) Kita?
- Manfaat Berlibur untuk Kesehatan Psikologis
- Jati Diri Anak Terkubur oleh Determinasi Orang Dewasa
- Bagaimana Anak Menjadi Temper Tantrum?
- Hilangnya 3 Hal yang Menjauhkan Diri dari Kebahagiaan
- Teori Belajar Operant Conditioning Skinner
- Bagaimana Mengelola Keinginan Anak untuk Berbelanja?
- 6 Alasan Menghindari Intimidasi kepada Anak
- 5 Faktor Penghambat Psikologis dalam Memulai Bisnis
- Bagaimana Menyikapi Penggunaan Gadget oleh Anak?
- Paradigma Berpikir Bisa Menjadi Candu
- Bagaimana Mengelola Orang yang Bermasalah dengan Kita?
- Menghilangkan Keunikan Anak dengan Diksi 'Lebih Unik'
- Tips Mengubah Perilaku Anak dengan Memperbanyak Variasi Pilihan
- Hiper Realitas Media Sosial, Bagaimana Nasib Generasi Muda?
- Selalu Ada Cara untuk Menghubungkan Anak dan Orangtua
- Stimulasi untuk Optimalisasi Belajar Anak
- Apakah Sigmund Freud Sex Oriented?
- 5 Langkah Mengetahui, Apakah Anak Kita Mengalami Bullying
- Membandingkan Anak Lebih Sering Tak Disadari
- Mengajari Anak Berpuasa dengan Lebih Bermakna
- Kenapa Orangtua Kesulitan Melakukan Pendidikan Seks Usia Dini?
- Bagaimana Pola Ketergantungan Terbentuk?
- Perkembangan Psikoseksual Menurut Sigmund Freud
- Teori Perkembangan Moral Kohlberg
- Melarang Anak dengan Pilihan Kata yang Tepat
- Kenapa Anak Lebih Suka Membaca atau Mengoperasikan Angka?
- Kesalahan dalam Memandang Gadget untuk Anak
- Memilih Sekolah untuk Anak: Antara Kualitas, Gengsi, dan Kemampuan Keuangan
- Menguasai Emosi Orang Lain melalui Disonansi Kognitif
- Benarkah Televisi Menyebabkan Keterlambatan Berbicara?
- Benarkah Anak Kita Mengalami Bullying?
- Tiga Cara Meningkatkan Motivasi dari Dalam Diri
- Mekanisme Pertahanan Ego dalam Psikoanalisa Freud
- Sudut Pandang Psikologi: Pembentukan Karakter di Film Joker
- Memetakan Sumber Penghasilan dengan Inventarisasi Kekuatan
- Mengajari Anak Menghadapi Kondisi Sulit yang Menimpanya
- Kenapa Kita Tidak Boleh Memotong Aktivitas Anak?
- Kekerasan Seksual pada Anak di Mata Psikologi
- 5 Situasi yang Memudahkan Mengenali Diri Sendiri
- Apa Sumber Makna dalam Hidup Kita, Isi atau Bungkus?
- Jenis Kelekatan yang Terjadi pada Anak
- Bagaimana Memelihara Imajinasi Anak Tetap Menyala?
- Asumsi Negatif Dapat Melemahkan Mental Anak
- Kenapa Anak Kita Mogok Sekolah?
- Apakah Pribadi yang Suka Mengeluh itu Dibentuk?
- Punya Banyak Waktu Luang? Hati-Hati dengan Bahaya Menganggur
- Pentingnya Memahami Term dan Definisi dalam Membuat Laporan Psikologi
- Bagaimana Anak Belajar Memiliki Kelekatan yang Sehat?
- Bentuk Tulisan untuk Meredakan Kegalauan
- Apakah Membacakan Buku Sejak Dalam Kandungan Akan Membuat Anak Gemar Membaca?
- 5 Kesalahan Orangtua yang Melukai Kepercayaan Diri Anak
- Bagaimana Bertanggung Jawab atas Keseriusan Anak?
- Membongkar Kompleksitas Ikhlas dari Kehidupan Sehari-hari
- Kinerja Optimal dengan Menyiasati Aspek Kecepatan dan Ketelitian Kerja
- Apa Dampak Berasumsi Negatif bagi Kesehatan Jiwa Kita?