Pelajaran Berharga dari Film Soekarno
December 28, 2013 . by rudicahyo . in Pendidikan, Review | Resensi . 0 Comments
Film “Seokarno: Indonesia Merdeka” karya Hanung Brahmantyo menjadi salah satu yang fenomenal di penghujung 2013. Ada berbagai kekurangan di sana-sini, tetapi tetap ada pelajaran berharga dari film Soekarno tersebut.
Beberapa waktu lalu, akhirnya aku nonton Film Soekarno: Indonesia Merdeka, setelah beberapa hari sebelumnya cuma dengar beritanya. Kabarnya film ini akan dicekal. Maka beruntunglah aku berkesempatan menontonnya, sebelum pencekalan itu benar-benar terjadi. Perasaanku saat kebagian beli tiket waktu itu, seperti sedang menikmati Buku Davinci Code ketika dikabarkan akan ditarik dari peredaran. Ternyata buku itu juga tetap beredar tanpa menuai masalah. Sepertinya film Soekarno juga akan mengalami kondisi yang sama.
Tapi kali ini tidak sedang akan mengritisi film Soekarno. Seperti film lainnya, tetap ada bagian yang tidak sempurna, meski sudah pasti Hanung bekerja keras untuk menciptakan mahakaryanya. Memang ada beberapa kekurangan, seperti penyebutan tulisan Musso menjadi Muso, atau mobil produksi Jepang tahun 1950-an yang dikendarai Soekarno saat itu.
Terlepas dari polemik maupun kesesuaian serta kekurangan film ini, ada pola yang menarik dan pelajaran berharga dari film Soekarno. Pola yang menarik adalah ketika kita lihat film-film Hanung Brahmantyo. Film-film Hanung selalu berpola flat, mendistribusikan tensi secara merata.
Bukan berarti filmnya datar-fatar saja, tidak. Film Hanung mendistribusikan semua ketegangan dan kejutan di prolog, konflik, maupun epilog. Coba saja tonton kembali Get Merried, Sang Pencerah, Tanda Tanya dan yang lainnya. Hanung berusaha mengalirkan filmnya secara alamiah. Bahkan prolog, isi, dan epilog tidak selalu mengikuti kurva yang diawali dengan sesuatu yang lemah, naik sampai ke konflik, dan diakhiri dengan pelemahan yang tenang atau senang. Hanung berusaha menyuguhkan kehidupan apa adanya. Tapi untuk menjaga tetap menarik, Hanung membubuhkan tensi yang meninggi di setiap bagiannya.
Selain pola film yang menarik (menurutku), pelajaran dari film Soekarno juga sangat berharga. Kita jadi mengerti, bahkan merasakan, betapa cucuran keringat dan darah ditumpahkan untuk kemerdekaan. Ini seharusnya jadi bahan refleksi buat para pemimpin dan pemerintah jaman ini, termasuk juga para pemuda-pemudi generasi penerus negeri ini.
Pesan berharga disampaikan oleh tokoh sentralnya, Soekarno dan Hatta. Soekarno adalah orang yang ulet dan gigih untuk sebuah tujuan. Terlepas dari orangnya yang sangat flamboyan dan agak sedikit lamban, Soekarno berusaha mencari celah agar negaranya bisa merdeka. Kelambanan ini sebenarnya juga berkorelasi dengan sifatnya yang rimantis dan flamboyan.
Hanung memang dapat menggambarkan sebuah karakter yang linear, cukup berdisiplin dan saling terkait. Soekarno adalah orang yang kooperatif dan cinta damai. Namun hal itu bukan tanpa sebab yang manusiawi. Di balik itu, ada defense mechanism yang sedang ia lakukan, mengingat Soekarno takut darah dan tidak suka perang.
Beranjak dari karakter Soekarno, ada pelajaran lain yang dapat kita petik. Pelajaran ini dirangkum dalam ucapannya ketika berdua bersama Hatta di mobil, menjelang rapat di rumah Laksamana Maeda. Kurang lebih, Soekarno bilang soal keyakinannya memimpin Indonesia. Dia bilang, bahwa dia hanya mengambil inisiatif dan melakukan yang terbaik. Jika bukan dia yang bisa memimpin negeri, pasti ada orang lain yang muncul karena sebuah situasi. Bagi Soekarno, ikhtiar dan tawakal menjadi sepasang tindakan yang mengikuti hukum alam yang natural. Bahkan ia berkata, jika tindakannya adalah sebuah kesalahan, maka biarkan sejarah yang akan membersihkannya (entah bagaimana kata-kata tepatnya, kurang lebih seperti itu). Sangat manusiawi.
Bagaimana dengan Hatta? Pertanyaan Hatta dalam scene yang sama, yaitu ketika berada di mobil, sebelum ke rumah Maeda, bukan pertanyaan retoris yang tak lebih dari kata-kata. Pertanyaan Hatta adalah amanah. Betapa para pemimpin juga harus memiliki pertanyaan serius yang sama, mampukah menyelenggarakan pemilu dengan jujur dan adil?, mampukah melahirkan pemimpin yang dapat memimpin negeri ini dengan baik? (kata-kata tepatnya lupa, kurang lebih seperti itu). Hatta seperti sedang mengetuk hati para pemimpin kini, mengingatkan kembali bahwa negeri ini adalah amanah dari rakyat. Tidak hanya rakyat di jaman ini, tetapi juga dari masa lalu dan untuk masa depan.
Begitulah kira-kira pelajaran berharga dari film Soekarno.
Apa pelajaran yang dapat kamu ambil dari film “Soekarno: Indonesia Merdeka”? Sudah nonton kan?
Artikel tentang Pendidikan, Review | Resensi Lainnya:
- Jati Diri Anak Terkubur oleh Determinasi Orang Dewasa
- PENDIDIKAN Kita Melestarikan Budaya Verifikasi Benar dan Salah?
- 5 Alasan Fundamental Kenapa Membudayakan Membaca pada Anak Sangat Penting?
- Dumbo Disney, Ketidaksempurnaan yang Luar Biasa
- Matematika, Persoalan Epistemologi atau Etika?
- Bagaimana Prinsip Memilih PAUD untuk Anak?
- Kompetisi Ego Mengaburkan Keselarasan Orangtua dan Anak
- Wreck It Ralph: Apakah Ilmu Pengasuhan Itu Omong Kosong?
- Menjadi Guru adalah Jalan Pedang
- Bukan Stratifikasi, tapi Diferensiasi Pendidikan
- Belajar Hafalan, Membentuk Generasi 'Foto Kopi'
- Bagaimana Memberikan Pendidikan Seks yang Sesuai untuk Anak?
- Apakah Kamu Mendidik atau Mendikte?
- Resensi Buku: KKN di Desa Penari oleh Simpleman
- Berhala Sistemik Dunia Pendidikan
- Resensi Buku: Novel Laiba dan Nasir dari Bang Bule Official
- Belajar Prinsip Hidup dari Film The Fan
- Pendidikan Indonesia di Nomor S(ep)atu
- 6 Prinsip Penyelarasan Tugas untuk Menjaga Motivasi di Masa Transisi
- Kenapa Anak Kita Mogok Sekolah?
- Ingin Belajar Efektif? Jangan Menggunakan Cara Kerja Foto Kopi!
- Sebagai Guru, Sudahkah Kita Berdiri Di Atas Sepatu Siswa?
- Apartemen 12A-05, Cerita Horor atau Detektif? (Resensi Buku)
- Pengembangan Diri yang Paling Murni
- Anak Anda Mogok Sekolah? Mari Kita Coba Mengatasinya!
- Seperti Apakah Perubahan Diri Kita setelah Belajar?
- Kenapa Anak Lebih Suka Membaca atau Mengoperasikan Angka?
- Apakah Pendidikan Kita Membangun Karakter?
- Pola Perilaku Baru dalam Belajar Sebagai Dampak Teknologi Informasi
- Bolehkah Guru TK Mengajari Membaca?
- Profesi Guru, Antara Idealisme dan Industri Pendidikan
- Makna Belajar, Mana yang Lebih Utama, Kualitas atau Jumlah?
- Pendidikan Kita Menciptakan Jarak dengan Kehidupan?
- Memilih Sekolah untuk Anak: Antara Kualitas, Gengsi, dan Kemampuan Keuangan
- Pemimpin itu Pendidik
- Apakah Membacakan Buku Sejak Dalam Kandungan Akan Membuat Anak Gemar Membaca?
- Pembubaran RSBI Wujud Kemerdekaan Pendidikan
- Pay It Forward: Dengan Inspirasi, Guru Membuat Perubahan
- Memaksakan Cara Berpikir Orangtua dapat Melemahkan Imajinasi Anak
- Daily Parenting, Rugi Jika Tak Memiliki Buku Ini
- Kenali Pengujimu, Persiapkan Ujian Skripsimu!
- Tiga Cara Meningkatkan Motivasi dari Dalam Diri
- Menghilangkan Keunikan Anak dengan Diksi 'Lebih Unik'
- Cara Tepat Mengatur Penggunaan Gadget pada Anak
- Bagaimana Film Amazing Spiderman di Mata Psikologi?
- Tantangan dalam Membudayakan Membaca Pada Anak
- Perlukah Anak Melakukan Les Privat Selain Belajar di Sekolah?
- Apa Catatan yang Harus Diperhatikan Jika Guru Menghukum Murid?
- Pro Kontra Penghapusan Status RSBI
- Ujian Bagi Kebaikan di Squid Game
- Apakah Pendidikan Kita Sudah Kontekstual?
- Pendidikan Karakter dan Kebahagiaan Murid
- Menumbuhkan Imunitas dengan Optimis dan Antusiasme
- Mengembalikan Keseleo Pendidikan
- Ujian Nasional (Unas), Harga Mahal Sebuah Kejujuran
- Bagaimana Membangun Budaya Membaca pada Anak?
- Bagaimana Memelihara Imajinasi Anak Tetap Menyala?
- Pendidikan dan Sikap terhadap Tantangan Kerja
- Film Rekomendasi untuk Hari Guru
- Warisan Unas: Ketika Kejujuran Menyisakan Penyesalan