Personal Well Being, Apa dan Bagaimana?


Banyak orang yang menginginkan sejahtera. Hanya saja, banyak juga orang yang tidak memahami dirinya, tidak tahu apa dan bagaimana kesejahteraan pribadi atau personal well being yang diinginkannya?

Sumber Gambar: nortoncreative.com

Hari ini, tadi siang, kembali Psikologi Humanistik harus aku fasilitasi proses belajarnya. Setelah membuat posting #EduStory untuk Indonesia Bercerita, baru terpikir untuk mempersiapkan kuliah. Kebetulan juga diingatkan oleh rekan pengajar, bahwa hari ini harus mengajar Psikolgi Humanistik.

Belum sempat melihat desain belajar, laptop mati dan tidak membawa charger-nya. Mencari pinjaman charger mac agak sepi hari ini, tidak ada yang membawa. Untunglah rekan mengajar yang tadi mengingatkanku tentang waktu mengajar, masih ada di tempat, sehingga aku bisa bertanya kepadanya. Terjawab, hari ini aku harus memandu belajar tentang well being.

Setelah ada teman yang ngajak ngobrol tentang workshop karier, barulah berusaha mencari pinjaman laptop untuk membaca tentang well being. Pinjaman laptop dapat, tapi akses internet melambat.

Aku ubah strategi. Terpikir untuk mencari tahu dari para mahasiswa tentang well being. Tidak hanya tentang artinya, tapi juga ada keinginan untuk tahu apa sebenarnya kebutuhan mahasiswa tentang well being ini.

Ketika aku tanya tentang apa well being, rata-rata menjawab bahwa well being itu adalah kesejahteraan personal, yaitu kesejahteraan subjektif. Kesejahteraan dirasakan oleh seseorang dengan definisinya sendiri. Kurang lebih seperti itu.

Karena bersifat personal, maka aku bertanya, apa well being mereka masing-masing. Ternyata mereka kebingungan. Hampir semua mahasiswa selalu menggunakan bahasa, ‘kita…’, ‘setiap manusia…’, ‘orang itu…’ dalam menjelaskan tentang well being. Gaya berbahasa seperti ini mengatasnamakan orang-orang lain, bukan dirinya. Dapat dikatakan, mahasiswa paham teori well being, tetapi tidak memahami apa well being pada dirinya sendiri.

Berdasarkan hasil obrolan tentang well being dengan beberapa mahasiswa, aku merasa bahwa mahasiswa membutuhkan keberanian untuk menggunakan bahasa ‘aku’, sehingga ia dapat mengenali atau menemukan well being-nya sendiri. Inilah yang menjadi misi belajar di kuliah Psikologi Humanistik hari ini.

Kelas dimulai. Karena di desain belajar tertulis bahwa well being adalah bagian dari Psikologi Positif, maka aku minta mahasiswa me-review kuliah minggu lalu, tentang Positive Psychology. Ini aku lakukan karena minggu lalu bukan aku yang memandu kelas ini. Aku mengajar di kelas satunya (kelasnya paralel). Selain itu, review dilakukan agar bisa ditemukan kaitan antara Psikologi Positif yang telah dipelajari mahasiswa dengan well-being.

Sumber Gambar: beaut.ie

Review menghasilkan tiga poin: 1) Humanistik fokus kepada person (person centered), 2) Energi Psikis lebih besar daripada energi fisik. Energi fisik tidak mampu membatasi energi psikis, 3) Psikologi Positif fokus kepada kekuatan atau potensi.

Untuk ketiga hal tersebut, aku buat penjelasan satu persatu, tetapi saling terkait.

1. Humanistik fokus kepada person

Sebagai ilmu yang berakar dari kakek/nenek moyang Eksistensialisme, Humanistik percaya bahwa Hal yang paling objektif adalah subjektivitas. Tidak ada objektivitas sejati.

Aku tanya kepada mahasiswa, contoh hal objektif itu seperti apa. Agar lebih membantu, aku minta mahasiswa berpendapat objektif tentang cowoknya. Salah seorang mahasiswi mengatakan kalau cowoknya berkulit hitam, berambut keriting, kurus dan tinggi. Jika dihubungkan dengan sarat-sarat ilmu, yaitu empiris, logis, rasional dan objektif, yang disebutkan oleh mahasiswa itu tadi bukannya syarat empiris?

