“Jangan membandingkan anak!”. Mungkin kita sangat familiar dengan peringatan seperti ini. Kita pasti paham, sangat mengerti. Tapi kadang kita tetap melakukannya tanpa disadari.
Bagaimana perasaan Anda ketika anak mendapatkan prestasi? Pasti senang bukan kepalang bin bahagia tak terkira. Namun bagaimana jika mendengar bahwa anak teman kita menjadi juara?
Orangtua bangga dengan capaian anaknya, itu sudah pasti lah. Karena itu, banyak orangtua yang berusaha menunjukkannya. Coba tengok saja beraneka status di sosial media, banyak orangtua dengan bangga mengekspose kelucuan, kepintaran, maupun prestasi anaknya. Anda juga begitu kan?
Namun tak jarang orangtua tidak hanya fokus memperhatikan dan memberitakan tentang anaknya. Mereka juga mengamati anak tetangga, menyimak status capaian anak-anak teman di sosial media, dan sebagainya. Pasca menyimak kabar gembira dari anak teman atau tetangga, tak tertutup kemungkinan, si ortu kembali berpaling ke anaknya. Kadang nyali menjadi ciut dan optimisme jadi mengkerut. Ketika anak orang lain berprestasi, maka kita sibuk bertanya, apa ya prestasi anak kita? Ketika anak teman mencuat dengan bakatnya, maka si ortu jadi lesu dan bertanya, kalau anakku bisa apa? Hal ini dapat semakin diperparah oleh kecemburuan (envy).
Dengan sendirinya, kita akan membandingkan. Dan ini lebih sering tak disadari. Saat perasaan resah muncul gegara anak orang lain mencapai sesuatu, kita terbawa pada lingkaran perbandingan. Kondisi ini bikin kita lepas kendali dan teralihkan perhatian dari anak kita sendiri kepada anak tetangga. Setelah melihat kondisi anak lain, kita kembali melihat anak kita dengan rasa rendah diri. Keadaan ini memang sangat potensial cara berpikir kita yang semula sangat berorientasi melihat kelebihan, keunggulan, atau potensi dari anak kita, menjadi melihat kehebatan anak orang lain dan kemudian melihat anak kita menjadi dari sisi lemahnya.
Ingat Ayah/Bunda/Kakak semua, anak kita dan anak orang lain itu tidak sama. Mereka lahir dari orangtua yang tidak sama, memiliki potensi yang tidak sama, dan punya pendekatan yang sesuai untuk masing-masingnya. Dengan demikian, cara pengembangannya juga pasti berbeda.
Berbicara tentang pengembangan, pasca melihat anak orang lain dan beralih melihat anak sendiri, si orangtua kadang lanjut dengan membandingkan cara pengasuhan/pendidikannya. Mencontoh cara pengasuhan/pendidikan orangtua lain boleh saja. Tetapi yang perlu dipegang adalah prinsipnya. Karena secara teknis pasti perlakuan terhadap anak sangat berbeda. Para orangtua yang paling kenal dengan anaknya. Karena itulah, cara pengasuhan/pendidikan ortu lain, sebaiknya lebih dipahami prinsipnya dan kemudian dikembangkan teknis pelaksanaannya. Jadi bukan ditelan mentah-mentah, apalagi kalau dilatarbelakangi oleh kecemburuan akibat pembandingan.
Boleh saja membandingkan, karena hal itu kadang datang secara alamiah. Namun kita tetap perlu sadari dan memastikan bahwa kita msaih membadingkan dengan cara yang sehat. Jadi, kita perlu fokus melihat anak kita (potensi atau kekuatannya), mengabil pelajaran dari orang lain untuk dikembangkan penerapan pengasuhannya.
Apakah Ayah/Bunda/Kakak membandingkan anak dengan cara yang sehat atau cara yang salah?