Kunci awal dari penelitian adalah sebuah pertanyaan sederhana, “Apa yang akan diteliti?”. Untuk itu, kita dihadapkan pada pilihan fenomena. Bagaimana cara mempertajam fenomena menjadi masalah penelitian?
Tentu kita sudah sangat familiar dengan istilah penelitan. Benda satu ini sudah seperti momok yang menghantui peneliti pemula yang diharuskan untuk melakukan atau melaluinya, misalnya mahasiswa yang memrogram skripsi. Mau tidak mau, yang namanya skripsi kudu dilalui. Untuk memasuki ruangan seram itu, kita perlu tahu pintu yang aman dan nyaman untuk ditempuh.
Sulit di awal, bisa menjadi kebiasaan (atau malah ketagihan) kemudian. Kalau aku sih nggak termasuk yang ketagihan hehehe. Jika kita tahu simpul-simpul pokok dalam penelitian, maka kita akan lebih mudah menempuhnya. Salah satu simpulnya adalah pintu gerbang penelitian, yaitu topik atau apa yang ingin kita teliti. Atau boleh juga dengan pertanyaan sejenis, masalah apa yang hendak kita teliti.
Tulisan terkait:
Berbicara tentang masalah, maka kita akan mengawalinya dengen fenomena. Fenomena (Bahasa Yunani: phainomenon) dapat diartikan apa yang terlihat, misalnya dapat berupa fakta, gejala, perasaan atau yang dirasakan oleh indera. Contoh fenomena adalah hujan, petir, angin (fenomena alam), masakan sedap, ban kempes, liburan di hari besar (fenomena sehari-hari), dan sebagainya.
Semua fenomena tersebut potensial untuk menjadi bahan penelitian. Hanya saja, ketika kita akan meneliti sesuatu, selalu ada pertanyaan lanjutan yang kadang membuat kita langsung menundukkan kepala dan tidak pede lagi untuk bertemu dengan promotor atau dosen pembimbing. Pertanyaan itu adalah, “Lalu apa masalahnya?”.
Ya, ketika kita menunjukkan kepada pembimbing atau promotor tentang fenomena yang akan kita teliti, pasti kita diminta untuk mempertajam fenomena tersebut, sehingga layak untuk diteliti. Salah satu cara untuk menjadikan fenomena signifikan untuk diteliti adalah mengubah fenomena tersebut menjadi masalah. Atau dengan kata lain, mencari masalah dari fenomena tersebut.
Misalnya saja fenomena kawin cerai pada pasangan usia muda. Maka, kita perlu mengembangkannya dengan menghubungkan dengan konsep, konstruk, atau variabel tertentu. Misalnya penyesuaian perkawinan pasangan usia muda, konsep diri anak dengan orangtua yang bercerai, pengambilan keputusan untuk bercerai pada pasangan usia muda dan sebagainya. Contohnya memang bersesuaian dengan bidang saya, psikologi. Ini hanya untuk memudahkan saja. Selanjutnya, prinsipnya juga tetap bisa diterapkan untuk bidang-bidang lainnya.
Namun sebelum menukik ke masalah penelitian, ada baiknya kita pahami dulu bagaimana sebuah fenomena menjadi masalah.
Fenomena itu adalah kejadian yang bersifat netral. Ketika dihubungkan dengan aspek tertentu, maka fenomena dapat menjadi masalah. Saat aku mengajar pokok bahasan ini, aku menanyai mahasiswa, apakah ban kempes itu sebuah fenomena atau masalah. Menurut Kamu itu masalah atau fenomena? Rata-rata mahasiswa menjawab bahwa ban kempes adalah masalah.
Kenapa para mahasiswa menjawab ban kempes adalah masalah? Sejatinya, ban kempes itu adalah fenomena. Bisa dimaklumi kalau para mahasiswa mengatakan bahwa ban kempes adalah masalah, karena mereka menghubungkan ban kempes dengan dirinya, dengan manusianya. Mereka mengingat pengalaman sehubungan dengan ban kempes, mereka merasa bahwa ban kempes akan menyulitkan, ban kempes bikin sepeda berat atau bahkan tidak bisa kemana-mana. Itu berarti, para mahasiswa sudah menghubungkan ban kempes dengan aspek yang lain, dalam hal ini manusia yang menggunakan sepeda dengan ban kempes tersebut.
Saat sebuah fenomena dihubungkan dengan aspek lain, saat itu juga fenomena jadi masalah. Tapi kita bisa mengategorikan aspek-aspek yang bisa terhubung. Untuk itu, mari kita bahas satu per satu dengan menggunakan satu contoh yang sama, yaitu fenomena ban kempes.
- Fenomena dihubungkan dengan manusia
Seperti contoh ban kempes tadi, maka fenomena tersebut dapat menjadi masalah jika berhubungan dengan manusia. Varian dari manusia bisa berkenaan dengan ukuran, jumlah, usia, kondisi, aktivitas/profesi, jenis kelamin/gender. Ben kempes, bisa jadi masalah kalau pengendaranya memiliki ukuran yang berbeda. Begitu juga dengan jumlah pengendaranya. Beda juga ketika usia pengendara adalah tua, muda, atau malah anak-anak. Begitu juga dengan pengendara dengan profesi tertentu, misalnya pembalap. Beda juga ketika pengendara yang mengalami kebocoran ban adalah laki-laki atau perempuan. Semuanya memiliki bobot masalah dan kompleksitas yang berbeda.
2. Fenomena dihubungkan dengan waktu
Fenomena ban kempes juga akan menjadi masalah jika dihubungkan dengan waktu kempesnya. Variasi aspek waktunya adalah siang atau malam, sendirian atau sedang bersama orang lain, sedang terburu-buru atau santai, sedang mengarah ketujuan tertentu. Coba bayangkan bedanya kalau ban kempes terjadi pada malam hari dan siang hari, atau pada pagi hari menjelang berangkat kerja. Kalau kejadian yang terakhir ini, sudah bergabung antara waktu pagi dengan waktu akan ebrangkat kerja, sehingga lebih kompleks.
3. Fenomena dihubungkan dengan tempat
Seperti halnya aspek waktu, fenomena ban kempes juga dapat dihubungkan dengan aspek tempat. Coba bayangkan jika ban kempes terjadi di tempat yang sepi atau ramai, jalan menanjak atau menurun, di kota yang dekat dengan bengkel atau di pedalaman yang jauh dari tambal atau toko ban.
4. Fenomena dihubungkan dengan dampak
Fenomena ban kempes juga dapat menjadi masalah jika dihubungkan dengan dampaknya. Misalnya saja ban kempes dengan keterlambatan datang ke sekolah atau tempat kerja, ban kempes dengan keterlambatan menjemput pasangan yang janjian akan nonton, ban kempes dengan kejahatan di jalan. Semua aspek yang dilekatkan dengan ban kempes tersebut juga dapat menambah bobot dan kompleksitas masalah yang ditransformasikan dari fenomena.
Demikian proses fenomena menjadi masalah. Selanjutnya, akan kita bahas tentang masalah penelitian, yakni tentang penajaman masalah hingga layak untuk diteliti. Untuk itu, kita akan bicara tentang cara membuat gradasi penajaman masalah. Tentu saja di tulisan berikutnya.
Ada yang perlu didiskusikan?
One response to “Belajar Meneliti, Transformasi Fenomena Menjadi Masalah Penelitian”
ini dia yang jadi hal tersulit saat melakukan penelitian
menguba fenomena menjadi masalah