Ini adalah sebuah pidato, orasi, atau apalah namanya. Aku berbicara tentang abnormalitas, anak berkebutuhan khusus. Mau tahu bagaimana pidatonya?
Hari ini saatnya kembali memandu proses belajar di Psikologi Pendidikan. Cara belajar mahasiswa adalah dengan melakukan presentasi. Ada dua kelompok yang akan presentasi tentang topik tertentu yang disusun berdasarkan judul bab. Setelah presentasi, peserta yang lain akan bertanya. Jadi pembelajarannya ada dua macam, presentasi dan diskusi.
Kali ini topiknya adalah karakteristik anak berkebutuhan khusus. Berbagai macam kebutuhan khusus dibahas, disability, mental retardation, slow atau delay, sampai exceptional. Bagian yang terakhir adalah anak-anak dengan keberbakatan, termasuk anak genius.
Presentasi berjalan lancar dan dua kelompok berusaha menyajikan penampilan yang bisa menarik perhatian teman-temannya. Diskusi pun lumayan seru, meskipun kali ini aku tidak turut campur dalam fasilitasi diskusinya.
Karena sudah tidak ada lagi yang bertanya, selain itu aku juga harus segera beralih ke kelas sebelah, Penelitian Kualitatif, maka ada baiknya tak diteruskan. Sebelum mengakhirinya, aku (anggap saja) berpidato.
Berbicara tentang anak berkebutuhan khusus, aku curiga, jangan-jangan aku termasuk salah satunya. Ada cerita yang berhubungan dengan itu. Namun sebelum cerita, kita lihat dulu dua cara pandang terhadap anak berkebutuhan khusus.
Kita sudah terbiasa melihat anak-anak yang kita katakan berkebutuhan khusus ini dengan cara pandang stratifikasi. Apa itu cara pandang stratifikasi? Stratifikasi itu susunan secara vertikal, ada yang kurang dan ada yang lebih, ada yang baik dan ada yang jelek.
Kita masih punya satu cara pandang lagi, yaitu diferensiasi. Apa bedanya? Diferensiasi memandang secara horisonal, segala perbedaan adalah variasi, bukan stratifikasi. Apapun perbedaan seseorang, termasuk yang dikatakan sebagai abnormal, sebenarnya hanya variasi.
Coba perhatikan berbagai variasi yang dianggap kekurangan dari presentasi dua kelompok tadi. Begitu berbicara tentang keberbakatan yang didalamnya termasuk anak pintar dan genius, disebutnya sebagai exceptional atau pengecualian. Ini bisa mempunyai dua arti, yaitu pengecualian dari kita yang merasa normal atau pengecualian dari berbagai kebutuhan khsusu yang lainnya. Sebenarnya yang dituju adalah yang pertama. Namun demikian, arti yang kedua tidak tertutup kemungkinan bisa muncul.
Jika anak berbakat dianggap pengecualian dari kita yang merasa normal, maka sebenarnya mereka tidak ada bedanya dengan anak-anak lain yang dianggap tidak normal. Jika dianggap pengecualian dari anak berkebutuhan khusus lainnya, maka sepertinya anak berbakat itu jauh lebih agung dari anak berkebutuhan khsusu lainnya. Ini adalah model berpikir terstratifikasi.
Aku punya cerita tentang diriku sehubungan dengan kebutuhan khusus ini. Semenjak sekolah dasar, aku sekolah di madrasah. Sekolah ini jauh lebih punya banyak mata pelajaran, karena ada tambahan mata pelajaran seperti Fiqih, Aqidah Akhlak, Sejarah Islam, Bahasa Arab, Al-Quran Hadits. Coba bayangkan betapa banyaknya yang harus aku pelajari.
Sebelumnya aku tidak merasa terbebani, karena memang tidak menemukan pembanding. Tidak pernah merasakan sekolah di SD juga. Paling juga cuma bisa memperkirakan, karena mata pelajaranku memang jauh lebih banyak. Karena perbadingan itulah, maka aku mulai mengidentifikasinya sebagai beban.
Namun demikian, aku tetap berlangganan ranking 1. Baru di kelas 5 para pesaingku mulai merebut posisiku, sementara aku turun ke ranking 2 atau 3. Aku merasa tidak nyaman dengan kondisi ini, emskipun sebenarnya sudah tidak merasakan istimewa menjadi ranking 1.
Rasa tidak nyaman semakin terasa ketika SMP. Di SMP, aku selalu juara paralel. Sementara itu, aku punya teman-teman yang buat aku manusiawi. Prestasi yang biasa saja itu buat aku sangat manusiawi. Aku ingin seperti mereka.
Karena itu, waktu caturwulan 2 (waktu itu menggunakan sistem catur wulan) di kelas 2, aku praktis mengisi lembar jawaban ujian tanpa membaca soalnya. Tiap malam ketika ujianpun, aku mengajak teman-temankku ke rumah untuk dengerin musik atau nonton film bersama. Sudah barang tentu kakak tahu dengan kebiasaan ini, yang kemudian berbuntut pada dilaporkannya tabiatku ini kepada orang tua yang sudah pindah ke Bali.
Usahaku ternyata sia-sia. Aku turun ke ranking 2. Tetap gagal untuk menjadi manusia biasa. Orangtua yang tahu kebiasaan tak belajar ketika ujian marah besar. Tuntutan keluarga bertambah berat, dan aku dimarahi habis-habisan. Stress adalah konsekuensinya. Aku jadi tidak suka, eneg, tiap kali belajar dan sekolah. Tamat SMP, aku lulus dengan NEM tertinggi kedua di sekolah. Tetap hal ini tak bisa menjadi sumber bahagia.
Rasa tak nyaman ini terbawa sampai masa SMA. Aku masuk SMA favorit. Karena SMA yang bagus, maka aku keteteran di hampir semua pelajaran. Nilaiku juga tak pernah bagus. Paling mentok sampai tengah-tengah. Tentu saja hal ini semakin tak membuat bahagia.
Kelas 3 aku ngambil jurusan IPS. Ini kemauanku sendiri, dan orangtua sudah berubah, tidak lagi menuntut. Sebenarnya ada cerita di balik cerita atas perubahan orangtua, yaitu cerita tentang kura-kura. Lain kali saja aku ceritakan.
Aku merasa IPS jadi jalan terbaikku. IPS semakin membuatku percaya diri. Aku sering kumpul dengan anak IPA. Bahkan ketika ada debat dengan mereka tentang sistem tubuh, aku dan kawan-kawan dari IPS berhasil memukul telak mereka. Kami menguasai betul tentang sistem pernafasan waktu itu. Keren bukan?
Ketika lulus, aku berhasil mencapai NEM terbaik ketiga di kabupaten. Pasca aku keluar dari SMA, jurusan IPS jadi jurusan favorit di sekolahku. Tentu saja aku sangat bangga dengan ini.
Kebebasan memilih membuat aku belajar dengan suka cita. Kebebasan memilih membuat aku merasa sehat, sembuh dari beban dan stress yang mengungkung selama sekian tahun.ย Aku mengidentifikasi babak ini sebagai sehat.
Apakah aku tergolong yang memiliki kebutuhan khusus? Jika iya, bagian yang mana yang menunjukkan itu?
Sampai sekarang aku masih menganggap sama dengan anak berkebutuhan khusus lainnya. Aku cuma terus berusaha untuk mengenali abnormalitas itu dan menerimanya apa adanya.
Aku pernah mengatakan bahwa orang yang sehat adalah mereka yang menerima sakit apa adanya. Jadi usaha yang aku lakukan untuk menjadi sehat adalah mengenali setiap hal dari diriku, sehat dan sakit. Setelah menyadarinya, aku menerima sakit sebagaimana aku mensyukuri sehat yang sering kita abaikan selama ini.
Kita saja yang ke-ge-er-an merasa normal, melabeli mereka sebagai orang yang kita anggap kurang daripada kita. Mungkin saja mereka baik-baik saja sebelum kita mengintervensi kehidupan mereka dengan keharusan, menuntut mereka menjadi sama. Bentuknya bisa macam-macam, misalnya dengan mengukuhkan bahwa mereka membutuhkan sekolah. Karena kebutuhan itu diyakini, maka pengusaha sekolah jadi berlomba-lomba menjual kebutuhan mereka.
Sekali lagi, kita punya abnormalitas dan menjadi normal sampai kita menerima hal itu apa adanya.
Begitulah ceramah atau pidatoku untuk menutup perkuliahan Psikologi Pendidikan hari itu.
Apa makna yang bisa diambil dari cerita ini?
9 responses to “Abnormalitas adalah Normalitas yang Diingkari”
kayaknya kalo yang diceritain sama mas Rudi ini agak berbeda dengan “abnormalitas” yang selama ini aku tau ya, hehe
tapi, bedanya “abnormal” dalam cerita ini dengan “unik” piye yo mas?
karena mungkin sebenarnya gak ada yang 100% normal ya kalo gitu, karena pasti setiap orang punya “cerita2 abnormalnya” sendiri.
anak yang bernilai rata2 di sekolah pun belum tentu normal, krn sisi lain kehidupannya bisa jadi tidak normal
*walah, komen kedawan malih bingung dewe ๐
haha iya, ceritanya jadi panjang. abnormalitas bisa jadi sebuah label sebagai anak kandung dari relasi kekuasaan hehehe. Yg jelas secara teoritis ada 3 cara biasanya yg digunakan untuk menentukan abnormalitas: secara statistik, budaya dan pedoman (seperti PPDGJ atau DSM) :))
waduw, onok maneh “anak kandung dari RELASI KEKUASAAN”? –> maksudnya: karena tuntutan orang tua utk selalu juara kelas, anak jadi terbebani gitu ya?
ya ini yang namanya bahasa rodo2 filsafat *pegang jidat* :))
postingnya pas lagi sama Pak Ino sih ๐
Itu salah satunya. Yang merasa normal juga punya kekuasaan untuk melabeli yang berbeda dari dia sebagai abnormal
Good Point Rud!
Abnormalitas tanpa batas bukan untuk dihakimi, tetapi dipahami dan diinternalisasi menjadi bagian dari kehidupan kita. Neo-Freudian pasti setuju dengan ide ini.
Sudah diklarifikasi, Uz. Mereka setuju ๐
[…] 10. Abnormalitas adalah Normalitas yang Diingkari […]
Saya coba ngambil yang sederhana :
Orangtua yang tahu kebiasaan tak belajar anaknya ketika ujian, mestinya tidak serta merta marah besar. Lebih baik pendekatan empatik.
***
Tentang penurunan gradual nilai-nilai akademik SD hingga SMA saya merasa mengalaminya juga Mas, apa ini fenomena yang umum (baca: normal)? Urgensinya, saya sekarang mengalaminya saat ini (kuliah). IP 3,3 tapi semester terakhir IPS = 0. Desain kurikulum yang saya pahami adalah mempersiapkan bekal mahasiswa dengan teori untuk praktek di dunia kerja. Nah, pas melangkah ke dunia kerja itu.. saya lihat ke belakang, loh selama kuliah dapet apa? Memikirkannya jadi galau ๐
Seharusnya seperti itu