Pembubaran Sekolah berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional atau Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI/RSI) terus menjadi diskusi hangat. Pro kontra terus terjadi, dengan adanya penghapusan status RSBI ini, termasuk di milis dosen. Simak yuk!
Awalnya, seorang teman dosen, sebut saja Mbak A, mengirimkan artikel yang berisi pernyataan Mahkamah Konstitusi tentang berubahnya sekolah dengan status Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional atau Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI/SBI) menjadi sekolah biasa. Artikelnya bisa dibaca di sini.
Berikut ini adalah tanggapan pertama artikel tersebut dari Mr. D:
Saya tidak setuju dengan keputusan MK karena membuat kita hanya akan berputar-putar dalam permasalahan yang sama dan cenderung menyelesaikan permasalahan dengan cara mudah.
Kalo diyakini bahwa RSBI/SBI adalah ide yang bagus, maka persoalan-persoalan yang ada diseputar itu yang seharusnya diselesaikan. Ibarat ada persoalan ada Tikus di Lumbung Padi, bukan membakar Lumbung Padinya solusinya, tapi bagaimana tikusnya yang diusir. Kalo tidak jelas program dalam penerapannya, ya diperjelas programnya, kalo gk benar penerapannya, padahal programnya bagus, ya dibenarkan programnya. Kalo rakyat miskin tidak bisa masuk RSBI/SBI, ya dibuat program agar rakyat miskin bisa masuk kesana. Saya bukan pendukung atau penolak RSBI/SBI, namun saya melihat penyelesaian persoalan bangsa cenderung mengambil cara mudah yang membuat kita dari masa ke masa hanya berputar ke permasalahan yang sama. Bagaimana pendapat teman2?
Ini tanggapan berikutnya dari Mbak A, yang ngirim artikel pertama kali:
Sip Pak. Seru ini ^.^
Waktu saya mem-forward berita tentang keputusan MK itu maksudnya netral saja, ingin tahu pendapat bapak-ibu yang lain.
Plus juga menginformasikan si berita yang masih cukup baru, siapa tahu ada yang belum mendengarnya.Saya pribadi memang dari awal bukan pendukung RSBI.
Bahwa itu ditujukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan agar nantinya bisa lebih bersaing di kancah internasional, itu oke, tidak masalah. Tujuan yang baik.
Hanya saja, menurut saya, lebih baik pemerintah fokus dulu membenahi program-program yang sudah ada, sebelum me-launching program baru semacam itu.
Persoalan di kelas aksel yang diliputi keluhan tentang aksi sogok-menyogok, dengan sikap orangtua siswa yang hanya sibuk mengejar prestis, dan berujung dilayani dengan sikap aji mumpung oleh pihak sekolah yang mengejar pemasukan, masih terjadi di banyak daerah.
Isyu tentang Unas, tentang akses ke pendidikan formal sendiri yang belum merata dinikmati oleh semua warga, tentang sarana pendidikan yang masih memprihatinkan di berbagai pelosok, jauh lebih mendesak untuk diselesaikan.
Dan semuanya tetap terkait dengan kualitas pendidikan.
Membuat program baru yang mentereng, tanpa menyelesaikan masalah-masalah lama hingga tuntas, itu justru akan mengalihkan perhatian publik pada persoalan pendidikan yang sebenarnya.
Yang ada hanyalah mengulang-ulang kesalahan yang lama. Meminjam istilah Mr. D, hanya akan berputar-putar dalam permasalahan.
Dan persis seperti dugaan saya, fenomenanya, orang(tua) berlomba-lomba mengejar gengsi, berusaha memasukkan anak ke RSBI.
Akhirnya, aksi suap-pun seringkali tak bisa dihindari, seperti yang pernah saya dengar dari cerita sejumlah rekan guru.
Nah, sekolah sendiri, para gurunya, tidak jarang ikut terseret arus. Membedakan perlakuan dengan menomorduakan muatan pendidikan di kelas reguler.
Itu jelas memancing protes, membuat tidak adil, dan menambah persoalan lagi tentunya.Tapi saya setuju dengan Mr. D bahwa mengadakan satu program, lalu setelah berjalan dan bermasalah dalam prosesnya kemudian memutuskan untuk menghapuskannya, memang bukan tindakan yang pas. Kesannya seperti main tulis-hapus seenaknya.
Hmm…begitu pendapat saya Pak… ^.^
Tanggapan dari pendatang baru, sebut saja Om R:
Betul sekali. Tapi ada beberapa hal yg perlu jadi perhatian:
1. Seharusnya tidak mempersoalkan pada diskriminasi, tapi sedari awal fokus pada ‘pendidikan untuk semua’. Karena pendidikan berkualitas untuk seluruh warga negara, sudah digariskan dalam undang-undang. Faktanya, kondisi yg diskriminatif (atau apapun istilahnya), sedang terjadi
2. Struktur menciptakan kultur. RSBI dibuat secara sistemik yang memunculkan efek yang sistemik pula. Pengaruhnya pada kultur. Bukan cuma kultur pendidikan, tapi juga pola pikir. Perbedaan biaya dan fasilitas, membentuk imej, kemudian memunculkan cara pandang. Karena itu, efek dominonya pada sikap dan perilaku sbg ikutannya, misalnya orangtua yg berupaya (bahkan berani membayar) agar anaknya masuk SBI.
Bahkan ada seorang siswa bilang begini, “Jangan2 kalau RSBI dihapus, ACnya dicopot. Kan jadi panas belajarnya”. Selanjutnya, RSBI jadi identik dg AC, Komputer, Internet, Ruangan, Guru dan Bahasa Inggris.
3. Internasionalisasi itu tak jadi soal. Boleh dibilang bagus. Tp kita perlu membedakannya dg Inggrisisasi. Dulu banyak orang yg menentang westernisasi, tapi dalam bungkus yg menarik, khawatirnya orang jadi tidak sadar dg adanya Inggrisisasi. Nah, persoalan inilah yg boleh jadi membuat kita selalu dibuatkan struktur untuk memunculkan kultur, bukan sebaliknya. Sehingga bisa jadi suatu saat ketika anak cucu ditanya, “Apa itu Indonesia?”, mereka jadi kebingungan. Kultur sendiri, sedikit demi sedikit, secara tidak sadar telah digantikan.Demikian kira2 kilas pandang RSBI
Ada tambahan lagi dari Om R:
Oh iya satu lagi, ketika pertanyaan “Apa itu RSBI” ditujukan kepada orang awam (awam dalam hal ini juga sepaket dg miskin), jawaban mereka: Sekolah yang mahal itu lho
Nah, fakta yg terjadi seperti itu.
Muncul tanggapan dari Mrs. V sepeti ini:
Persoalan carut marutnya dunia pendidikan kita saat ini, sebaiknya dikembalikan pada tujuaan filosofis pendidikan itu sendiri. Apakah tujuannya untuk memanusiakan peserta didik atau untuk kompetisi? Kesan saya, semangat RSBI adalah untuk kompetisi. Jadinya teseret arus pragmatisme pasar bebas. Apakah ini cocok dg ideplogi Pancasila? Di AS saja yg filosofinya liberal, tidak sebegitunya kog, sampai SMA tiap negara bagian menetapkan standard yg harus dipenuhi agar sekolah negeri bisa mendpt subsidi dari pemerintah. Kompetisi baru dimulai ketika perguruan tinggi.
Saya amat berharap agar filosofi penddikan senantiasa berhembus sejalan nafas kehidupan di dalam dunia pendidikan kita, agar kita tidak mudah terseret arus kut kutan.
Salam
Tambahan lagi dari Mrs. V:
Oya, ada tambahan lagi, di AS saja yg filosofinya liberal, kalau ada yang kalah kompetisi, misalnya siswa Hispanik, mereka dibantu dengan program Headstart. Spt kata Lincoln, klo yg larinya gak cepat, disuruh kompetisi dg yg kokoh ya selamanya akan ketinggalan. Meski menganut filosofi liberal, tujuan pendidikan di AS saja mash mau memperhatikan kesamaan kesempatan antara yg lemah dan yg kuat sampai SMA. Klo sdh perguruan tinggi, mulai sarat budaya kompetisi
Sampai tulisan ini diposkan, diskusi masih mungkin semakin panjang, apalagi diskusi ini dilakukan di milis. Jadi ada kemungkinan akan dilanjutkan pada posting berikutnya.
Jika Kamu ingin bergabung dengan diskusi ini, maka boleh langsung saja tuliskan pendapatmu di bagian komentar di bawah posting ini. Yuk gabung!
4 responses to “Pro Kontra Penghapusan Status RSBI”
Saya adalah salah satu guru SD di RSBI Semarang. Menilik atau membaca berita tentang pembubaran SBI/RSBI apalagi ulasan atau tanggapan dalam artikel ini sangat menarik untuk menuangkan apa yang ada di dalam pikiran ini.
Saya lebih cenderung dengan apa yang dikemukakan oleh Mr. D.Bahwa kita akan selalu berputar pada masalah yang sama yaitu tulis program dan hapus. Lebih mengherankan lagi adalah beberapa tanggapan yang muncul dari pejabat dinas pendidikan atau DPR.
Dalam rembug nasional dengan mendikbut disepakati tak akan membubarkan SBI/RSBI, tapi membenahi. Saat memutuskan undang – undang juga bersama dengan DPR. Tapi, banyak ada juga komentar dari mereka yang berbeda dengan keadaan sekarang.
Secara pribadi yang menjadi keprihatinan saya adalah :
1. Orang tua siswa, mungkin mereka berharap akan mendapat Ijazah dari sekolah SBI/RSBI, tapi dengan dibatalkannya ditengah jalan pBM ini, jelas harapan akan menjadi sirna.
2. Sekolah dimana saya mengajar adalah sekolah baru dengan segala fasilitas. Dengan pembatalan ini, bila kita tidak pandai dan kreatif maka segala fasilitas akan menjadi bangunan yang mangkrak.
3. Tenaga honorer yang ada di sekolah kami yang non PNS adalah 25 orang. Sebagian besar dari mereka sudah berkeluarga. Dengan pembatalan ini maka kita tidak diperkenankankan lagi untuk memungut biaya dari pemerintah. Truss ?
Sebenarnya secara pribadi, RSBI/SBI mendorong saya untuk bisa meningkatkatkan kompetensi, diantaranya adalah bahasa, IT dan studi lanjut (tentunya dengan biaya sendiri lho!). Dan pengalaman menarik bagi saya adalah saat bertemu dengan teman – teman guru dari bebrapa negara tetangga di acaranya Seameo Qitep in Math.Tentang bagaimana kita mengajar tidaklah kalah, tapi dalam hal bahasa komunikaso internasional dan IT kita masih kalah.Dan menurut saya, saat itu menjadikan keyakinan saya bahwa bahasa internasional dan IT itu adalah bagian penting bagi seorang pendidik. Dan kesempatan itu saya dapat saat saya menjadi guru di SD RSBI.
Tanggapan personal yang sangat menarik, Pak Guru.
Yuk yang lain, boleh menanggapi komentar Pak Guru
“Tentang bagaimana kita mengajar tidaklah kalah, tapi dalam hal bahasa komunikaso internasional dan IT kita masih kalah.”
Menurut saya, jika kita memang kalah dalam bidang komunikasi internasional dan IT, maka yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan komunikasi dan melek IT-nya, tanpa harus menjadikan bahasanya menjadi bahasa pengantar pelajaran. Skill komunikasi dan IT dapat digembleng di pelajaran atau Ekskul khusus Bahasa Inggris dan IT. IMHO, CMIIW.
Nah, begitu juga lebih strategis