Mengembalikan Keseleo Pendidikan


Kita dididik dengan cara ‘seperti ini’ selama bertahun-tahun. Maksunya ‘seperti ini’? Iya, pendidikan yang tekstual dan menjaga jarak dengan konteks kehidupan. Kita punya pekerjaan rumah untuk mengembaikan keseleo pendidikan ini.

Dengan cara apa kita memijat keseleo pendidikan kita? (foto: pendidikan.kompas.com)
Dengan cara apa kita memijat keseleo pendidikan kita? (foto: pendidikan.kompas.com)

Sebelumnya aku telah menulis tiga artikel yang mempunyai karakteristik atau misi yang sama, yaitu “Apakah Pendidikan Kita Sudah Kontekstual?”, “Apakah Pendidikan Kita Membangun Karakter?”, dan “Pendidikan Kita Menciptakan Jarak dengan Kehidupan”. Ketiganya berbicara tentang pendidikan yang tekstual dan di sisi lain, kehidupan itu adalah konteks yang membutuhkan aksi nyata. Baca sendiri saja deh, tiga artikel tersebut di sini.

Kalau kita pikirkan kembali, sepertinya ruang kelas dan sekolah benar-benar terpisah dari rumah dan kehidupan. Kita menghadapi kompleksitas persoalan dan kenyataan, namun tak satupun teori yang kita dapat di sekolahan dapat kita terapkan. Bangka sekolah/kuliah hanya cara kita menghimpun teks untuk kita baca dan diuji kembali di akhir semester atau akhir tahun. Bahkan kita punya ujian yang sudah tersistem, yaitu unas alias UN.

Tidak tahukah bahwa model ujian seperti itu telah mengerdilkan cara berpikir. Keberhasilan bertahun-tahun di bangku pendidikan (baca: sekolah) diakhiri dengan ujian dan nilai yang tak lebih dari angka-angka. Apakah semakin tinggi nilai ujian akan menjamin keberhasilan di kehidupan? Silahkan dipikirkan deh..

Keinginan untuk mendapatkan nilai tinggi sebagai tolok ukur keberhasilan bertahun-tehun sekolah telah menjadi aroma untuk disambut sebagai peluang bisnis. Menjamurlah bimbingan belajar dan jasa les privat. Sebagian besar mengajarkan trik dalam menghadapi dan menjawab soal ujian. Hidup direduksi hanya pada selembar kertas ujian.

Apa yang disebut sebagai honeymoon effect (meminjam istilahnya Boyatzis) benar-benar terjadi di sistem pendidikan kita. Beberapa waktu yang lalu aku pernah memberikan kuliah untuk bidang peminatan psikologi pendidikan. Aku memberikan kuliah tentang “Hierarchy Questions dalam Fasilitasi Belajar”. Hierarchy of Questions adalah struktur pertanyaan yang akan membantu kita dalam mencari tahu, membantu kita dalam belajar.

Beberapa bulan kemudian, ada yang konsultasi kepadaku tentang praktek kerja lapangan yang sedang ia lakukan. Orang ini sedang mengatasi kasus tentang proses pembelajaran di sekolah. Ada banyak kesalahan dalam mengumpulkan informasi dan membantu murid dan pihak sekolah dalam menyelesaikan persoalan belajarnya. Sayangnya, setelah aku cari tahu, ternyata orang ini adalah salah satu peserta kuliah tentang Hierarchy of Questions. Aku langsung terpukul. Aku bertanya pada diri sendiri, adakah kesalahan dalam caraku mengajar dulu?

Aku berusaha mengingatkan kembali orang ini pada kuliah itu. Ternyata tidak butuh usaha keras sedikitpun, ia langsung mengingatnya. Bahkan dia ingat secara detil apa isi kuliah yang aku berikan. Apa artinya? Ya memang perkuliahan (termasuk sekolah) tak saling nyambung dengan kehidupan.

Kita tidak hanya sedang mengubah perilaku belajar, tetapi juga default system dari cara berpikir. Para siswa atau mahasiswa terbiasa berpikir secara teks. Cara berpikir seperti ini adalah bentuk keseleo pendidikan yang sudah terjadi berpuluh-puluh (bahkan beratus-ratus tahun). Kita punya cara berpikir yang menjaga jarak dengan kehidupan nyata. Seperti di tulisan “Pendidikan Kita Menciptakan Jarak dengan Kehidupan”, kita membutuhkan reality testing atas pendidikan kita, bukan hanya paper and pencil testing.

Kita perlu menyadari dan segera membuat perubahan di dunia pendidikan. Apa aksimu? Silahkan di-share di sini!


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *