Kualitas penelitian tak hanya ditentukan oleh objek bahan studi. Disiplin logika juga sangat berperan menjadi kunci keberhasilan penelitian.
Liburan akhir tahun tak pergi jauh dari rumah. Kesempatan ini mempertemukanku dengan beberapa kawan yang selama masa kerja susah untuk bersua. Aku banyak bicara dengannya. Salah satunya membicarakan tentang penelitian. Dalam konteks pembicaraan kami adalah eksperimen. Namun aku buat lebih general, karena tulisan ini bermaksud melakukan abstraksi untuk satu bagian penting melakukan studi atau penelitian, yaitu disiplin logika. Ini berlaku untuk semua jenis penelitian, termasuk eksperimen.
Temanku bercerita tentang eksperimen dari Stanley Milgram, seorang profesor psikologi dari Universitas Yale. Milgram melakukan eksperimen pasca pengadilan terhadap Adolf Eichmann, kriminal Perang Dunia II, karena banyak membunuh orang Yahudi. Eichmann mengatakan bahwa ia mengikuti perintah.
Milgram mengadakan percibaan dengan mencari partisipan eksperimen melalui pengumuman di koran lokal. 40 partisipan didapatkan. Setiap partisipan mengambil undian yang tanpa mereka ketahui selalu bertuliskan “guru” dan partisipan lainnya, yang sebenarnya adalah aktor, bertindak sebagai “murid”. Guru dan murid berada di ruang yang berbeda. Guru bertugas membacakan soal, sedangkan murid menjawabnya dengan cara menekan tombol sebuah mesin yang disediakan. Jika jawaban murid salah, maka guru harus memberikan tegangan listrik kepadanya. Tegangan listrik tersebut bertahap mulai dari 15 volt hingga 450 volt dan diberikan label mulai dari “tegangan rendah”, “tegangan sedang” hingga “bahaya: tegangan listrik fatal” sedangkan dua volt tertinggi bertuliskan “XXX”.
Ketika mencapai tegangan 300 volt, murid akan berpura-pura sangat kesakitan dan meminta eksperimen dihentikan. Di atas tegangan 300 volt, murid akan menolak menjawab, dan ini dianggap salah oleh guru. Hasilnya, ada guru yang menolak, namun kemudian terus melakukan perintah untuk membacakan soal dan memberikan tegangan listrik. Ada juga yang benar-benar menolak dan berhenti dari eksperimen. Dari 40 orang yang menjadi peserta percobaan, sebanyak 26 orang memberikan tegangan tingkat tertinggi sementara 14 orang berhenti sebelum mencapai tingkat paling tinggi. Lihat video eksperimen kepatuhan oleh Stanley Milgram di sini.
Kita tidak sedang akan membahas tentang isi dari eksperimen Milgram ini. Yang menarik adalah, temanku memberikan penjelasan tentang batas kepatuhan. Temanku menghubungkan dengan latar belakang dari eksperimen ini, yaitu pembantaian yang dilakukan oleh Eichmann. Terlihat temanku mengalami kesulitan menghubungkan keduanya. Kesulitan temanku ini sebenarnya bersifat alamiah. Jika orang punya kepekaan logika dia pasti dapat menangkap bahwa ada ketidakdisiplinan logika pada penjelasan tersebut.
Di banyak artikel yang membahas tentang eksperimen Milgram, memang sangat dimungkinkan ada ketidakdisiplinan logika. Latar belakangnya adalah pembelaan dari Eichmann yang mengatakan bahwa ia hanya mengikuti perintah. Sementara itu, eksperimennya menekankan pada ambang kepatuhan. Tidak terlalu penting untuk membahas ambang kepatuhan Eichmann dalam pembelaan di pengadilan tersebut.
Ketidakdisiplinan logika ini sama sekali bukan kesalahan Milgram, tetapi intepretasi dari beberapa orang yang membahas eksperimennya. Eksperimen Milgram jelas berbeda dengan ‘Invisible Gorilla’-nya Christopher Chabris dan Daniel Simons yang memang sudah berhubungan sangat kuat antara analogi gorila yang tidak tampak dengan kasus Kenny Conley yang memberikan kesaksian bahwa ia tidak melihat pemukulan yang terjadi pada Cox, rekannya. Conley hanya fokus mengejar Brown, salah seorang penjahat yang kabur setelah melakukan aksi penembakan. Akibatnya, ia didakwah memberikan sumpah palsu di pengadilan serta menghalangi keadilan. Ia dijatuhi hukuman 34 bulan penjara. Lebih lengkap ceritanya, baca di buku The Invisible Gorilla. Pasca kasus tersebut, eksperimen ‘Invisible Gorilla’ dijadikan alat untuk memberikan penjelasan.
Kembali ke eksperimen kepatuhan. Milgram sendiri tahu bahwa eksperimennya pasti berhubungan dengan ambang batas kepatuhan. Tetapi di sisi yang lain, eksperimen tersebut adalah cara Milgram menjelaskan adanya kemungkinan bahwa orang mengikuti perintah yang tidak sesuai dengan keinginannya. Jadi penjelasannya bukan pada ambang batas kepatuhan, tetapi pada pertentangan antara perbuatan yang didasarkan pada perintah dengan hati nurani yang tidak sejalan dengannya. Inilah penjelasan yang paling relevan dengan kondisi Eichmann di pengadilan.
Disiplin logika mutlak dibutuhkan dalam penelitian, apalagi saat membuat laporan. Dengan disiplin logika, penelitian sederhana jadi bermakna. Karna dengan disiplin logika, penelitian jadi punya sistematika, serta memiliki kohesi dan koherensi yang kuat. Keterkaitan antar bagian secara disiplin menentukan kualitas penelitian.
Persoalan seperti ini sering dialami oleh mahasiswa yang melakukan skripsi. Membuat latar belakang, merumuskan persoalan, menentukan tujuan, menganalisa, sampai melaporkan hasilnya, kadang tidak linear. Antara satu bagian dan bagian lainnya tak mengarah pada satu fokus yang sama. Ambil contoh saja copy paste yang terjadi di bab 2, kajian pustaka. Teori yang dimasukkan sangat melimpah ruah, tanpa tahu bagian mana yang menjadi titik tekan, dan bagian mana yang hanya bersifat sebagai pendukung dalam penelitian. Belum lagi copy paste yang juga dilakukan di bab 3, metode penelitian. Antara pendekatan yang digunakan dengan tujuan kadang tidak sejalan. Semua persoalan ini sebenarnya bermuara pada disiplin logika dalam penelitian.
Begitulah pentingnya disiplin logika dalam menentuukan keberhasilan penelitian. Apakah Kamu sudah sudah disiplin dalam logika penelitianmu?
One response to “Disiplin Logika, Kunci Keberhasilan Penelitian”
Pas ni buat Taufiq yg lagi sibuk penelitian buat rencana skripsi tahun depan