Psychology | Learning | Parenting | Writing | Education

 

Refleksi Pendidikan Kita

Mei 5, 2025 . by . in Pendidikan . 0 Comments

Refleksi pendidikan kita di Hari Pendidikan Nasional. Kita mungkin sudah biasa dengan merayakan Hari Pendidikan Nasional di setiap tahunnya. Tapi apakah ada perubahan dalam sistem pendidikan kita? Mari kita refleksikan bersama!

Hari Pendidikan Nasional diperingati setiap tanggal 2 Mei sebagai penanda hari lahir dari bapak pendidikan Indonesia, yaitu Ki Hajar Dewantara. Beliau adalah pahlawan yang memperjuangkan peningkatan kualitas pendidikan buat anak Indonesia di jaman penjajahan. Beliau juga yang memperjuangkan kesetaraan antara keturunan Belanda dengan Bumi Putera. Selain itu, Ki Hajar Dewantara juga berpikiran visioner, modern, dan memiliki kepedulian yang tinggi untuk nasib anak bangsa di masa depan.

Refleksi Pendidikan Indonesia

Dalam tulisan ini, saya akan berefleksi dengan berbagi apa yang saya pikirkan dan rasakan tentang pendidikan kita sampai sejauh ini. Saya akan merangkum seluruh curhatan tentang pendidikan ini dalam tajuk ‘Formalitas Pendidikan’.

Istilah formalitas ini berarti lebih menekankan kepada aspek formal, misalnya prosedur dan birokrasi dari pendidikan, alih-alih berfokus pada kualitas isinya. Formalitas juga berarti pemenuhan kewajiban formal, sehingga pendidikan tidak ubahnya seperti ritual tanpa fungsi, hanya melestarikan tradisi. Kata tradisi di sini berarti juga upaya yang tidak lebih dari sekadar pengguguran kewajiban.

Betapapun tujuan pendidikan kita sudah bersifat luhur, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang utuh, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.Β Ini tercermin dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.Β Hanya saja, dalam perjalannya tujuan tersebut tidak dapat tercapai karena fokusnya bukan lagi pada hasil, tapi lebih kepada pelaksanaan keharusan prosedural. Mari kita bahas satu persatu dengan memnberikan contoh.

  1. Evaluasi pendidikan yang berubah menjadi pencapaian angka-angka

    Berbagai evaluasi yang dilakukan lembaga pendidikan, seperti sekolah atau perguruan tinggi, akhirnya kembali kepada pencapaian angka atau nilai. Kita tentu mengenal berbagai ujian, termasuk ujian nasional, yang pada akhirnya adalah perlombaan untuk menghasilkan angka-angka daripada evaluasi yang berfungsi meningkatkan kualitas isi dari pembelajaran.

    Dampak dari reduksi evalusi menjadi perlombaan untuk mendapatkan angka yang tinggi adalah pada upaya yang dilakukan oleh para siswa, guru, dan para orang tua. Para murid belajar dan mengikuti bimbingan belajar agar nilai ujian tinggi dan lulus. Orang tua tidak kalau repotnya dengan mencarikan guru privat dan lembaga yang dapat membuat anak sukses di setiap mata pelajaran. Sayangnya arti sukses di sini tereduksi menjadi nilai hasil ujian. Para guru bahkan bersedia mengatur strategi agar murid-muridnya selamat dari ketidaklulusan. Sudah bukan rahasia di banyak sekolah juga melakukan berbagai cara yang tak dipertimbangkan halal haramnya.

    2. Pencapaian ilmu pengetahuan tereduksi menjadi jurnal dan sitasi

    Di lembaga pendidikan tinggi juga terjadi hal yang sama, yaitu tereduksinya pengembangan pengetahuan dengan berlomba-lomba menerbitkan jurnal sebanyak-banyaknya. Jurnal ini kemudian menjadi capaian yang berupa angka kredit. Lagi-lagi semuanya tereduksi menjadi angka-angka, bukan kualitas isi yang bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat. Dampaknya, para akademisi berupaya untuk mencari trik dan tips agar lolos dalam penerbitan jurnal.

    Selain penerbitan jurnal, para akademisi juga berusaha untuk membuat jurnal yang diterbitkan bisa disitasi oleh orang lain. Sitasi adalah pemanfaatan dengan cara pengutipan bagian dari jurnal. Dengan sitasi, berarti tercatat jurnal tersebut diakses dan digunakan oleh orang lain. Tujuan ini memang mulia. Namun pada akhirnya tereduksi menjadi angka-angka sitasi. Banyak akademisi yang meminta mahasiswanya untuk menyitasi karya tulisnya, menggunakan SEO, mendapatkan backlink dan sebagainya. Dengan demikian, perkembangan pengetahuan tereduksi menjadi persebaran artikel, persebaran dari teks ke teks.

    3. Menjaga kualitas ilmu tereduksi menjadi lembaga yang memonopoli pengetahuan

    Kita tentu sudah tidak asing lagi dengan indexing scopus. Selain itu, jurnal juga dibagi menjadi Q1, Q2, Q3, Q4, Sinta 1, Sinta 2, Sinta 3, Sinta 4 dan seterusnya. Awalnya hal ini mewakili kualitas. Tapi pada perjalannya menjadi kasta yang menunjukkan kualitas keilmuan, bahkan kualitas seseorang dibandingkan orang lain. Karena itu, orang dengan h index yang tinggi akan menempati kasta yang tertinggi di dunia akademik. Hal ini mengacam para ilmuan dan akademisi yang memiliki berbagai cara untuk mengekspresikan hasil karyanya, misalnya dengan pengajaran, hasil karya berupa benda, bahkan ada juga yang berupa demonstrasi, simulasi, dan sebagainya.

    Tentu tudak hanya itu saja. Mungkin masih banyak reduksi yang berlaku dalam dunia pendidikan kita, yang sebelumnya bersifat substansial menjadi bersifat formal. Jika Kamu mempunyai contoh yang lainnya, silahkan tuliskan di kolom komentar!

    Tag: , ,

    Artikel tentang Pendidikan Lainnya:

    by

    Creative Learning Designer | Parenting Consultant | Writing Coach


     

    Post a Comment

    Your email is never published nor shared. Required fields are marked *

    *
    *

    You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>