Tabula Rasa, Apakah Anak-Anak Sehelai Kertas Putih?


“Anak seperti kertas putih”, pernah tahu kalimat seperti ini? Tidak hanya retorika, kondisi anak yang putih bersih ada teorinya, yaitu tabula rasa yang lahir dari empirisme John Locke. Tapi benarkah seorang anak adalah kertas putih?

Dalam sebuah forum, dibahas tentang isu-isu dalam perkembangan manusia. Isu-isu tersebut terdiri dari; nature vs nurture, continuity vs discontinuity, quantitative vs qualitative, stability vs change, dan progressive vs regressive. Apa artinya isu-isu dalam perkembangan manusia tersebut?

Baiklah, aku cukup menjelaskan sekilas saja, karena fokus pembahasan kita kali ini bukan keseluruhan isu-isu tersebut, tetapi hanya tentang isu nature vs nurture. Isu continuity dan discontinuity adalah perbedabata, apakah perkembangan bersifat gradual, berubah secara akumulatif (continuity) atau tahap-tahap yang terpisah (discontinuity). Quantitative vs qualitative adalah perdebatan, apakah perkembangan bersifat kuantitatif (bisa diukur /dihitung) atau bersifat kualitatif (tidak bisa diukur). Stability vs change adalah isu perkembangan yang membahas tentang, apakah perkembangan bersifat stabil atau berubah. Sedangkan isu progresif dan regresif adalah perdebatan antara, apakah perkembangan bersifat meningkat atau menurun. Bagaimana dengan isu nature vs nurture?

Secara lebih detil, setiap isu akan lebih enak jika kita bahas di tulisan yang berbeda. Kali ini kita hanya akan membahas tentang isu nature vs nurture. Karena ini adalah perdebatan dalam memadang perkembangan manusia, maka pertanyaan yang pas adalah: Apakah perkembangan bersifat nature atau nurture? Inilah perdebatan yang memilah forum menjadi dua golongan yang berlawanan.

Apa sebenarnya nature dan nurture itu? Nature dapat diartikan alami, turunan, herediter, genetif, atau biologis. Setidaknya, itu adalah kata-kata kunci ketika kita menjelaskan arti nature. Artinya, yang memiliki pandangan bahwa perkembangan itu nature, berkeyakinan bahwa perkembangan kita sudah ditentukan dari sononya. Kita memiliki cetak biru, dan dengan blue print itulah kita berkembang. Berbeda dengan pandangan nurture yang berkeyakinan bahwa manusia berkembang karena bentukan lingkungan, misalnya pola asuh, pendidikan, pergaulan, keluarga dan semacamnya.

Ketika membahas tentang isu perkembangan tersebut di sebuah forum, terjadi perpecahan antar audience. Maksudnya, sebagian peserta ada yang berkeyakinan bahwa perkembangan manusia bersifat alamiah, sudah ditentukan dari sananya. Sementara itu, sebagian peserta yang lain berpandangan bahwa kita berkembangan karena bentukan lingkungan.

Beberapa detik kemudian, aku jadi ikutan bingung dengan ‘otot-ototan’ yang mereka lakukan. Kedua kubu mempunyai argumentasi yang sama-sama cantik, namun kekar. Bagaimana aku bisa memfasilitasi perbedaan ini?

John Locke, Pencetus Teori tabula rasa

Aku berinisiatif untuk meminta semua peserta mengambil selembar kertas. Bukan tanpa alasan, dalam perdebatan tersebut dibahas tentang konsep dari John Locke, yaitu tabula rasa. tabula rasa dapat diartikan kertas kosong, papan kosong, atau kertas putih. Karena itulah, peserta aku minta mengeluarkan sehelai kertas kosong.

Aku meminta mereka untuk menuliskan apapun secara bebas. Selang beberapa waktu, ketika mereka sedang asik menulis, aku hentikan aktivitas mereka. Kira-kira mereka sudah mendapat sekitar satu paragraf tulisan. Aku tanya kepada mereka, apa yang sedang mereka tulis, bagaimana perasaan mereka. Rupanya mereka sedang membuat cerita, dan mereka merasa free atau bebas menuangkan ide mereka. Aku meminta mereka melanjutkan menulis.

Selang beberapa waktu, aku hentikan lagi aktivitas mereka, kira-kira mereka sudah mendapat sekitar tiga paragraf. Aku memancing komentar peserta. Mereka mengatakan asik, kali ini sudah menemukan alur ceritanya, semakin seru. Aku persilahkan lagi mereka melanjutkan tulisannya.

Setelah lama aku biarkan, aku coba untuk kembali menghentikan mereka. Kali ini aku tanya, bagaimana perasaan mereka. Sekarang mereka menjadi galau, bingung bagaimana mengakhiri ceritanya. Kebingungan mereka bukan tanpa alasan. Dan alasan yang paling sederhana, karena kertasnya akan habis.

Sekarang benar-benar aku hentikan aktivitas mereka. Dari percobaanku tersebut, ada beberapa hal yang bisa kita bahas sehubungan dengan isu nature vs nurture dalam perkembangan.

1. Awalnya, kita bisa menulis apa saja di kertas kosong

Kertas kosong adalah gambaran kita ketika masih bayi atau kecil. Anak-anak sangat mudah dimasuki apa saja. Kita bisa mengajari apapun, memberi contoh apapun, atau membuat perubahan apapun.

2. Semakin lama, kertasnya semakin penuh

Namun demikian, kertas kita semakin penuh seiring bertambahnya usia. Makin lama, informasi dan pengetahuan yang kita serap semakin banyak. Karena itulah, kita tidak seperti kertas kosong lagi, tetapi ada banyak tulisan di sana-sini.

3. Ada keterkaitan cerita antar paragraf

Cerita di paragraf sebelumnya, pasti mempengaruhi paragraf berikutnya. Atau sebaliknya, cerita di paragraf berikutnya dipengaruhi oleh cerita di paragraf sebelumnya. Artinya, informasi yang masuk dan pengetahuan yang kita miliki, akan menjadi dasar bagi kita dalam berpikir, merasa dan bertindak. Karena itulah, semakin dewasa, kita menjadi semakin penuh. Hal ini membuat kita tidak seperti anak-anak lagi yang begitu terbuka terhadap informasi. Kita jadi berhati-hati terhadap informasi baru, sering berargumen, defend, dan semacamnya. Pengetahuan yang sudah kita miliki menjadi referensi, bahkan ketika kita sekedar bilang, “Masak sih?!”.

4. Tidak mungkin ada tulisan yang melebihi kertas 

Meskipun kertas bebas ditulisi apa saja, sangat mustahil orang membuat tulisan melebihi kertas, sampai ke meja atau tembok di sebelahnya. Hal ini menunjukkan bahwa kertas itu sendiri dalah struktur. Meski bebas menulis, tetap saja dibatasi oleh struktur kertas. Artinya, ada bekal yang sudah kita miliki. Jika dianalogikan dengan cetakan agar-agar atau jelly, maka bentuk cetakannya akan menentukan bagaimana bentuk jelly yang ditampung di dalamnya. Kaum idealis menyebutnya sebagai struktur ide, Piaget menyebutnya sebagai schema, atau mungkin juga bersesuaian dengan konsep ketidaksadaran kolektif dari Carl Gustav Jung. Artinya, anak memiliki struktur ide, bukan benar-benar tanpa bekal. Contohnya, ada anak yang mengajak binatang berbicara. Namun tidak perlu khawatir, karena anak sudah tahu bahwa binatang berbeda dengan manusia. Mereka tidak berbicara seperti manusia. Inilah struktur ide.

Tabula rasa, benarkah anak kita seperti kertas kosong? (foto: behance.net)

Setelah percobaan dan penjelasan yang direfleksikan dari pengalaman peserta berakhir, maka berakhir pula perdebatan tentang nature dan nurture.

Bagaimana menurutmu, apakah perkembangan manusia bersifat nature atau nurture?


6 responses to “Tabula Rasa, Apakah Anak-Anak Sehelai Kertas Putih?”

  1. kayaknya dua-duanya ya Pak, nature + nurture,

    jadi tertarik pembahasan lainnya (continuity vs discontinuity, quantitative vs qualitative, stability vs change, dan progressive vs regressive)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *