Sebagai manusia, anak pasti tak luput dari kesalahan. Namun yang lebih penting dari itu, apa tindakan awal kita ketika anak melakukan kesalahan? Tindakan awal yang tepat atas kesalahan anak, juga merupakan bentuk yang baik dari pendidikan anak.
Beberapa hari ini, Bintang (2 tahun) suka bikin ‘meneuver’. Ada saja ulahnya yang sering memancing emosiku atau ibunya. Ada minuman tumpah, makanan keluar dari mulutnya di lantai, mainan jatuh dan patah-patah, bahkan sampai dia sendiri jatuh, terbentur dan sejenisnya. Namun, ada yang menarik ketika aku bandingkan reaksiku pada beberapa kesempatan dengan ‘eksperimen’ku kemarin. Apa itu?
Aku mencoba bereaksi secara berbeda atas ‘ulah’ yang ia bikin. Biasanya, aku langsung menasehatinya secara perlahan, dengan suara yang lembut. Reaksi Bintang atas sikapku ini, lebih menyiratkan perasaan aman. Dia bisa tersenyum atau bilang, “Tumpah, tumpah”. Ketika ditanya, “Siapa yang menumpahkan?”, dia jawab, “Itan (cara dia menyebut Bintang)”.
Aku coba bandingkan dengan reaksiku saat sesekali memarahinya. Ketika dimarahi, dia pasti diam. Wajahnya terlihat murung atau malah ketakutan. Karena Bintang agak gengsian, dia lebih sering bilang, “Tumpah”, sambil mengusap atau menyapunya dengan lap yang kebetulan ada di sekitar situ. Reaksi ini jauh lebih lunak daripada dulu. Kalau dulu, sekitar 1-1.5 tahun-an, dia mendahului marah atau panik agar tidak dimarahi. Trik yang bagus hehehe.
Apa bedanya kedua reaksi terhadap ‘ulah’ Binatang tersebut? Pasti keduanya beda, namun tipis. Bedanya adalah pada perasaan ketakutannya. Ketika aku beri tahu dengan lembut, dia merasa lebih aman, sedangkan ketika dimarahi, dia terlihat ketakutan.
Namun ada kesamaannya, keduanya menimbulkan rasa bersalah pada benak Bintang. Jadi sebenarnya tetap ada rasa takutnya, tetapi dengan kadar yang berbeda jauh.
Aku merasa kedua reaksi terhadap ‘ulah’ Bintang tersebut tidak begitu efektif buat kemajuan Bintang. Aku coba mencermati keduanya. Ternyata ada kesamaan substansial dair kedua reaksi tersebut. Aku lebih menekankan perhatianku pada efek yang terjadi, misalnya tumpahan minuman, makanan yang berceceran, mainan yang patah. Ternyata inilah biang ketidakefektifan sikapku. Karena itu aku mencoba mulai meninggalkan keduanya. Aku mencoba reaksi yang terbaru. Apa itu?
Aku mengalihkan perhatianku dari efek ‘ulah’ anak kepada reaksi anak atas kesalahannya. Jadi aku langsung memperhatikan ekspresi dan tindakan Bintang pasca ‘ulah’ tersebut diluncurkan. Hal terakhirlah yang pertama kali aku cermati. Kenapa aku tidak lagi memperhatian efek dari perilaku anak? Berikut alasannya,
1. Memperhatikan efek perilaku dapat memancing emosi
Ketika kita memperhatikan efeknya, yang kita saksikan adalah apa yang tidak kita sukai. Kita melihat kerusakan, sesuatu yang berantakan, lantai yang kotor dan sebagainya. Jelas hal tersebut potensial memancing emosi kita. Sebaik apapun tindakan, kalau sudah dilandasi emosi, pasti munculnya tak bagus juga.
2. Anak merasa bersalah
Reaksi kita terhadap kondisi yang tidak kita senangi adalah rasa kecewa. Secara tidak sadar, perasaan itu akan muncul lewat ekspresi kita. Anak mengamati itu.
3. Anak merasa ada yang salah pada dirinya
Apa bedanya dengan poin 2? Kalau di poin sebelumnya, anak merasa bersalah. Poin yang ini, anak merasa dirinya biang kesalahan. Artinya, anak memandang dirinya bermasalah. Dampaknya semakin kuat jika reaksi yang sama kita ulang-ulang terus tiap kali dia berbuat ‘ulah’.
Lalu apa kelebihan dari tindakan yang baru-baru saja aku pilih sebagai reaksi atas ‘ulah’ anak? Keuntungan lebih mendahulukan memperhatikan reaksi anak adalah sebagai berikut,
1. Kita tidak melewatkan untuk mempelajari reaksi anak ketika melakukan kesalahan
Dengan tidak menyia-nyiakan moment ketika anak ‘berulah’, kita akan tahu kemajuan anak kita, terutama tentang belajar empati, tanggung jawab dan mekanisme pertahanan diri yang ia gunakan.
2. Mengurangi rasa bersalah anak
Jika kita memilih memperhatikan anak pertama kali (baru kemudian beralih kepada efek tindakan anak), bisa membuat anak dihadapkan pada kita sebagai orang terdekatnya. Ini berdampak pada munculnya rasa tanggung jawab, bukan pada menutupi kesalahan.
Jangan salah, jika anak segera membersihkan tumpahan ketika kita mengamati tumpahan tersebut, yang terjadi sebenarnya, anak ingin segera menghapus kesalahannya. Anak berusaha menghindari hukuman atau ketidaknyamanan. Ini jelas berbeda dengan rasa tanggungjawab.
3. Mengurangi tersulutnya emosi
Coba bandingkan antara mengamati lantai yang penuh dengan kotoran dengan mengamati anak kita. Mana yang lebih menyulut emosi?
Lebih mengutakan memperhatikan anak daripada dampak ‘ulah’nya, sebenarnya adalah upaya kita mengubah pola perhatian kita. Kalau kita memperhatikan efek dari ‘kesalahan’ anak, maka urutannya adalah:
efek (misalnya lantai kotor, sumber rasa kecewa) –> emosi tersulut –> memarahi/menasehati anak –> anak merasa bersalah –> anak merasa bermasalah.
Jika kita memperhatikan reaksi anak lebih dulu, maka polanya:
reaksi/ekspresi anak (kita tidak terpicu oleh rasa kecewa) –> mempelajari anak –> memilih reaksi setelah mempelajari reaksi mereka.
Beda awalan, beda pula kelanjutannya.
Namun demikian, agar reaksi kita lebih efektif lagi, kita perlu tahu caranya, bagaimana teknis langkah kita ketika ‘kesalahan’ anak terjadi. Paling tidak, kali ini kita tahu apa reaksi awal yang memicu tindakan lanjutan yang lebih efektif.
Nah, kalau Kamu, apa tindakan awal yang Kamu pilih ketika anak melakukan ‘kesalahan’?
5 responses to “Pendidikan Anak: Apa Tindakan Awal yang Tepat Ketika Anak Melakukan Kesalahan?”
Dear Kak Rudi,
Aku masih bingung neh
Pada pola :
reaksi/ekspresi anak (kita tidak terpicu oleh rasa kecewa) –> mempelajari anak –> memilih reaksi setelah mempelajari reaksi mereka
So, kak Rudi memilih reaksi setelah mempelajari reaksi mereka nya itu seperti apa contohnya?
Tetap dengan menasehatinya dengan cara yang baik-baik kan?
Urutan: reaksi/ekspresi anak (kita tidak terpicu oleh rasa kecewa) –> mempelajari anak –> memilih reaksi setelah mempelajari reaksi mereka
atau sebaliknya: efek (misalnya lantai kotor, sumber rasa kecewa) –> emosi tersulut –> memarahi/menasehati anak –> anak merasa bersalah –> anak merasa bermasalah
adalah urutan alamiah yang terjadi sebagai akibat dari langkah awal yang kita pilih. Jika kita memilih memperhatikan anak, maka kita punya kesempatan untuk bertatap muka. Sebagai orang dekat, mengamati ekspresi anak akan memunculkan interaksi positif. Kesempatan untuk mengamati detil reaksi anak dari ekspresinya, membuat kita tidak melulu berpikir tentang kerusakan yang terjadi sebagai akibat ‘ulah’ anak.
kalau aku sih lebih menekankan pada proses belajar. Aku mengamati ekspresinya untuk melihat kemajuan anak dalam belajar berempati dan bertanggungjawab. Kalau reaksi lanjutannya. Tentu saja aku akan melihat sisi kemajuan tersebut dan bereaksi positif, namun tidak berlebihan (tidak perlu memuji berlebihan, agar anak tidak salah persepsi, bagian mana yang dipuji). Baru kemudian mengajak bicara soal apa yang harus dilakukan berikutnya dan apa yang harus dilakukan jika kemungkinan hal serupa terjadi, misalnya berhati-hati, memilih berjalan (daripada berlari), duduk dulu baru makan, dan sebagainya.
Begitu kira-kira. Semoga bisa memberi penjelasan
Yes kak,
Lebih paham sekarang
Fokus pada reaksi si anak dan lihat sikap anak dalam berempati dan bertanggungjawab
Terimakasih kak
Yup. Betul.. Sama-sama
Yup….itu jg terjadi sama anak ku Wiga Rayi (4,5th).sekitar 2bln ini ia sll bikin ulah.Saat hati ku enjoy…itu tidak jadi masalah, tp saat aku capek maka reaksi ku adl marah.aku akan bicara dg nya seperti bicara dg orang yg telah dewasa.hingga pada akhirnya ia akan bilang ” Ibu…maaf.” dengan suara dan wajah penuh penyesalan. Jawaban itu mgkn bagi beberapa orang akn sangat melegakan, tp bagi ku ada yang salah dengan nada penyesalannya.Ini tidak benar. So,Mas RudiCahyo….trima kasih untuk pencerahannya. 🙂 😀