Menulis punya daya luar biasa untuk menghasilkan perubahan positif bagi pelakunya. Karena itu, biasakan melakukannya. Buatlah menulis jadi aktivitas yang asik, sampai kita merasakan keasikannya.
“Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”
– Ali Bin Abi Thalib –
Ada tiga kegiatan dasar ekspresif yang punya daya pengurai karena keunggulanya dalam menjadi media penyaluran emosi, yaitu bicara atau bersuara, bergerak dan menulis. Termasuk dalam kemampuan bersuara adalah bernyanyi, bercerita dan sejenisnya. Dalam aktivitas gerak ekspresif, di dalamnya ada menari, pantomim dan sejenisnya. Sementara kegiatan menulis sebenarnya termasuk dalam aktivitas menuangkan pikiran dalam lembar kertas atau sejenisnya. Di dalamnya juga ada menggambar.
Nah, kali ini aku akan berbagi tentang daya pengurai melalui bahasa ekspresif dalam bentuk tulisan, yaitu kegiatan menulis. Yang dimaksud daya pengurai ini adalah efek dari menulis secara langsung untuk diri penulis. Dengan kata lain, selain efek ekonomis dengan menjadikan menulis sebagai sumber penghasilan, untuk diri orang yang melakukan, menulis punya dampak positif.
Sebelumnya aku akan berbagi pengalaman dalam menulis. Aku sebelumnya tak tahu menahu tentang pentingnya menulis. Mungkin hal itu yang membuatku sama sekali tak ingin melakukannya.
Pertama menulis, aku melakukannya untuk buletin “Kuras” dari sebuah kelompok studi yang aku buat bersama teman-teman seangkatan kuliah. Sebagai awal, tulisan itu tergolong sangar. Ditulis dengan gaya essay, idealis dan sangat kacau tentunya. Sama sekali tak membuahkan kepuasan. Tapi dengan tulisan itu aku jadi merasa tampak keren hehe.
Justru tulisan yang membuat aku puas adalah tulisan singkat, terdiri dari 3 paragraf. Tulisan itu menganalisa singkat tiga manuisa genial, yaitu Darwin, Einstein dan Freud. Tidak berat, tapi agak puitis. Ternyata tulisan ini mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari teman-teman angkatan atas. Berkali-kali ku baca, berkali-kali pula aku rasakan kepuasannya.
Karena orang sudah tahu aku suka menulis, maka selalu ada yang meminta tulisanku ketika aku sedang tidak menulis. Padahal waktu itu belum suka suka banget. Kalau diminta nulis, sulitnya tetap minta ampun. Keringat dingin dan jari-jari kaku di atas keyboard. Baru bisa nulis kalau sedang mengalami emosi tertentu, bisa senang, bisa sedih. Tapi lebih sering jadi produktif kalau lagi sedih sih hehehe.
Tulisan yang banyak aku hasilkan waktu itu tentang kritik kebijakan, protes terhadap keadaan dan analisa diri yang dibagi untuk orang lain. Itu semua wujud perasaan yang resah atau tidak nyaman. Paling tidak, aku jadi sangat produktif ketika mellow hehehe.
Di sela-sela waktu menulis tulisan serius, aku sempatkan untuk menulis cerpen. Cerpen yang ku tulis pertama akan aku masukkan di komunitas lingkar pena. Waktu itu tiba-tiba namaku tercatat sebagai anggota setelah mengikuti sebuah pelatihan yang mereka adakan. Sayangnya hal itu tak membuatku aktif menulis.
Namun cerpen pertama yang aku tulis itu dinilai picisan sama temanku yang sering baca cerpen, tapi tidak pernah menulisnya. Meski dinilai picisan, aku tetap suka ceritanya yang dramatis. Yang menguatkan dramatisasinya adalah, waktu itu sedang ngincer teman kuliah. Sejauh kaki mengejar, sejauh itu pula aku ditolak (#curcol dah).
Sejak saat itu intensitas menulis cerita semakin tinggi, sampai aku beranikan untuk menulis novel. Novel pertama belum sempat diterbitkan setelah berkali-kali mengalami pengeditan dari masukan yang diberikan oleh beberapa editor penerbitan.
Tidak diterbitkannya novelku tidak menyurutkan semangat untuk terus menulis. Dari hasil kesukaan menulis cerpen, jadilah satu buku berjudul Suara Bisu yang diterbitkan melalui penerbit online. Disusul buku cerita anak yang aku tulis bersama penulis Palembang dan Bandung, yaitu Suara Kecil. Dari situ lahirlah banyak antologi tulisan yang ditulis bersama dengan penulis-penulis dari berbagai daerah. Diantaranya antologi Pelangi, Sahabat, Gincu merah, termasuk kumpulan cerita 22 Hari Bercerita yang diterbitkan oleh Indonesia Bercerita. Kali ini sedang menjajaki untuk menerbitkan buku terbaru, “The Things” dan sekalian kumpulan cerita “Suara Bisu”.
Dari berbagai pengalaman menulis, aku tidak puas kalau hanya membuat tulisan, tetapi aku menyarikannya menjadi teori dan metode menulis. Mengikuti beberapa workshop menulis adalah cara untuk semakin memantapkan teori dan metode yang telah aku buat. Akhirnya aku meluncurkan workshop menulis pertamaku bersma mahasiswa Psikologi Universitas Airlangga. Baca kisah lengkapnya di sini.
Untuk apa kita menulis?
Aku punya impian di passion menulisku ini. Aku ingin menulis sebagai budaya. Dimana-mana orang bisa menuliskan pengalaman dan imajinasinya. Karena itulah aku bertekad membentuk komunitas menulis melalui workshop menulis.
Tekad ini bukan tanpa sebab. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, menulis punya efek terhadap diri orang yang melakukannya.
1. Menulis mengikatkan ilmu, mengristalkan pengetahuan
Ini bersesuaian dengan quote dari Ali Bin Abi Thalib, orang membuat monumen atas pengetahuannya dengan menulis. Tulisan menjadikan banyak hal yang abadi. Dengan review apa yang telah kita tulis, kita bisa menarik pelajaran, mengenang kejadian dan merevisi rencana kehidupan. Ingin dikenang? Menulislah!
Pertama aku menulis tujuannya untuk ini, meskipun tulisan pertama yang dihasilkan ditujukan untuk gerakan perlawanan atau menyadarkan orang atas sebuah keadaan. Iya, tulisan kritis.
2. Menulis jadi cara untuk mengajak orang lain meyakini apa yang kita yakini
Aku bergerak dalam kelompok studi yang concern di bidang pendidikan. Aku dan teman-teman banyak membuat tulisan untuk menyadarkan mahasiswa atas kondisi pendidikan dan kondisi mereka di dunia pendidikan. Efeknya waktu itu, kami bisa menggerakkan mereka untuk ikut mempertanyakan beberapa kebijakan.
Tulisan pertamakku yang berjudul “Go to School, Go to Hell” dimuat dalam buletin “Kuras” dari kelompok studi kami. Tulisan inilah yang membuat banyak mahasiswa berpartisipasi dalam gerakan kami.
3. Tulisan menguraikan pikiran dan meredakan emosi
Tulisan mencairkan ide kita. Tulisan membuat kebuntuan pikiran kita terurai. Bahasa deskriptif (penggambaran) atau preskriptif (penjelasan) dalam tulisan membantu kita memperjelas ide yang kita miliki dan mempermudah kita mengetahui kaitan antar ide.
Tulisan-tulisanku yang diawali oleh sakit hati dan kesedihan membantu meredakan perasaan itu. Juga ada beberapa tulisan yang mengabadikan kebahagiaan. Tulisan yang mengajak berefleksi dari pengalaman juga banyak ku buat untuk diterbitkan di mading kelompok studi.
Tunggu apa lagi, ayo menulis. Paling tidak, ada banyak manfaat pribadi yang bisa kita peroleh dengan aktivitas menulis.
Agar lebih asik dalam menulis, ayo ikutan workshopnya. Tertarik?
13 responses to “Ingin Menulis Secara Asik?”
Nah,nulis itu ya nulis aja sih ya. Jangan terlalu banyak aturan harus begini, harus begitu, kalau enggak nanti begini, begitu. Kaya di postinganku di blog sebelah onoh noh…
Forget all the rules, forget about being published. Write for yourself – Melinda Haynes
Hajarrrr!!!
[…] Ge-Er dalam Menulis dan 5 Setan Penciptaan Ide untuk Membuat Cerita. Diperkuat lagi dengan tulisan Ingin Menulis secara Asik? Untuk lebih menguatkan, mengidentifikasi diri sebagai penulis, ada tulisan berjudul Kamu Masuk […]
ternyata hampir sama, lebih produktif ketika lagi galau. curcol. hehe
hiyahahaha, ketangkap becek
Huaaa..iyaa nii…..nuliiss klo mood nya lg bgusss..lg proses eeuuyyy..
Jd mw ikut workshop …nuliss
haiyuuuk!
Workshopnya dimanaaa? mauuu, tapi mesti ada provit atau pemasukan dulu nih, semoga bisa cepet dapat dan berlimpah
Workshop bisa in-house kok. 15 orang sudah jadi. Kalau public baru diselenggarakan di Surabaya, mengingat kudu menyesuaikan dg jadwalku yg lainnya di Surabaya
Berapa biaya/15 orang itu?dan kalau di luar kota gimana?apakah khusus domisili Surabaya?thx
Sebentar, akan aku konfirmasi via email saja. Ke email mana aku harus konfirmasi?
OK, tolong konfirmasikan ke tyaseta_rabita@yahoo.com, terima kasih
Siap. Segera ku konfirmasi