Manajemen Ge-Er dalam Menulis


Menulis ternyata juga bisa dihambat oleh perasaan kita. Ge-Er atau gede rasa juga terjadi saat kita mulai menulis. Perasaan ini tak jarang menurunkan gairah dalam menulis. Untuk itu, kita perlu manajemen skill menulis.

Manajemeni perasaanmu dalam memulai menulis (foto: bipolarbear.co.nz)

Teringat pegalaman membaca bagian tertentu dari buku tentang pembelajaran quantum. Di pembahasan tentang pikiran, dikatakan bahwa pikiran tak bisa dihentikan. Apa yang tidak ingin dipikirkan, kita malah memikirkannya. “Jangan berpikir tentang gajah merah!”, maka seketika itu juga kita memikirkan bentuk atau gambar gajah yang kita warnai merah dengan imajinasi kita. Hal ini menujukkan betapa dahsyatnya pikiran.

Kehebatan pikiran ini juga bersesuaian dengan cerita dari Abrahm Jahn tentang diskusi dalam sebuah kelas. Guru bertanya kepada para murid tentang apa hal terbesar dalam hidup mereka. Ada yang menjawab ayahnya, karena ia yang paling besar dalam keluarga. Ada pula yang menjawab gajah, karena hewan itulah yang terbesar di kebun binatang yang pernah ia kunjungi. Seorang murid yang brilian mempunyai jawaban cerdas, yaitu mata. Menurutnya, ayah temannya maupun gajah yang ada di kebun binatang dapat masuk ke dalam mata dia, karena itu, matalah yang terbesar menurutnya. Namun menurut Abrahm Jahn ada jawaban yang lebih cerdas, yaitu pikiran. Pikiranlah yang paling besar, karena pikiran tidak hanya memasukkan apa yang diindera, tapi juga apa yang sama sekali tak ada, imajinasi.

Karena dahsyatnya pikiran itulah, sebenarnya kita punya modal yang luar biasa untuk menjadi kreatif, untuk menuangkan ide dala tulisan. Dengan kata lain, sumber yang bisa kita gunakan untuk berceloteh sangat melimpah. Selain kita bisa melaporkan pandangan mata, membuat deskripsi yang kuat, kita juga bisa mengola apa yang tak terlihat, meramu imajinasi. Buat orang yang spirit hidupnya menulis, maka segala sumber adalah pencerah hidup buatnya.

Seperti halnya tulisan ini yang membuat jari terotomatisasi untuk menari. Baru bangun, langsung sambar laptop dan membiarkan hati bersua dengan tulisan. Apakah menurut Kamu menulis itu susah? Atau Kamu tergolong yang suka, sehingga itu terasa mudah?

Dulu, menulis itu jadi hal yang menyiksa buatku. Kalau ada tugas dari dosen yang harus dituangkan dalam makalah, wah saatnya bunuh diri sudah di depan mata. Menghasilkan tulisan saja sudah menguras keringat. Rasanya tubuh panas dingin dan pengen muntah.

Beranjak waktu berjalan dengan adanya kelompok studi yang sering berdiskusi, maka menulis mulai dibiasakan. Dulu aku suka hanya membuat tulisan selembar yang cuma berisi tiga sampai empat paragraf. Tapi ternyata tulisan itu banyak yang suka, terutama teman-teman angkatan tua (ketauhan pangsa pasarnya para remaja bangkotan).

Tulisan yang mendapatkan apresiasi yang luar biasa adalah tentang tiga manusia genial, yaitu Darwin, Einstein dan Freud. Ketiganya sekarang sudah menjadi ironi jaman. Tak tahulah apakah masih relevan jika tulisan itu dibaca sekarang, mengingat tulisan itu lahir sekitar tahun 2003. Tulisan Cuma empat paragraf pendek itu berhasil membesarkan hati.

Sampai suatu saat aku baca sobekan artikel tentang menulis. Ada bagian yang menarik disampaikan oleh Hary Rusli (kalau tidak salah) tentang tips menulis. Menulis itu perlu dibiasakan. Kadang yang menghambat menulis karena orang sudah ke-ge-er-an. Yang dibayangkan, tulisannya akan dibaca ribuan orang serta akan dicela dan dicerca mati-matian. Tak ayal, keluarlah keringat dingin yang menyertai ketakutan.

Dengan cara apa membiasakan menulis? Jika memang dibaca orang jadi pertimbangan yang tak terelakkan, maka mulailah membuat tulisan yang sama sekali tak dibaca orang lain, yaitu buku harian. Bahasa pribadipun dihalalkan dalam buku harian. Perlu diketahui, bahwa tulisan di blog pribadi atau di majalah, yang diminati dan gampang diterima adalah yang menggunakan bahasa sehari-hari.

Setelah terbiasa menulis buku harian, bolehlah mulai membuat surat pribadi. Dalam surat pribadi kita bisa cerita sesuatu kepada orang lain. Sepertinya tulisan berisi curhat, tapi sebenarnya di balik itu kita belajar membuat tulisan yang bentuknya cerita.

Jika kepercayaan diri mulai terbentuk, maka mulailah berani membuat tulisan untuk publik terbatas, misalnya mading. Majalah dinding hanya dinikmati oleh kalangan terbatas. Paling dari satu sekolah, kampus, atau tempat kerja, maksimal 35% yang menikmatinya. Paling tidak prosentase sekian bisa jadi umpan balik yang sehat buat kita.

Sebenarnya ada alternatif lain yang seperti majalan dinding, yaitu blog. Web pribadi ini bisa memfasilitasi, karena punya sifat yang sama. Hanya saja, publik yang menikmatinya mungkin lebih luas. Tapi ini sangat fleksibel, yang kebetulan tahu blog kita atau yang kebetulan menemukannya di search engine saja, yang akan memelototinya. Jika sudah merasa yakin, tinggal promo saja tulisannya dengan memberikan tautan di media sosial atau sejenisnya.

Nah, jika sudah merasa enjoy menulis, barulah membuat tulisan untuk surat kabar. Tentu saja tulisan yang dimuat di surat kabar akan dibaca oleh khalayak (karena itu selalu dihubungkan dengan layak atau tidak hehe). Demikian kira-kira isi sobekan artikel yang menghubungkan menulis dengan konsumsi massa.

Lepas dari perhatian pada konsumen yang membaca, mengawali belajar menulis bisa menggunakan jalur apa saja. Bahkan sekarang media sosial semacam facebook atau twitter bisa jadi lahan narciss untuk pamer tulisan. Di facebook bisa membuat tulisan di notes. Twitter bisa membuat tulisan bersambung atau memerikan tautan ke blog pribadi. Aku pikir semua hal yang dapat dimanfaatkan untuk membuat kita enjoy menulis, bisa dilakukan.

Bahkan sekarang sudah disediakan media menulis yang lebih panjang, yaitu dengan membuat buku. Jika dulu kita menulis buku harus menghadapi pagar mata sinis dan pikiran kritis dari para editor, sekarang kita bisa melakukan publikasi pribadi atau self publishing. Penerbit buku online bisa jadi acuan, misalnya nulisbuku.com. Dengan media ini pula beberapa tulisanku, baik sendiri atau bersama orang lain, telah diterbitkan. Sebut saja “Suara Bisu”, “Suara Kecil”, “22 Hari Bercerita vol 1”. Rencana ke depan juga akan dipublish novel “Sacrifice” dan buku tentang bercerita yang sekarang sudah ada versi buku elektroniknya (e-book) yang bisa diunduh gratis di http://blog.indonesiabercerita.org/.

Demikian kira-kira tulisan tentang menulis yang aku bagikan ini. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita untuk bisa selalu punya gairah menulis dan menulis. Akhirnya, selamat menulis!


3 responses to “Manajemen Ge-Er dalam Menulis”

  1. Wow, so inspiring, Sir. Dulu, saya sangat bergairah menulis saat merasa tulisan saya sangat buruk dan seperti tak ada seorangpun yang tertarik untuk membacanya. Maka menulis seperti tidak ada beban dan menjadi lebih lepas. 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *