Berikan Alasan Realistis untuk Anak


Anak punya daya imajinasi, tetapi juga realistis. Anak membutuhkan kenyataan yang ditunjuk untuk merangsang imajinasinya. Akan membutuhkan penjelasan dan alasan realistis untuk dilakukan atau tidak dilakukannya sebuah perbuatan.

Hari ini Ibu Bintang sedang banyak mengerjakan sesuatu. Ia memanfaatkan Minggu pagi untuk membereskan urusan sekolah, mulai dari nilai untuk siswanya, keuangan kepanitiaan ujian sampai pengelolaan kas PKK.

Bintang juga tidak kalah sibuknya. Bedanya, kesibukan Bintang membuat ibunya menjadi lebih sibuk berkali-kali lipat. Ia melakukan banyak aktivitas yang menuntut ibunya untuk terlibat, berusaha menarik perhatian dan ingin selalu untuk dihiraukan. Karena itulah ibunya bilang, “Mbok ya sana main di luar!”.

Ada hal baru yang mengejutkan dari Bintang. Ia menjawab saran ibunya, “Ndak, di luar ada orang gila”. Reaksi ibunya di luar dugaan, ia marah besar. Dengan suara keras ibunya bilang, “Tidak ada orang gila! Siapa yang bilang begitu?”.

Kemarahan ibunya Bintang bisa dimaklumi, karena dua alasan. Pertama, pada kenyataannya di luar memang tidak ada orang gila. Biasanya, alasan seperti ini dikatakan oleh orang dewasa untuk menakuti anak agar tidak keluar rumah. Dan benar saja ternyata. Ketika Bintang ditanya, siapa yang mengatakan seperti itu, dia menjawab pengasuhnya.

Kedua, orang gila adalah konstruk abstrak yang baku. Hanya dunia medis, psikiatri atau psikologi yang menyatakan itu, dengan maksud menjustifikasi orang dengan kualifikasi tertentu. Bukan haknya Bintang, pengasuh atau siapapun yang bukan ahli di bidang tersebut, untuk mengatakan orang mengalami kegilaan. Selain itu, secara ontologis juga masih dipertanyakan soal gila atau tidaknya orang. Karena itu, dengan nada keras ibunya mengatakan, “Tidak ada orang gila!”.

Kadang orangtua menggunakan berbagai cara agar anak menuruti atau anak tidak melakukan perbuatan yang dilarangnya, termasuk menggunakan cara-cara yang tidak realistis bagi anak. Mungkin kita pernah mendengar, “… nanti dimakan harimau”, “Ada orang gila.”, atau “Ada hantu…”. Atau pernah mengatakan itu kepada anak?

Untuk alasan ‘harimau’, mungkin saja jika rumahnya ada di hutan dan memungkinkan ada harimau. Namun agak sedikit bergeser ketika kita bilang ‘dimakan’, karena belum tentu harimau memakan kita. Untuk alasan ‘orang gila’, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, ‘orang gila’ itu konsep abstrak. Kita tidak boleh semena-mena mengatakan orang gila, lebih-lebih menularkan kepada anak sejak kecil. Apalagi jika ‘ada orang gila’ hanya sebagai cara agar anak tidak keluar rumah, padahal tidak ada orang gila di luar. Kalau alasan ‘hantu’ gimana? Apalagi untuk yang satu ini.

Anak memang penuh dengan imajinasi. Persoalannya, apakah dia mendapatkan stimulasi yang tepat untuk mengembangkan imajinasinya. Untuk menjaga dan mengembangkan imajinasi, kita memang membiarkan anak berimajinasi dengan cara dan konsep yang ia miliki, tetapi bukan berarti kita membuatkan konsep untuk mereka, apalagi jika konsep tersebut tidak benar, semisal ‘hantu’ atau ‘orang gila’. Merangsang imajinasi juga bukan berarti memaksakan sesuatu yang harus mereka imajinasikan. Merangsang imajinasi tetap harus dilakukan dengan stimulus yang realistis.

Pada usia 0-3 tahun, menurut Bruner, anak berada pada tahap enactive. Pada saat ini, anak lebih sesuai dengan stimulus yang konkrit. Anak lebih bisa membuat konstruksi di benaknya dengan merekam benda-benda konkrit yang ditunjukkan kepadanya. Masuk usia 3-8 tahun, anak menapaki tahap iconic. Pada tahap ini, anak belajar dengan gambar dari benda asli. Pada usia 8 tahun ke atas, anak mulai belajar dengan simbol (symbolic). Mereka bisa berpikir secara abstrak atau belajar menggunakan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan benda yang ditunjuk. Lebih lengkapnya, tahap belajar menurut Bruner bisa dibaca di sini.

Berdasarkan tahap belajar menurut Bruner tersebut, apapun tujuannya, stimulasi untuk anak tetap didasarkan pada usia perkembangannya, meskipun di semua usia, imajinasi akan sangat besar. Namun terlepas dari teori perkembangan tersebut, alasan-alasan yang tidak realistik membuat anak mengalami kebingungan dan miskonsepsi.

Konsep-konsep yang belum dikenali oleh anak memang akan diimajinasikan oleh anak dengan gambaran-gambaran tertentu di benaknya. Namun jika konsep yang disajikan kepada mereka belum pernah dikenali, maka mereka membentuk gambarannya secara suka-suka. Sampai sini tidak masalah. Namun menjadi persoalan jika hal tersebut dihubungkan dengan pengalaman diri anak,  misalnya ketakutan, kekhawatiran dan semacamnya. Hal ini menyebabkan anak meletakkan alasan akan perasaan-perasaan tersebut kepada hal-hal yang tidak ada di realita.

Berikan alasan realistis ketika memerintah atau melarang anak! (foto: 1ms.net)

Karena itu, berhati-hatilah dalam mengemukakan alasan untuk anak. Semoga artikel ini bermanfaat.

Kalau Kamu, seperti apa alasan yang biasanya Kamu berikan untuk anak?


2 responses to “Berikan Alasan Realistis untuk Anak”

  1. Wah ternyata begitu ya, anak akan berimajinasi suka-suka jika belum melihat suatu benda yang dikatakan oleh orang lain. Apa ini juga yang menyebabkan bermacam-macam fobia ya?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *