Bagaimana jadinya kalau tiba-tiba kita mendapatkan surat yang mengatakan bahwa umur kita tinggal 24 jam? Ini akan menjadi tantangan buat eksistensi diri kita. Film Ikigami (Death Notice) menunjukkan kejadiannya.
“In their last moments, people show you who they really are.”
(Joker)
Masih ingatkah dengan tokoh Joker dengan kata-katanya yang aku kutip di atas? Banyak quotes menarik yang diucapkan oleh Joker. Dalam hal ini, aku mengutip yang satu itu, “Pada saat terdesak, orang akan menunjukkan dirinya yang asli”. Dalam film The Dark Knight, kalimat ini diucapkan saat orang mendekati kematiannya, saat bom akan meledak di salah satu kapal yang saling membawa pemicu bomnya. Masih ingat film-nya? Kalau lupa, aku punya. Mau pinjem? Eh, kembali fokus.
Lha kok yang dibahas film The Dark Knight, padahal kan di judulnya Ikigami? Tenang, tetap ada hubungannya. Kalau Joker menciptakan situasi mendesaknya dengan menyuguhkan keputusan untuk bertahan hidup atas kondisi mematikan yang ia ciptakan di depan mata, film Ikigami (Death Notice) bercerita tentang kematian yang terjadwal. Bedanya, Joker memberikan kebebasan untuk memilih, dan situasinya sangat mungkin berubah. Kalai di Ikigami (Death Notice), kematian itu tak bisa diubah lagi. Sudah dijadwalkan semenjak seseorang masih kecil. Nah, kali ini kita akan bahas Ikigami (Death Notice) dulu.
Dalam kuliah Psikologi Humanistik, kelompok yang kebagian presentasi tentang Fenomenologi menggunakan film Ikigami (Death Notice), The Ultimate Limit sebagai bahan belajar. Sayangnya waktunya sedikit, jadi cuma melihat sebagian kecil dari filmnya. Meski demikian, cerita dari film ini bisa ditangkap. Dalam waktu yang nyaris 30 menit, film ini begitu menarik perhatianku. Karena itulah aku tuliskan cerita ini, dan aku hubungkan dengan eksistensi diri.
Ikigami (Death Notice), The Ultimate Limit disutradarai oleh Tomoyuki Nakimoto. Film ini didasarkan pada sebuah komik karangan Motoro Mase dengan judul yang sama. Komik atau film ini menceritakan program yang dicanangkan pemerintah Jepang, dimana warga negaranya yang berumur antara 18-24 tahun yang memenuhi syarat akan dipilih secara acak dan akan ditentukan waktu kematiannya. Bersamaan dengan itu, yang terpilih (the chosen one) akan diberitahu perihal kematiannya 24 jam sebelum waktunya. Hem, ngeri ya?
Film yang di-release 2008 ini menceritakan awal mula penanaman inokulasi, sebuah kapsul yang memiliki radio-control yang akan membunuh penerimanya disuatu masa antara usia 18-24 tahun. Pada awal masuk sekolah, semua siswa Jepang menerima inokulasi ini. Pemerintah Jepang percaya bahwa ancaman kematian yang tak terduga akan meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas pada warganya.
Setiap ikigami mempunyai seorang pengantar yang akan memberikan sebuah death notification pada seseorang yang terpilih untuk “dimatikan”. Kengo Fujimoto (Shota Matsuda) adalah salah seorang pengantar notifikasi tersebut. Dalam 133 menit film ini, Kengo Fujimoto mengantarkan ikigami pada tiga warga. Pertama, seorang musisi jalanan yang bernama Tsubasa Tanabe (Yuta Kanai). Kedua, anak seorang calon pejabat yang mendukung penuh hukum kemakmuran negara, Naoki Takazawa (Kazuma Sano). Ketiga, seorang debt collector, Satoshi Izuka (Takayuki Yamada) yang baru berkumpul kembali dengan adik perempuannya yang buta akibat kecelakaan pada masa kecilnya.
Bayangkan jika Kamu jadi deliverer atau penyampai notifikasi kematiannya, bagaimana perasaanmu? Karena tidak melihat keseluruhan film, maka aku lebih mudah membayangkan jadi penerima ikigami. Jika kita nonton film ini dengan hati, pasti langsung kerasa psikologis kita diaduk-aduk. Membayangkan orang-orang dekat kita, apa yang mereka rasakan. FIlm ini benar-benar bikin lemes, energi terkuras. Dengan mengajak penontonnya berempati secara kuat terhadap tokoh, aku langsung seolah-olah menjadi penerima ikigami.
Setelah nonton, kelompok mahasiswa yang presentasi mengajak teman-temannya untuk menuliskan apa yang akan mereka lakukan jika mereka adalah penerima ikigami. Tidak ada yang mau menyampaikan pendapatnya, sampai kelompok yang presentasi memanggil nama mahasiswa secara acak dari buku presensi. Seorang mahasiswa mengatakan, “Saya akan memperbanyak ibadah”. Mahasiswa yang menjawab ini menunjuk lagi temannya. Seorang mahasiswi tertunjuk. Ia mengatakan, “Sama (memperbanyak ibadah)”.
Kalau aku rasakan jawaban mahasiswa tersebut, sepertinya memang perlu melihat film Ikigami (Death Notice), The Ultimate Limit, biar merasakan (berempati) terhadap tokohnya. Pasalnya, para mahasiswa memintaku berkomentar, senadainya aku adalah salah satu penerima ikigami. Apa jawabanku?
Pada saat itu, aku benar-benar seperti penerima ikigami. Lemes yang sedari nonton filmnya, kini bertambah lemes. Tapi dengan diberikan kesempatan ngomong, aku jadi bisa cerita apa yang aku rasakan sebagai penerima ikigami. Aku merasakan bahwa aku akan menjadi orang yang mengingkari waktu. Mengingkari waktu ini mungkin sebagai wujud pengingkaran kita atas kematian. Seperti yang dikatakan oleh Joker, ketakutan orang terhadap mati tak akan bisa ditutupi. Wujudnya bisa dalam bentuk apapun yang itu menggambarkan kejujuran diri, sifat aslinya.
Kalau aku, kejujuran yang aku rasakan adalah mengingkari waktu. Apa maksudnya? Tiap waktu berjalan, pasti aku masih belum memutuskan untuk apa siswa waktu 24 jam itu. Ketika waktu sudah berjalan seperempat dari 24 jam, aku pasti juga tetap akan bilang, “Biarkan aku gunakan sisa waktu untuk memutuskannya”. Jadi tetap belum mengambil keputusan. Efeknya, mungkin saja aku tidak akan ngapa-ngapain dalam 24 jam. Kalaupun melakukan sesuatu, aku tak akan merasakan aku sedang melakukan. Aku sadar bahwa tubuh bergerak, tapi seperti tidak ada ruh di situ. Posisi seperti ini boleh dibilang memilih mati sebelum waktunya.
Aku percaya ada orang yang melakukan sesuatu yang berguna dalam sisa 24 jam waktu hidupnya. Seberguna apapun itu, kita tetap dituntut untuk berdamai dengan waktu, dan kita cuma disediakan waktu 24 jam untuk melakukan upaya perdamaian. Artinya, kita sadar tentang perbuatan yang berguna, kita melakukannya, tetapi pikiran kita selalu tertuju pada mati mati dan mati. Kenap ini bisa terjadi? Karena kita mengingkari waktu, menghindari kematian.
Ini berbeda dengan orang yang divonis mati oleh dokter. Biasanya waktunya lebih panjang, misalnya 3 bulan. Itupun masih lebih kepada kemungkinan. Ikigami memang disetting, dimana orang akan dimatikan. Dalam waktu yang pendek itu, kita tidak siap untuk untuk berdamai dengan waktu.
Kesulitan kita dalam berdamai dengan waktu, karena kita tidak pernah mewaktu, meski keberadaan kita ada di dalam waktu. Apa maksudnya? Kita tak pernah menyatu dengan waktu ketika kita melakukan aktivitas kita. Tiap hari kita berusaha memanipulasi waktu, memanajemeninya, tidak pernah rukun atau berdamai dengannya. Itu pun tidak membuat kita puas. Meskipun kita sudah mengaturnya, kita tetap saja merasa kurang. Ketika mengerjakan satu aktivitas, kita memikirkna aktivitas berikutnya. Kita tak menyatu dengan waktu dimana kita sedang melakukan aktivitas. Coba ingat kembali ketika kita beribdah, misalnya sholat. Seberapa sering kita khusyu’ dalam sholat kita. Belum sholat selesai, kita sudah memikirkan, habis ini ngapain. Kita tak mewaktu (menyatu/berdamai dengan waktu) dalam sholat kita.
Film Ikigami (Death Notice), The Ultimate Limit mengingatkan kembali kepada kita bahwa kita dikaruniai waktu untuk dijalani dengan hati. Waktu diciptakan dengan kodratnya yang netral. Dan yang netral itu sebenarnya adalah original positive dari Tuhan. Artinya, diciptakan dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Karena itulah, kita sepatutnya menjalani waktu dengan baik, dengan hati, benar-benar merasakan setiap detiknya.
Begitulah Film Ikigami (Death Notice), The Ultimate Limit dari kaca mata psikologi. Film yang menggoncang eksistensi. Bagaimana menurutmu?
2 responses to “Ikigami (Death Notice), The Ultimate Limit, Eksistensi Diri Menjelang Kematian”
Haha teteeeep aja ya rud kata2mu iku daleeeem
hahaha sedalam rasa di hatiku