Bagaimana Memandu Fasilitasi Belajar Secara Total?
Maret 1, 2012 . by rudicahyo . in Creative Learning . 2 Comments
Pembelajaran membutuhkan totalitas pemandu sebagai fasilitator, perlengkapan dan metode. Semuanya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan peserta ajar. Bagaimana memandu fasilitasi belajar secara total?
Hari selasa kemarin, aku bergabung dengan para pengajar Psikodiagnostik 2. Ini mata kuliah tentang observasi. Di dalamnya membahas secara teoritis tentang jenis dan teknik observasi. Memang belum dimasukkan skill fundamentalnya sih, misalnya tentang sense mendengar, melihat, rasa ingin tahu, framing dan sebagainya.
Kali ini kita abaikan dulu tentang isi mata kuliahnya. Mengingat Psikodiagnostik 2 adalah mata kuliah yang dimasukkan dalam projek active teaching yang menitikberatkan pada metode fasilitasi dan delivery, maka aku akan berbagi tentang apa yang aku alami kemarin. Oh iya, tentang active teaching bisa dibaca di “Mengharmoniskan Isi dan Metode dalam Pembelajaran” atau di “Belajar Aktif Vs Belajar Kreatif”.
Sebagai pendatang baru yang dicomot untuk jadi tim pengajar (eh, fasilitator), aku memilih untuk duduk manis di pertemuan yang pertama ini. Istilahnya sit in. Karena itulah aku leluasa mengamati prosesnya.
Karena pertemuan awal, mahasiswa mendapatkan sosialisasi desain mata kuliah terlebih dahulu. Di layar ditampilkan desain belajar selama satu semester. Isinya adalah standar kompetensi, materi, metode dan para pengajarnya. Kali ini mahasiswa dihadapkan pada menu yang harus mereka santap selama satu semester.
Setelah mahasiswa mengangguk sebagai tanda yang dianggap setuju, pertemuan pertama dilanjutkan dengan bermain mencari perbedaan dari dua gambar yang sama. Pernah tahu permainan seperti ini kan? Yang biasanya ada dalam majalan atau tabloid anak.
Sebelum bermain serupa tapi tak sama itu, mahasiswa dikelompokkan menjadi berpasangan. Mereka semua mendapatkan satu amplop putih berisikan kartu kecil dari kertas bufalo warna-warni dan bergambar simbol-simbol, seperti # O + = dan semacamnya. Mahasiswa yang mendapat kartu dengan warna dan gambar yang sama menjadi pasangan.
Tiap pasangan mendapatkan amplop tertutup. Di dalamnya berisi 5 kartu bergambar. Masing-masing kartu punya sepasang gambar yang sepertinya sama, tetapi ada perbedaan-perbedaan yang harus dicari.
Dosen memberi aba-aba, karena semua harus mulai secara bersama-sama. Setelah beberapa waktu (entah tepatnya berapa lama), dosen bertanya, sudah menemukan berapa perbedaan. Pasangan yang menandai perbedaan dengan jumlah terbanyak diminta menunjukkan bagian-bagian yang berbeda tersebut. Demikian seterusnya sampai gambar yang kelima. Namun gambarnya berbeda tingkat kedetilannya.
Selesai beraktivitas dengan gambar serupa tapi tak sama, dosen kembali memandu untuk membentuk kelompok baru. Caranya dengan memeriksa kembali kartu dalam amplop yang dibagikan di awal. Kartu dengan warna dan gambar berbeda diminta jadi pasangan.
Setelah selesai semua aktivitas, mahasiswa diminta menuliskan komentarnya pada sehelai kertas. Pertanyaan stimulusnya kurang lebih, 1. Apa hal baru yang Kamu peroleh dari proses barusan? 2. Jika suatau saat Kamu menjadi psikolog, apa yang bisa Kamu terapkan dalam proses tersebut? 3. Lebih luas lagi, apa yang bisa Kamu terapkan dari proses tersebut untuk kehidupanmu?
