Sebagai Guru, Sudahkah Kita Berdiri Di Atas Sepatu Siswa?
November 6, 2018 . by rudicahyo . in Creative Learning, Pendidikan . 0 Comments
Guru adalah sebuah pekerjaan. Tugasnya memberikan pendidikan bagi para siswa. Tidak jarang siswa dan guru punya ruang yang berbeda, berjarak, sehingga capaian pendidikan untuk kehidupan menjadi kurang optimal. Saatnya guru berdiri di atas sepatu siswa.
Berdiri menggunakan sepatu orang lain atau berdiri di atas sepatu orang lain, mungkin ungkapan yang sudah pernah kita kenal. Mari kita cermati ilustrasi berikut ini:
Pak Muhtar adalah seorang guru Mata Pelajaran Fisika yang sangat handal. Kemampuannya sudah tidak diragukan lagi. Dari mana orang mengetahui bahwa dia hebat? Ya dari cara mengajarnya, dari apa yang disampaikan di kelas. Beliau begitu piawai menjelaskan tentang Hukum Newton, Proses terjadinya listrik, Hukum Boyle, Archimedes dan banyak hukum-hukum yang lainnya. Para siswa sering melongo terkagum-kagum dengan kehebatannya ketika menjelaskan. Sementara beberapa siswa yang lain menggaruk-garuk kepala tak memahami apa yang ia sampaikan.
Rekan sekerja Pak Muhtar, Bu Mutia, mengajar Mata Pelajaran Ekonomi. Hari ini ia menjelaskan tentang Hukum Gossen. Ia membuat ilustrasi tentang orang makan dan orang belanja di mall sambil jalan-jalan. Orang makan akan semakin kenyang sesuap demi sesuap. Nilai makanan yang berikutnya menjadi menurun dibanding makanan yang dimakan di awal. Sementara itu orang yang belajar di mall sebagai kegiatan yang menyertai jalan-jalan, kadang belanja ini dan itu tanpa perencanaan. Akibatnya, ia melihat lagi seberapa uang yang ia miliki, sehingga terpaksa harus membagi uang tersebut untuk berbagai barang belanjaan yang diinginkan. Nilai dari berbagai barang yang ingin dibeli dengan sendirinya akan menjadi setara. Ilustrasi pertama menggambarkan Hukum I Gossen, sedangkan ilustrasi kedua menjelaskan tentang Hukum II Gossen.
Pak Muhtar dan Bu Mutia sebenarnya sama handalnya, sama pintarnya. Bedanya, kepintaran Pak Muhtar lebih terlihat, karena itu hampir selalu menyebutkan tokoh, referensi, prosedur, dengan segudang istilah ilmiah dan bahasa latin yang keren. Inilah yang membuat Pak Muhtar lebih dikenal pintar. Sementara itu, Bu Mutia lebih suka menyimpai kata-kata rumit dari sebuah teori. Ia sering mencermati wajah-wajah muridnya yang kebingungan. Senyumnya mengembang ketika setelah diklarifikasi, siswanya dengan ceria menunjukkan pemahaman atas materi yang disampaikan. Karena itu, Bu Mutia lebih terlihat bersahaja dalam ilmunya. Dengan kata lain, tidak terlihat sehebat Pak Muhtar.
Kedua guru tersebut disukai oleh siswa-siswinya. Jam mengajar mereka selalu ditunggu-tunggu. Jika tiba-tiba jam pelajaran kosong atau ada tanggal merah, para siswa merasa kecewa. Sampai suatu ketika saya punya kesempatan untuk menemui ‘para fans’ ini. Saya tanya kepada mereka, apa yang membuat mereka menyukai Pak Muhtar, begitu juga apa yang membuat mereka menggemari Bu Mutia.
Rata-rata siswa menjawab bawah mereka mengagumi Pak Muhtar karena cara komunikasinya enak didengar, mereka seperti mendengar penyiar radio, atau pendongeng yang meninabobokkan. Itu yang bikin mereka betah terpaku mendengarkan penjelasan Pak Mutar. Bahkan sebagian anak yang sebelumnya tidak suka Mata Pelajaran Fisika, menjadi suka mengikuti pelajaran tersebut di bawah kepengajaran Pak Muhtar. Pertanyaan selanjutnya, apakah hal itu membuat mereka menyukai Fisika? Lebih-lebih siswa yang sebelumnya tidak menyukai Pelajaran Fisika?