Aku coba gali lebih jauh pendapat mahasiswa yang lain tentang cowok mahasiswi yang aku tanyai sebelumnya tadi. Barulah hal-hal yang bukan empiris keluar. Berbagai opini diutarakan. Aku tanyakan kepada mahasiswi yang punya cowok, apakah yang mereka katakan tentang cowonya adalah benar. Sebagian dijawab, iya. Namun sebagian lainnya ia terdiam, tanpa jawaban.

Bagian yang diam ini menarik. Diam tersebut ternyata berarti ia tidak terlalu yakin, tetapi juga tidak bisa menyalahkan pendapat teman-temannya. Pendapat mereka itulah yang disebut kebenaran pribadi mereka. Kebenaran personal ini muncul dari pemaknaan atas pengalaman personal. Jelas tidak ada yang bisa menyalahkan, sehingga yang subjektif ini juga bisa menjadi ilmu yang diakui. Ini yang disebut sebagai subjective science.

Lalu apa hubungannya dengan person center? Humanistik percaya bahwa pusat perubahan ada pada diri masing-masing orang. Artinya, tiap orang jadi aktor atas perubahan dunianya sendiri. Karena itulah, dalam terapipun, Humanistik memusatkan pada subjek. Merekalah yang bisa menyembuhkan dirinya sendiri.

Sumber Gambar: pcp4me.net

2. Energi psikis lebih besar daripada energi fisik

Aku teringat pada seorang biksu yang cerita tentang anak-anak yang ditanya, apakah hal yang besar menurut mereka. Ada yang menjawab ayahnya, karena lebih besar dari dirinya. Ada yang menjawab dunia, karena semua orang berada di dalamnya. Jawaban yang paling cerdas dari seorang siswa adalah mata. Menurutnya, mata bisa memasukkan semua benda-benda yang dilihat. Namun biksu tersebut punya jawaban sendiri, yaitu pikiran. Pikiran tidak hanya memasukkan yang sedang ada di hadapannya, tetapi juga yang tidak terlihat. Bahkan pikiran bisa menciptakan apa yang belum pernah ia saksikan, yaitu dengan berimajinasi.

Bicara tentang kepribadian, masing-masing dari diri kita terdiri dari kognisi, afeksi dan psikomotor. Tiap bagian punya porsi kerjanya masing-masing. Keterbatasan fisik, seperti yang dicontohkan tadi, mulai dari analogi ayah, dunia, sampai mata, juga memiliki kelebihannya sendiri.

Pikiranpun akan kesulitan mengidentifikasi diri tanpa fisik yang jadi acuan. Sebaliknya, hanya dengan tubuh, tanpa aspek yang lain, maka kita juga tak lebih dari seonggok tulang, otot dan darah.

Dalam pemberdayaan atau terapi, Psikologi Positif fokus kepada bagian tubuh yang paling potensial. Misalnya orang yang kuat di kognisi, maka akan lebih mudah untuk berpikir dan melakukan analisa. Orang yang kuat di afeksi lebih mudah disentuh hatinya, sehingga sangat peduli pada lingkungannya. Begitu juga dengan orang yang fisiknya unggul, maka olah badan adalah cara untuk berubah.

Sumber Gambar: heavenawaits.wordpress.com

Pengelolaan diri lebih mudah jika fokus kepada kekuatan. Memandang keunggulan menjadi energi tersendiri. Bagian ini masuk di poin ketiga, yaitu

3. Psikologi positif fokus kepada kekuatan atau potensi

Aku mencontohkan dengan anlogi selimut. Jika pagi hari kita terbangun dengan selimut yang kusut, maka kita harus merapikannya. Aku gambarkan selimut yang kucel di papan tulis. Aku tanya, bagian mana yang paling mudah diraih. Mahasiswa menunjuk bagian yang puncak atau paling tinggi. Aku tanya lagi, jika bagian tertinggi diraih, apakah bagian yang rendah juga ikut terangkat. Tentu saja bagian yang bawah ikut terangkat juga.

Memberdayakan yang positif atau potensi, lebih punya energi daripada fokus kepada penyakit atau kelemahannya. Ambil contoh saja (maaf) orang yang patah tangannya. Jika orang tersebut selalu fokus kepada tangannya yang hilang, maka ia akan menyia-nyiakan kakinya yang masih sehat. Kalau ia terus meratapi tangannya yang sudah tidak ada, maka tubuhnya yang masih kuat akan tersia-siakan. Bukankah banyak juga orang yang kehilangan tangannya, bisa jadi pelukis yang keren, desainer yang hebat, penulis yang jago dan sebagainya.

Titik Kekuatan atau Potensi

Kira-kira itu penjelasan atas ketiga hal yang di-review dari bahasan tentang Psikologi Positif minggu lalu. Ini hanya versi singkatnya, karena detilnya terlalu banyak kalau dituliskan hehe.

Berdasar pada penjelasan tersebut, aku tanya tentang well-being kepada mahasiswa. Pertanyaannya aku permudah, yaitu apa kata kunci yang muncul dari well being berdasarkan pada apa yang telah aku jelaskan. Kata kunci yang muncul adalah bersyukur, bahagia, tercapainya tujuan dan ikhlas.

Agar mahasiswa tidak terjebak pada over theory seperti beberapa mahasiswa yang aku tanya tentang well being mereka, maka aku membantu mereka untuk turun ke bumi. Cara agar memudahkan mereka mengidentifikasi well beingnya sendiri, maka aku buatkan pertanyaan yang menanyakan kata-kata kunci yang telah dibuat sebelumnya.

Pertanyaannya mudah. Berdasarkan pada cara eksplorasi makna dari Fenomenologi, maka aku tekankan pertanyaannya pada apa dan bagaimana (what and how). Tentang Fenomenologi bisa dibaca di sini. Fenomenologi ini juga berasal dari ibu kandung yang sama, Eksistensialisme.

Disesuaikan dengan kata-kata kunci yang merupakan komponen dari well being tadi, pertanyaannya adalah

  1. Apa yang Kamu syukuri dari dirimu? Bagaimana Kamu mensyukurinya?
  2. Apa yang membuatmu bahagia? Bagaimana hal tersebut membuatmu bahagia?
  3. Apa tujuan yang telah Kamu capai? Bagaimana Kamu mencapainya?
  4. Apa yang Kamu terima dengan ikhlas? Bagaimana Kamu menerimanya dengan iklhas?

Pertanyaan tersebut ternyata mampu mengeksplorasi tentang kesejahteraan pribadi mahasiswa atau yang disebut subjective well being. Kebiasaan menggunakan bahasa ‘kita’ berubah menjadi bahasa ‘aku’.

Bagaimana menjamin jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tadi bukan retoris, bukan jawaban yang hanya konsep saja? Pertanyaan atau kata kunci keempat yang menjadi kuncinya. Dalam menjawab tiga poin atas, butuh keikhlasan. Jika ada yang masih ngganjel ketika menjawab tiga pertanyaan teratas, maka ia hanya mengenali well being, tetapi belum merasakan atau mencapainya. Namun kalau sudah legowo atau plong dalam menjawabnya, berarti ia merasakan atau telah mencapainya.

Cerita ini menunjukkan dipegangnya misi belajar secara kuat. Misi ini berasal dari kebutuhan mahasiswa atas pengenalan well being-nya. Kebutuhan ini diketahui berdasarkan survey singat dengan mewawancarai beberapa mahasiswa.  Jadi, misinya berasal dari kebutuhan mahasiswa, dan menjadi fokus dari proses belajar yang dilakukan.

Apakah Kamu sudah mencoba menjawab empat pertanyaan well being untuk hidupmu? Bagaimana jawabanmu?


2 responses to “Personal Well Being, Apa dan Bagaimana?”

  1. nah, mas, boleh minta tolong mungkin ada referensi tentang subjective well-beign dan psychological well-being? beserta ‘payung besar’nya yaitu psikologi positif? 🙂 buat referensi skripsi mas, trm ksh byk…

    • Baca Positive Psychology dari Martin Saligman atau baca tentang Flow oleh Csikszentmihalyi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *