Seperti halnya dokter yang memegang peran atas nasib pasiennya, psikolog juga punya andil yang sama. Bahkan tidak hanya sekedar diagnosa, tetapi juga mempengaruhi klien, bagaimana dia memandang diri dan masa depannya. Karena itu, para psikolog wajib berhati-hati dengan penarikan simpulan yang sesat dalam diagnosis psikologi.
Tulisan ini berawal dari pengalamanku dalam membimbing praktik lapangan mahasiswa magister profesi di kampus. Selama proses pembimbingan selalu ada saja cara berpikir mahasiswa yang dapat menjebak mereka kepada simpulan yang salah. Tidak hanya dari mahasiswa yang aku bimbing, ketika menguji hasil praktik lapangan mahasiswa yang lain, juga melakukan kesalahan yang sama. Ini berarti pembimbing praktik yang lain juga mengalami kesulitan yang sama.
Kesalahan penarikan simpulan ini sangat fatal dampaknya. Seperti halnya dokter yang malpraktik, seorang psikolog juga bisa memberikan diagnosis yang tidak tepat. Dampaknya tidak hanya kesalahan penanganan berikutnya, tetapi juga dalam membangun keyakinan klien, yang akhirnya dapat mempengaruhi bagaimana mereka menyikapi masa depannya. Coba bayangkan jika ada orang yang dikatakan mengalami somatoform, sakit yang hanya karena perasaan saja. Boleh jadi dampak penangannya dengan cara mengembalikan pemikiran rasionalnya. Padahal yang terjadi sesungguhnya, dia memang sedang stress berat yang mempengaruhi peningkatan pada asam lambungnya. Bisa fatal kan?
Kesahalan-kesalahan yang dilakukan oleh para calon psikolog (baca: mahasiswa profesi) memang kadang tidak berdampak begitu besar kepada subjek mereka. Hal ini karena mereka hanya melaporkannya ke kampus sebagai bentuk pertanggungjawaban tugas dan juga memberikan laporannya ke pihak institusi atau sekolah tempat subjek mereka berada. Namun jika kesalahan ini menjadi kebiasaan, maka ketika mereka terjun di dunia profesional, tidak menutup kemungkinan mereka melakukan hal yang sama pula. Untuk itu, kesalahan-kesalahan penarikan simpulan berikut penting untuk diperhatikan.
1. Kesan pertama begitu menggoda
Saat pertama kali melihat klien, maka seorang psikolog akan membangun kesannya. Bedanya, jika psikolog yang membangun kesan tersebut dalah psikolog yang sudah berpengalaman dan punya jam terbang yang panjang, maka akan banyak data yang ia gunakan untuk menyusun kesannya. Namun jika hal ini dilakukan oleh calon psikolog, maka sangat mungkin hanya disandarkan pada teori-teori yang pernah dibaca. Artinya, empati yang diberikan terhadap subjek atau kasus masih belum tinggi, masih theory-minded. Misalnya saja ketika bertemu dengan anak yang sulit membaca, maka sangat mungkin judgment yang diberikan adalah disleksia.
Sebenarnya memberikan judgment awal (hipotesis apriori) juga penting untuk menjadi pijakan atau titik tolak dalam mencari informasi lanjutan. Hanya saja, yang sering terjadi, kesan pertama itu begitu kuat tertanam di benak mahasiswa, sehingga kesan itu menuntun kepada diagnosis yang menjadi dugaannya tersebut. Seperti halnya anak yang disangka disleksia, bisa saja anak tersebut mengalami persoalan emosional yang berhubungan dengan membaca, misalnya saja pengalaman traumatik saat belajar membaca yang pertama.
2. Informasi awal begitu menyita perhatian
Biasanya, para mahasiswa mendapatkan subjek atau kasus yang direkomendasikan oleh supervisor lapangan. Supervisor ini adalah seseorang yang ditunjuk sekolah untuk mendampingi mahasiswa ketika praktik di sana. Misalnya saja ketika praktik di sekolah, supervisornya bisa jadi guru bimbingan konseling. Nah, guru bimbingan konseling ini biasanya merekomendasikan calon subjek beserta informasi yang mendasarinya. Misalnya saja ada seorang siswa yang diminta oleh supervisor untuk dibantu oleh si mahasiswa. Supervisor tersebut mengatakan bahwa anak tersebut autis. Kadang mahasiswa langsung percaya menjadikan informasi ini sebagia penuntun diagnosisnya. Sayangnya, kadang pihak sekolah juga tidak memiliki data valid untuk mengatakan seorang anak autis, selain informasi dari orangtuanya secara lisan.
3. Shortcut Pikiran
Coba perhatikan cerita dari seorang mahasiswi berikut ini,
“Pernah suatu saat dia bilang ke pacarnya bahwa dia benci keluarganya. Sepertinya kebencian tersebut terhadap bapaknya yang terlampau keras dalam mengatur…”
Perhatikan sharing dari salah seorang mahasiswa peserta praktik tersebut. Bagian mana yang janggal?
Sekilas cerita tersebut tidak ada masalah. Bahkan pada saat diskusi bersama dengan sesama mahasiswa dan para pembimbing praktikum, tidak ada yang memperhatikan kalimat terssebut.
Coba garisbawahi kata ‘sepertinya’. Kalimat yang disertai kata ‘seperti’ ini jelas berupa opini, berbeda dengan kalimat pertama, “Pernah suatu saat dia bilang ke pacarnya bahwa dia benci keluarganya….”. Kalimat pertama berupa fakta. Artinya, cerita mahasiswa tersebut melompat dari fakta ke opini, dari kenyataan menuju asumsi. Fakta tidak didukung atau diperkuat oleh fakta, tetapi didukung oleh opini.
4. Overgeneralisasi
Overgeneralisasi adalah menggunakan data kecil atau sebagian data untuk diberlakukan pada skup yang terlampau luas. Kalau contoh untuk yang ini biasanya aku temukan pada mahasiswa yang sedang skripsi. Contoh saja yang meneliti tentang kenakalan remaja (juvenile delinquency). Misalnya seorang anak melakukan tindakan kekerasan kepada temannya, maka ia dikatakan melakukan kenakalan. Kenapa tidak disimpulkan pada skup yang lebih sempit terlebih dahulu, misalnya tindakan agresif. Begitu juga ketika di sebuah kelas ada beberapa anak yang melakukan tindakan agresi, maka mahasiswa kadang mudah untuk mengatakan bahwa anak-anak di kelas tersebut agresif atau nakal, padahal hanya beberapa anak saja.
5. Menggunakan kata-kata pasaran
Bagian ini bersinggungan dengan overgeneralisasi. Kadang kata-kata yang digunakan secara umum oleh para mahasiswa mendatangkan efek overgeneralisir. Contoh saja kata ‘tidakendapatkan stimulasi’. Kadang kata ini digunakan untuk menggambarkan kondisi seorang anak. Misalnya mahasiwa bilang, “Subjek tidak mendapatkan stimulasi dari orangtua….”. Apa kesan yang terlintas di benakmu atas kalimat tersebut? Kalimat ini banyak dipakai oleh mahasiswa dan rata-rata kesan orang yang mendengarnya adalah orangtuanya tidak pernah merangsang atau melakukan sesuatu apapun kepada anaknya. Padahal setelah mahasiswa menceritakan data yang ia peroleh, kenyataannya tidak seperti itu. Orangtua si anak masih memberikan stimulasi.
Itulah 5 hal yang menyebabkan penarikan simpulan yang sesat atas diagnosis psikologi. Kenyataannya di lapangan, banyak faktor yang menyebabkan diagnosis psikologi menghasilkan simpulan yang sesat. Jika ada penyebab yang lain, silahkan di-share di sini.
3 responses to “Penarikan Simpulan yang Sesat atas Diagnosis Psikologi”
Pak, kelima poin yang ditulis itu 100% benar, dalam konteks hal itu aku alami juga. Tapi aku merasa ada ketimpangan dalam proses belajar ini. Sekali lagi, ini menurutku. Sejak awal masuk, mulai matrikulasi, belum pernah ada seorang dosen yang memaparkan sebuah contoh kasus secara utuh dan komplit, yang dapat memberikan contoh tentang bagaimana alur pikir seorang psikolog. Yang banyak diberikan oleh para dosen adalah potongan2 cerita. Misalnya, saat belajar assessmen psikologis, dosen hanya memberikan komentar tentang hasil assesmen mahasiswa tapi belum memberikan contoh bagaimana melakukan assesmen dalam konteks kasus yg utuh. Model pembelajaran seperti ini membuat kami, para mahasiswa, meraba-raba, bagaimana melihat dan mempelajari sebuah kasus. Bahkan bagi mahasiswa yang sudah punya pengalaman kerja di area yang sama pun, model belajar ini masih membuat bingung. Begitulah menurutku pak. Bagaimana pendapat pak Rudi? Apa pola pikir saya perlu di perbaiki? Terima kasih.
Dalam konteks Mbak Dina sebagai mahasiswa (dan sekaligus seorang profesional psikologi), apa yang dikatakan Mbak Dina ini benar kok. Potongan-potongan yang tak utuh itu karena semuanya tidak disusun secara sinergis dalam pembelajaran. Banyak materi, beda orang (dengan isi kepalanya), maka beda pula luaran dan proses yang dilakukan. Semua jadi tak bertemu di muara yang sama. Kalau diamati, memang terjadi pergeseran dari peran sebagai pendidik menjadi hanya sebagai pengajar. Ini juga bisa dimaklumi, karena untuk fokus kepada luaran belajar dan proses yang tepat (untuk luaran tersebut), masih banyak dihalangi oleh berbagai pekerjaan, baik yang dibilang substansial atau yang sama sekali tdk substansial. Tapi apapun itu, sebenarnya tak boleh jadi alasan. Semenjak kita menyadari, kita bisa segerah berbenah diri. Kalau tahu ada kesalahan, maka cari tahu, berburu referensi, bertanya sana-sini (termasuk kepada dosen). Dan tentu saja dosen memiliki kemampuan dan kompetensi yang berbeda-beda. Jadi tanyalah sebanyak-banyaknya. Misalnya saja aku. Kalau yang ditanyakan oleh mahasiswa itu bukan bidangku, maka akan aku arahkah kepada yang mampu (kalau ada hehehe). Tapi kalau mau aman semenjak dari awalnya, maka yang perlu dipegang adalah rasa ingin tahu dan tak buru-buru menjustifikasi.. Itu aku kira Mbak Dina
Saya mau bertanya terkait kode etik pasal 68,seperti apa contoh kasus yang bisa melanggar kode etik pasal 68 tentar intervensi tersebut? Terimakasih