Selanjutnya adalah permainan cermin. Salah satu anggota pasangan menjadi cermin, orang yang satunya menjadi bayangan. Jadi, satu orang memeragakan atau membuat gerakan, pasangannya yang menirukan. Wow, kelas jadi meriah.
Setelah semuanya menuliskan, mahasiswa yang ingin membacakan hasilnya dipersilahkan membacakan. Karena hanya dua mahasiswa yang dengan suka rela membacakan, sementara yang lainnya tidak ada suara, maka dosen melakukan penghitungan. Ketika berhitung, orang dengan angka yang disepakati harus membacakan hasil refleksinya. Dengan cara ini, beberapa orang anak akhirnya berbicara juga.
Itu tadi cerita pengalamanku waktu menyaksikan proses active teaching di mata kuliah psikodiagnostik 2 (observasi). Lalu ada apa dengan praktek tersebut?
Apresiasi dan Masukan
Penerapan active teaching kali ini tidak lepas dari plus minus efektivitas proses pembelajaran. Karena itu, mari kita lihat apa yang bisa kita apresiasi dan apa yang masih butuh dikembangkan lagi.
Apresiasi untuk active teaching Mata Kuliah Psikodiagnostik (observasi) dari yang aku alami adalah:
1. Proses belajar yang tidak biasa
Hari itu menyenangkan buat aku yang belum pernah menyaksikan model belajar yang seperti itu. Kabarnya beberapa mata kuliah sudah melakukannya, bahkan sebelum orang-orang pada heboh dengan active teaching. Tapi aku belum menyaksikan dengan mata kepala sendiri, kecuali beberapa kali yang sudah pernah aku lakukan sendiri.
Aku yakin bukan cuma buat aku, mahasiswa pasti mengalami proses belajar yang berbeda dari biasanya. Ini juga bisa didengar dari komentar mahasiswa yang mengatakan bahwa proses terebut beda dari biasanya, lebih menyenangkan.
2. Cara unik untuk mengenalkan aktivitas observasi
Entah, goal dari pertemuan pertama ini tepatnya apa. Anggap saja di pertemuan pertama ini bertujuan mengenalkan observasi. Ini tercermin dari refleksi yang dilakukan oleh dosen.
Bermain atau menyelesaikan teka-teki adalah metode yang menyenangkan. Dengan memecahkan misi mencari perbedaan dari dua gambar yang sama, diperoleh pelajaran tentang ketelitian. Ketika mahasiswa menceritakan bagian mana saja yang berbeda, berarti dituntut kemampuan mendeskripsikan apa yang diamati. Artinya, kemampuan berbehasa juga dibutuhkan.
3. Kemampuan dosen mengaitkan dengan inti materi
Sepertinya hari pertema ini adalah perkenalan dengan observasi. Dosen yang memandu sangat memahami apa tujuan yang ia harus pegang. Dosen secara tepat mampu mengatikan detil-detil aktivitas dengan kemampuan dalam observasi. Seperti yang disinggung sebelumnya, dosen dapat dengan baik mengaitkan kesulitan mahasiswa dalam menjelaskan bagian-bagian yang berbeda dengan tuntutan kemmapuan dalam membuat deskripsi. Ketepatan cermin dan bayangan dalam permainan bercermin menunjukkan ketepatan dalam mengamati dan mencatat objek amatan.
Disamping keunggulan yang bisa diapresiasi, ada beberapa hal yang masih perlu dikembangkan lagi, yaitu:
1. Tujuan pembelajaran dibuat eksplisit
Sejak aku membuka desain belajar, aku berusaha mencari tujuan. Aku hanya menemukan bahwa di pertemuan pertama, kompetensi hasil pembelajarannya adalah mahasiswa mampu memahami proses pembelajarna yang akan berlangsung. Sepertinya ini desain lama yang masih belum diubah. Antara kompetensi hasil belajar dan refleksi prosesnya tidak selaras. Hasil belajarnya adalah berkenalan dengan observasi, tapi di desain bertujuan mengenal menu belajar selama satu semester beserta proses dan tugas-tugasnya.
Yang perlu dilakukan adalah membuat tujuan atau AMBAK (Apa Manfaatnya Bagi Ku). Hal ini perlu diketahui oleh peserta dan disepakati juga oleh mereka. Jika memang tujuannya sudah ditentukan, yang perlu dieksplorasi terlebih dahulu adalah apa kepentingan tujuan tersebut buat peserta. Ada juga yang lebih bottom up prosesnya, yaitu meminta peserta untuk membuat harpan-harpaannya pada pertemuan itu.
2. Ketidakseimbangan properti dengan tujuan
Yang paling mencolok adalah penggunaan amplop kecil dengan kartu warna-warni bergambar yang ada di dalamnya. Pernak-pernik yang sudah pasti sulit membuatnya ini ternyata hanya digunakan untuk membentuk kelompok. Tidak ada tujuan lebih selain hanya untuk itu. Pada pengalaman yang berbeda, seorang teman menggunakan stiker foto bergambar tokoh yang akan dipelajari dalam mata kuliah itu untuk membentuk kelompok. Stiker itu ditempelkan di punggungnya, sehingga ia sendiri tidak bisa melihat, selain teman-temannya. Kelompok mengerjakan tugas, yaitu teori dengan tokoh yang ada di stiker. Contoh yang terakhir ini jelas beda. Temanku tersebut mampu menggunakan pernak-perniknya untuk tujuan yang lebih banyak dan substansial.
Untuk membuat kelompok penunjang proses belajar (bukan substansi belajar), lebih baik jika menggunakan properti sederhana atau diakukan dengan cara yang mudah dan cepat. Selain agar tidak membutuhkan biaya besar, juga menghemat waktu, sehingga waktunya lebih banyak digunakan untuk substansinya.
3. Active Teaching, sudah pasti pengajaran
Namanya juga active teaching, ya isinya teaching. Masalah yang aktif apakah dosen atau mahasiswa, itu urusan berikutnya. Ini sangat berbeda dengan fasilitasi yang mendasarkan aktivitas belajar berdasarkan kebutuhan dan kekuatan peserta. Nah bagaimana dengan active teaching sore itu? Ayo kita lanjutkan!
Desain yang isinya materi-materi seputar observasi diberikan. Namanya materi, ya dari sana sudah dipersiapkan. Seperti nasi goreng sore ini, sudah disajikan di depanku, ya aku tinggal santap aja. Eh, iya sambil makan ini. Makan dulu sebentar hehehe. Asumsinya, mahasiswa lapar, dan ia menginginkan makanan yang disediakan oleh pengajar. Selain jenis makanannya, mahasiswa juga wajib menyantap seluruh menu yang ditawarkan. Ini jelas berbeda dengan fasilitasi yang berlandaskan pada kebutuhan peserta.
Jika memang tidak bisa mengakomodir kebutuhan mahasiswa, karena mungkin akan lebih sulit, kebanyakan kepala, tidak hemat waktu dan adanya keharusan penguasaan materi yang disiapkan, bawa mahasiswa kepada kepentingannya. Artinya, buat mahasiswa merasa punya kepentingan terhadap apa yang akan ia pelajari.
