Sudut Pandang Psikologi: Pembentukan Karakter di Film Joker
October 4, 2019 . by rudicahyo . in Psikologi Populer . 0 Comments
Pembentukan karakter dapat melalui berbagai cara dan bermacam arah. Karakter bisa dibentuk dari dalam dan/atau dari luar diri. Karakter dapat terbentuk melalui peristiwa atau pengalaman. Begitu juga pembentukan karakter yang dialami tokoh di film Joker. Tidak terkecuali pembentukan karakter yang dialami oleh para penonton filmnya, Joker. Bagaimana sudut pandang psikologi dalam melihat pembentukan karakter di film Joker?
Sudah nonton film Joker by Warner Bros? Film yang disutradarai oleh Todd Phillips ini bercerita tentang tokoh yang bernama Arthur Fleck (Joaquin Phoenix). Pemuda berusia 40 tahun ini sejak kecil ingin menjadi pelawak. Namun tekanan hidup, penderitaan, dan kesediahan tidak memberikan kesempatan baginya untuk menjadi seseorang lucu. Sampai ia berpendapat bahwa hidupnya yang berupa tragedi adalah sebuah komedi. Selain tekanan situasi yang dihadapi, Arthur juga menderita kelainan otak yang membuatnya bertingkah seperti ‘orang gila’, yaitu dapat tertawa secara tiba-tiba, meskipun situasinya tidak tepat untuk tertawa. Selain itu, ia juga menderita sindroma delusional yang membuatnya seolah mengalami sesuatu yang nyata, padahal hal tersebut tidak pernah terjadi.
Sebelum dilanjutkan membahas tentang film Joker ini, marilah kita flash back untuk kembali mengenang Joker di film The Dark Knight. Dua tokoh Joker, baik di The Dark Knight maupun di film terbarunya ini, sama-sama berhasil. Bahkan film The Dark Knight berhasil menempatkan Joker sebagai figur sentral melebihi tokoh Batman. Beberapa tindakan kriminal yang saat itu terjadi juga dikaitkan dengan keberhasilan Joker dalam mempengaruhi. penontonnya. Karena itulah, film Joker yang baru mendapatkan protes dari masyarakat karena kekhawatiran akan membentuk pribadi yang negatif dan kriminal.
Protes masyarakat sudah diklarifikasi oleh Warner Bros bahwa tidak ada niat sama sekali untuk membuat orang menjadi kriminal melalui film Joker, atau lebih tepatnya melalui tokoh Joker. Meskipun sudah diberikan penjelasan oleh si pembuat film, saya akan memberikan pendapat saya sebagai pentonon yang sekaligus psikolog.
Joker di The Dark Knight telah berhasil membentuk karakter penontonnya, namun sebenarnya ia tidak menunjukkan pembentukan karakter dari tokonya, Si Joker. Film The Dark Knight merupakan film dengan tempo yang cepat dan tensi yang cukup tinggi, nyaris di sepanjang film berusaha menjaga ketegangan penonton tetap tinggi. The Dark Knight lebih menyuguhkan paradoks antara baik dan buruk atau jahat, antara hasrat hidup dan menghidupi (eros) dan hasrat mati atau menghancurkan (tanathos). Hasrat menghidupi diwakili oleh Batman dan hasrat menghancurkan diwakili oleh Joker. The Dark Knight tidak memberikan kesempatan penonton mengenali Joker lebih dalam, selain sebagai tokoh yang mewakili hasrat menghancurkan.

Film Joker dari Sudut Pandang Psikolog. Bagaimana menurutmu? (foto:kumparan.com)
Bagaimana dengan film Joker yang baru, yang menceritakan sejarah tokoh Joker beserta karakternya? Film ini menceritakan kembali asal muasal tokoh Joker yang berawal dari seseorang yang bernama Arthur Fleck. Pembentukan karakter diceritakan secara detil (meskipun kadang terlampau dramatis dan simbolis) di film ini. Satu sisi bisa jadi bahan refleksi bagi orang-orang yang mengalami nasib yang sama dengan Arthur, dan memang masih mengkhawarikan menimbulkan efek modeling sebagai bentuk pembenaran kesamaan nasib.
Namun demikian, film Joker memberikan kesempatan penonton untuk berefleksi secara mendalam untuk mencermati setiap detil pengalaman Arthur sebelum menjadi Joker. Pengalaman tersebut memberkan peluang kepada penonton untuk melihat perbedaan dirinya dengan Arthur yang dilandasi oleh prinsip individual differences. Karena itu, film ini justru malah menyuguhkan kemungkinan penawar atas dampak film The Dark Knight. Orang diajak untuk berempati sekaligus melihat detil-detil perbedaan Arthur dengan dirinya. Dengan demikian, ketika orang berpikir mengidentifikasi dirinya sebagai Joker, pada saat yang sama ia harus berpikir ulang bahwa Joker mengalami situasi dan kondisi yang berbeda, Joker memiliki gangguan kejiwaan delusional. JIka seseorang mengidentifikasi dirinya sebagai Joker, maka sebenarnya ia sedang mengakui dirinya mengalami gangguan delusional. Adakah yang berpikir demikian? Saya kira pemberian kesempatan untuk berpikir ini malah membuat orang menempatkan kesadarannya pada level yang lebih tinggi, dibandingkan dengan ‘pukulan bertubi-tubi’ dari film The Dark Knight.
Demikian review sekaligus analisis saya terhadap film Joker. Namun jika memang masih tersirat kekhawatiran bahwa mungkin terjadi pembenaran untuk melakukan tindakan yang sama karena bernasib serupa (kurang beruntung secara sosial ekonomi), maka silahkan di-share kekhawatiran Kamu dengan menuliskannya di kolom komentar di bawah artikel ini, agar kita bisa berdiskusi untuk mencari cara mengantisipasi segala dampak yang tidak baik dari film Joker. Terimakasih telah membaca, dan semoga bermanfaat.
Artikel tentang Psikologi Populer Lainnya:
- Terapi Psikologi: Menyembuhkan Gejala atau Penyebabnya?
- Video Mesum BEREDAR Lagi, Inikah Sifat Alamiah RAHASIA?
- Optimalisasi Internet Mengubah Struktur Ruang dan Waktu
- Hiper Realitas Media Sosial, Bagaimana Nasib Generasi Muda?
- Senang dan Sedih juga Dipelajari
- Ikigami (Death Notice), The Ultimate Limit, Eksistensi Diri Menjelang Kematian
- Bagaimana Melakukan Eksekusi Ide yang Jumlahnya Banyak?
- Perbedaan Hadiah dan Hukuman
- Faktor Penguat Tingkat Kepercayaan Orang kepada Kita
- Apa yang Membangun Keyakinan Diri (Self Determination) Kita?
- Kesehatan Mental Di Tempat Kerja
- Simplifikasi: Persiapan Menjadi Tester Handal untuk Psikotes
- Sekilas Cerita tentang Oedipus Complex
- Memahami AKU sebagai Pondasi Menjalani Hidup
- The Philoshophers (After The Dark), Sebuah Pertarungan 'Kepala' dan 'Hati'
- Kronologi Proses Keluhan Mengebiri Solusi
- Tiga Pola Strategi Mewujudkan Disiplin Positif pada Anak
- Hati-Hati, Persepsi Negatif Bisa Menguasaimu!
- Kinerja Optimal dengan Menyiasati Aspek Kecepatan dan Ketelitian Kerja
- 6 Prinsip Penyelarasan Tugas untuk Menjaga Motivasi di Masa Transisi
- Benarkah Televisi Menyebabkan Keterlambatan Berbicara?
- Apa Dampak Berasumsi Negatif bagi Kesehatan Jiwa Kita?
- Menumbuhkan Imunitas dengan Optimis dan Antusiasme
- Manfaat Berlibur untuk Kesehatan Psikologis
- Memaksakan Cara Berpikir Orangtua dapat Melemahkan Imajinasi Anak
- 5 Kondisi Lingkungan Kerja yang Berdampak pada Pemberdayaan Diri
- Teori Belajar Behavioristik Edward Lee Thorndike
- Selective Mutism, Jangan-jangan Anak Kita...
- Daily Parenting, Rugi Jika Tak Memiliki Buku Ini
- Bagaimana Psikologi Menganalisa Mimpi?
- Apa Perbedaan Berpikir Analitis dan Berpikir Kreatif?
- Mencegah Kecemasan Akibat Over Antisipasi
- Kenapa Anak Lebih Suka Membaca atau Mengoperasikan Angka?
- Dampak Individual dan Sosial dari Perfeksionisme
- 5 Prinsip Pengelolaan Waktu Istirahat untuk Menghasilkan Tindakan Efektif
- Ingin Membunuh Kreativitas Anak? Lakukan 5 Hal Berikut Ini!
- Psikologi Humanistik: Dengan Teknologi, Belajar Dimanapun Bisa Dibagi
- Level Kerumitan Persoalan Psikologis
- Proses Pembentukan Pribadi Pengeluh
- Belajar Prinsip Hidup dari Film The Fan
- Hidayah Tak Datang dengan Mudah
- Bagaimana Hierarchy of Needs Abraham Maslow Melihat Motif Berpuasa Kita?
- Apa Manfaat Mendengar Secara Aktif dan Empatik?
- Zone of Proximal Development dan Scaffolding pada Teori Belajar Vygotsky
- Ingin Merasa Bahagia dengan Aktivitas Kita? Hilangkan Variabel Waktu!
- Teori Motivasi dari Abraham Maslow
- Bagaimana Memelihara Imajinasi Anak Tetap Menyala?
- Air Mata sebagai Emotional Release
- Harmonisasi Pola Alamiah Diri dengan Pekerjaan
- Paradoxical Intention, Terapi Diri dengan Menertawakan Rasa Sakit
- Memetakan Sumber Penghasilan dengan Inventarisasi Kekuatan
- Pengalaman Kecil yang Menguatkan Hubungan dengan Pasangan
- Motif Mempengaruhi Loyalitas
- Fixed Mindset dan Growth Mindset, yang Manakah Dirimu?
- Puasa Mengajari Kita Menunda Kenikmatan Sesaat
- Struktur Kepribadian Menurut Sigmund Freud
- Tabula Rasa, Apakah Anak-Anak Sehelai Kertas Putih?
- 5 Faktor Penghambat Psikologis dalam Memulai Bisnis
- 7 Efek Tertawa dari Hati
- Reaksi Spontan Atas Ketidaknyamanan Dapat Membentuk Pribadi Kita
- Bentuk Tulisan untuk Meredakan Kegalauan
- Berkubang dengan Masalah atau Membudayakan Solusi?
- Pola Perilaku Baru dalam Belajar Sebagai Dampak Teknologi Informasi
- Menjadi Bahagia dengan Membunuh Waktu. Bagaimana Caranya?
- Pentingnya Memahami Term dan Definisi dalam Membuat Laporan Psikologi
- Kekuatan Pikiran Kita Dapat Membentuk Orang Lain
- Karakteristik Anak Berdasarkan Kesukaannya Membaca atau Mengoperasikan Angka
- 5 Situasi yang Memudahkan Mengenali Diri Sendiri
- 3 Cara Memfokuskan Kekuatan Diri
- Kompleksitas Kehidupan Berawal dari Logika Geometri
- Apa yang Melemahkan Determinasi Diri dalam Membuat Keputusan?
- Bagaimana Film Amazing Spiderman di Mata Psikologi?
- Sayangnya, Kehidupan Nyata Itu....
- Peran Imajinasi di Tiga Area Penciptaan
- Perkembangan Moral Kohlberg
- Mekanisme Pertahanan Ego dalam Psikoanalisa Freud
- Hilangnya 3 Hal yang Menjauhkan Diri dari Kebahagiaan
- Penting Diketahui Psikolog: Alur Asesmen dan Intervensi
- Bagaimana Pola Ketergantungan Terbentuk?
- Bagaimana Mengelola Orang yang Bermasalah dengan Kita?
- KKN di Desa Penari, Antara Fakta dan Fiksi
- Apa Sumber Makna dalam Hidup Kita, Isi atau Bungkus?
- Jika Sudah Punya Mimpi, Terus Diapakan?
- Fokus Kekuatan Diri Dibentuk oleh Niat
- Menjadi Orangtua Itu Sangat Intuitif. Percaya Sama Ahli Parenting?
- Menguasai Emosi Orang Lain melalui Disonansi Kognitif
- Perkembangan Psikoseksual Menurut Sigmund Freud
- Penarikan Simpulan yang Sesat atas Diagnosis Psikologi
- Personal Well Being, Apa dan Bagaimana?
- Bagaimana Seseorang Dapat Larut dalam Pekerjaan?
- Pekerjaan atau Anak?
- Kekerasan Seksual pada Anak di Mata Psikologi
- 5 Langkah Detoksifikasi Kecanduan Pornografi
- Teori Belajar Operant Conditioning Skinner
- Bersujud adalah Obat Psikologis yang Ampuh
- Hati-Hati dengan Pembentukan Karakter oleh Teroris
- Fokus kepada Kebahagiaan, Kunci Keberhasilan
- Need Sebagai Motif dalam Hierarkhi Kebutuhan Maslow
- Kamu Menyebutnya Kesadaran
- Apakah Sigmund Freud Sex Oriented?