Mari kita beralih kepada Bu Mutia. Ketika saya bertanya kepada ‘para fans’ yang sama, mereka menjawab bahwa mereka menyukai Bu Mutia karena ia menjadi lebih memahami ekonomi dalam berbagai segi kehidupan. Para murid mudah memahami yang disampaikan Bu Mutia, karena mereka gampang melekatkan penjelasan yang diberikan Bu Mutia dengan pengalaman. Apalagi Bu Mutia sering memberikan contoh-contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari. Hanya diakhir-akhir sebuah ilustrasi, Bu Mutia biasanya menyebutkan sebuah konsep ekonomi. Jadinya mereka tidak menyadari bahwa mereka sudah mempelajari konsep tertentu dalam ekonomi, semisal hukum permintaan, hukum penawaran, prinsip ekonomi, dan sebagainya. Pertanyaan terakhir yang sama, apakah hal itu membuat para siswa menyukai Ekonomi? Bahkan bagi anak yang sebelumnya tidak menyukainya?

Sebagai guru, sudahkah kita berdiri di atas sepatu siswa? (foto: tribunnews.com)
Jawaban dari pertanyaan terakhir untuk Pak Muhtar dan Bu Mutia, berbeda. Anak-anak yang sebelumnya tidak menyukai Pelajaran Fisika, ternyata tetap tidak menyukainya. Mereka hanya menunggu-nunggu saat-saat Pak Muhtar menjelaskan. Menurut mereka, itu menghibur. Bagaimana dengan pemahaman terhadap materi? Bagaimana dengan ingatan mereka terhadap materi yang telah disampaikan? Itu yang tidak mereka dapat setelah mengikuti Pelajaran Pak Mutar, dan lebih mereka dapatkan setelah mengikuti Pelajaran Bu Mutia.
Dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud menjelaskan apapun, kecuali hanya untuk menceritakan kedua ilustrasi tersebut. Sekarang, pertanyaannya bukan untuk para siswa, tetapi untuk kita semua yang berprofesi sebagai guru, dosen, pelatih, konselor, konsultan, dan semacamnya, tipe yang manakah kita, Pak Muhtar atau Bu Mutia? Sudahkah kita berdiri di atas sepatu para siswa?
Artikel tentang Creative Learning, Pendidikan Lainnya:
- Apa Catatan yang Harus Diperhatikan Jika Guru Menghukum Murid?
- Bagaimana Cara Belajar dengan Lagu?
- Memilih Sekolah untuk Anak: Antara Kualitas, Gengsi, dan Kemampuan Keuangan
- Seperti Apakah Perubahan Diri Kita setelah Belajar?
- Kenapa Iklan Jadi Media Belajar yang Tajam untuk Anak?
- PowerPoint HANYA Alat Presentasi, BUKAN Tujuan Belajar
- Bagaimana Membuat Fasilitasi Belajar yang Hebat?
- Kenapa Anak Kita Mogok Sekolah?
- Tiga Cara Meningkatkan Motivasi dari Dalam Diri
- Bukan Stratifikasi, tapi Diferensiasi Pendidikan
- Daily Parenting, Rugi Jika Tak Memiliki Buku Ini
- Pro Kontra Penghapusan Status RSBI
- Problem Fatal Guru dalam Memandu Proses Belajar
- Anak Anda Mogok Sekolah? Mari Kita Coba Mengatasinya!
- Bagaimana Prinsip Memilih PAUD untuk Anak?
- Menumbuhkan Imunitas dengan Optimis dan Antusiasme
- Pendidikan Indonesia di Nomor S(ep)atu
- Menghilangkan Keunikan Anak dengan Diksi 'Lebih Unik'
- Belajar Kreatif untuk Membuat Definisi 1
- Prinip Memandu Belajar dengan Menggunakan Permainan
- Pemimpin itu Pendidik
- Prefleksi, Sebuah Pemberdayaan Imajinasi untuk Efektivitas Proses Belajar
- 3 Komponen Penting dalam Fasilitasi Belajar
- Cara Tepat Mengatur Penggunaan Gadget pada Anak
- Kreativitas KOWAWA
- 5 Alasan Fundamental Kenapa Membudayakan Membaca pada Anak Sangat Penting?
- Komponen dalam Memandu Proses Belajar dengan Permainan
- Belajar Hafalan, Membentuk Generasi 'Foto Kopi'
- Pendidikan dan Sikap terhadap Tantangan Kerja
- Kenapa Anak Lebih Suka Membaca atau Mengoperasikan Angka?
- Pendidikan Karakter dan Kebahagiaan Murid
- 6 Prinsip Penyelarasan Tugas untuk Menjaga Motivasi di Masa Transisi
- 3 Cara Mudah untuk Mengingat
- Perbedaan Analisis Level Rendah dan Analisis Level Tinggi
- Kompetisi Ego Mengaburkan Keselarasan Orangtua dan Anak
- Aktivasi Kelas untuk Efektifitas Belajar
- Warisan Unas: Ketika Kejujuran Menyisakan Penyesalan
- Bagaimana Cara Belajar yang Sesuai dengan Perkembangan Anak?
- Menguatkan Logika Matematika dengan Storytelling
- Fasilitasi Belajar Buruk yang Sangat Disukai Peserta
- Ingin Belajar Efektif? Jangan Menggunakan Cara Kerja Foto Kopi!
- Profesi Guru, Antara Idealisme dan Industri Pendidikan
- Cara Memberikan Instruksi Permainan untuk Fasilitasi Proses Belajar
- Fasilitasi Diskusi yang Efektif
- Tentang Kreativitas: Apakah Kita Kreatif?
- Apa Perbedaan Berpikir Analitis dan Berpikir Kreatif?
- Apa Itu Paradigma Penelitian?
- Pendidikan Kita Menciptakan Jarak dengan Kehidupan?
- 3 Cara Menggunakan Cerita untuk Fasilitasi Proses Belajar
- Bagaimana Memberikan Pendidikan Seks yang Sesuai untuk Anak?
- Fasilitasi Proses Belajar dengan Hierarchy of Questions
- Mengelola Fungsi Permainan untuk Belajar
- Belajar Kreatif Membuat Definisi 2
- Bagaimana Memelihara Imajinasi Anak Tetap Menyala?
- Perlukah Anak Melakukan Les Privat Selain Belajar di Sekolah?
- Ingin Skripsimu Bergairah? Perhatikan 3 Komponen Penggalian Ide!
- Membuat Desain Belajar yang Optimal
- Rumus Belajar Sederhana Namun Bermakna
- Matematika, Persoalan Epistemologi atau Etika?
- Berhala Sistemik Dunia Pendidikan
- Mengharmoniskan Isi dan Metode Belajar Cerdas
- PENDIDIKAN Kita Melestarikan Budaya Verifikasi Benar dan Salah?
- Kenali Pengujimu, Persiapkan Ujian Skripsimu!
- Memaksakan Cara Berpikir Orangtua dapat Melemahkan Imajinasi Anak
- Prinsip Klasifikasi untuk Menyederhanakan Kerumitan
- 5 Pembunuh Kreativitas Guru dalam Membuat Inovasi Belajar
- Apakah Pendidikan Kita Sudah Kontekstual?
- Aturan yang Menjaga Kelas Aktif dan Kreatif
- Resep Presentasi Spektakuler
- 5 Kesalahan Penggunaan PowerPoint
- Apakah Penelitian Kualitatif itu Ilmiah?
- Pola Perilaku Baru dalam Belajar Sebagai Dampak Teknologi Informasi
- Pengembangan Diri yang Paling Murni
- Tips Fasilitasi Belajar: Menggunakan Contoh untuk Menjelaskan
- Memahami Alat Permainan Anak dan Pola Pikir Anak
- Bagaimana Membangun Budaya Membaca pada Anak?
- Perbedaan Metodologi dan Metode dalam Penelitian
- Bagaimana Memandu Fasilitasi Belajar Secara Total?
- Kreativitas, Penciptaan Berawal dari yang Tidak Penting
- Apakah Pendidikan Kita Membangun Karakter?
- Disiplin Logika, Kunci Keberhasilan Penelitian
- Pembubaran RSBI Wujud Kemerdekaan Pendidikan
- Fasilitator Bukan Korektor atau Editor
- Belajar Penelitian dari Polisi Tidur
- Pelajaran Berharga dari Film Soekarno
- Bermain "Tebak Rasa" untuk Belajar Observasi
- Ujian Nasional (Unas), Harga Mahal Sebuah Kejujuran
- Film Rekomendasi untuk Hari Guru
- Menjadi Guru adalah Jalan Pedang
- Klasifikasi Membuat yang Rumit Menjadi Sederhana
- Belajar Bilingual Sejak Dini
- Jati Diri Anak Terkubur oleh Determinasi Orang Dewasa
- Fasilitasi Proses Belajar adalah Menggembala
- Pay It Forward: Dengan Inspirasi, Guru Membuat Perubahan
- Tantangan dalam Membudayakan Membaca Pada Anak
- Apakah Membacakan Buku Sejak Dalam Kandungan Akan Membuat Anak Gemar Membaca?
- Belajar Meneliti, Mempertajam Topik Penelitian
- Makna Belajar, Mana yang Lebih Utama, Kualitas atau Jumlah?
- Transformasi Cara Berpikir untuk Menuju Kreativitas
- Berkenalan dengan Mosaic Learning