4. Dosen/guru tidak lagi mengajar, tetapi memfasilitasi
Jika dilihat dari menu belajar, dosen adalah penyampai pesan. Hanya saja sekarang dibantu dengan metode yang berbeda dari biasanya. Namun demikian, dari menu tersebut tercermin bahwa dosen tetap menjadi yang utama. Dosen jelas memegang kendali atas proses, karena prosesnya jelas sudah dirancang. Hal ini tidak menjadi masalah. Persoalannya, ketika dosen menadi penyampai pesan atas materi yang diharuskan untuk dipelajari semua oleh mahasiswa, dosen tidak lagi menjadi fasilitator. Lagi-lagi karena ini memang teaching (pengajaran). Efeknya muncul pertanyaan, yang aktif sebenarnya siapa? hehe
Jika memang kesulitan kalau mahasiswa menentukan sendiri materi berdasaran kebutuhannya, maka setidaknya dosen bisa membantu mereka untuk menemukan apa kepentingan mereka atas materi yang kita tawarkan. Dengan demikian, mereka diharapkan akan menjalani proses belajar sepenuh hati. Tujuan yang sedang mereka kejar tidak hanya konsep di awang-awang benak mereka, tetapi nyata buat kehidupan mereka.
5. Kedalaman refleksi
Refleksi yang dilakukan dosen waktu itu sudah cukup bagus. Hanya saja butuh dibuat lebih detil dan real. Misalnya pertanyaan tentang, hal baru apa yang diperoleh mahasiswa. Tentunya bisa diminta menjelaskan arti baru yang dimaksud. Contoh, jika mahasiswa mengatakan bahwa observasi ternyata menyenangkan, dosen bisa mengeksplorasi bagian apa yang menyenangkan, bagaimana hal itu bisa membuat ia senang dan sebagainya.
Tentang pertanyaan, apa manfaat buat peserta ketika jadi psikolog dan manfaat buat kehidupannya, mahasiswa bisa digiring membuat cerita personal. Cerita itu punya sifat detil dan mengonteks, berpijak pada setting ruang dan waktu. Sebuah peristiwa yang diceritakan, pasti mengandung jawaban akan pertanyaan kapan, dimana, dengan siapa, bagaimana. Jika pertanyaan itu dijawab, pasti akan mereproduksi kenyataan. Jika pertanyaannya untuk masa depan, maka mahasiswa diajak membuat cerita imajinatif, cerita impiannya.
6. Pentingnya kristalisasi
Selain refleksi untuk memperoleh apa yang berguna buat kehidupan mahasiswa, dosen perlu menguatkannya dengan melakukan kristalisasi. Tujuannya adalah mengunci apa yang telah diperoleh mahasiswa, sehingga diingat dan mudah menggunakan kembali ketika menghadapi hal yang serupa.
Kristalisasi dapat berupa membuat puisi, lagu, atau kalimat-kalimat akronim. isinya adalah apa yang telah mereka pelajari (hasil refleksi).
7. Mahasiswa/murid perlu menyadari aktivitasnya
Seorang mahasiswa (atau murid), jika diperintah untuk melakukan sesuatu dalam proses belajar, pasti sebagian besar akan melakukannya. Yang jadi persoalan, bagaimana kesadaran mahasiswa yang bersangkutan ketika melakukan kegiatan tersebut. Mahasiswa seharusnya merasa ada luaran tertentu yang tetap ia pegang selama melakukan aktivitas dalam proses belajar. Ada kemungkinan mahasiswa fokus pada metode, mereka bermain, bersenang-senang dan sebagainya, karena hal itu memang diperintahkan oleh pemandu. Pada saat melakukan aktivitas, mungkin saja mahasiswa kehilangan pegangan output yang nantinya akan mereka peroleh.
Memperjelas AMBAK untuk maasing-masing peserta bisa membantu memberikan ruh pada aktivitas yang sedang mereka jalani. AMBAK juga bisa dikristalisasi dengan cara menempelkan harapan semua peserta di tembok, sehingga semua bisa mengamati, minimal yang punya harapan mudah melihat harapannya sendiri. Yang jelas perlu ditegaskan sebelum aktivitas berlangsung.
Demikian ualsanku tentang proses penerapan acitve teaching di kesempatan pertama. Mudah-mudahan ini menjadi awalan yang baik untuk pembelajaran berikutnya yang jauh lebih baik.
Berdasar proses yang aku ceritakan teadi, menurutmu apa yang masih perlu dikembangkan?
Tag: belajar, fasilitasi belajar
2 Comments