Dwi Krisdianto, Kenangan yang Mengenang Dirinya


Dwi, namanya Dwi Krisdianto atau biasa dikenal dengan dwikrid. Dia adalah teman, mungkin sahabat. Seorang mahasiswaku juga, yang kemudian mendahului di saat sangat muda. Selamat jalan Dwi. Semoga selalu damai dalam jalanmu ke alam yang berbeda.

Aku: Dwi, boleh ku tulis tentang Kamu ndak?

Dwi: Sak karepmu, Mas (Terserah Kamu, Mas)

Aku: Tapi wis akeh sing nulis-nulis tentang koe pas koe meninggal ngene (Tapi sudah banyak yang menulis tentang Kamu saat Kamu meninggal begini)

Dwi: Sakjane ndak perlu, Mas (Sebenarnya tidak usah, Mas)

Aku: Tapi aku pengen e.. (Tapi aku ingin)

Dwi: Terserah sampean, Mas (Terserah Kamu, Mas)

Jadilah aku menulis tulisan ini….

* * *

Dwikrid, sahabat yang mendahului (foto: dwikrid.wordpress.com)
Dwikrid, sahabat yang mendahului (foto: dwikrid.wordpress.com)

Begitulah kurang lebih dialogku dengan Dwi jika saja aku bilang akan menulis tentang dia saat ia telah meninggal dunia. Dialog itu gambaran, sejauh itulah aku mengenal Dwi. Ya, seperti itulah Dwi. Dialog yang menggambarkan, idealisme, sinisme, dan agak berbau anyir apatis. Ya, lagi-lagi seperti itulah Dwi. Karena dialog yang seperti itu pula lah, aku tak segera membuat tulisan ini.

Entahlah, apakah dialog di atas menunjukkan kedalaman atau kedangkalanku dalam mengenal Dwi. Paling tidak perjalanku bersamanya membuat aku sejauh itu (merasa) tahu tentang dia.

Dwi masuk di Fakulas Psikologi Universitas Airlangga tahun 2009. Saat pertama berkenalan antara mahasiswa baru dengan para dosen, di situlah aku bertemu dengna Dwi.

Tidak mudah mengenal satu per satu orang mahasiswa, karena jumlah mahasiswa Fakultas Psikologi Unair selalu ada di kisaran 250an jumlahnya untuk setiap angkatan, sejak tahun 2002. Tapi saat itu aku dapat melihat Dwi dengan jelas. Bagaimana tidak, saat Pak Dekan Seger Handoyo memperkenalkan semua dosen, beliau memanggil salah satu anak yang paling muda, karena bersekolah melalui jalur akselerasi. Entah, kalau tidak salah usia anak yang dipanggil Pak Dekan waktu itu adalah 16 tahun. Ya, dialah Dwi Krisdianto. Saat itu Pak Seger kurang lebih bilang begini, “Koyok koe Rud, podo cilike (Kayak Kamu Rud, sama kecilnya)”.

Saat perkenalan itu aku melihatnya langsung kepada matanya. Ternyata sudah menjadi ciri khas Dwi, dia menatap dengan sudut matanya. Menurutku itu bukan tatapan yang menggambarkan tajamnya analisa, tetapi itu adalah sebuah sudut pandang yang berbeda. Aku yakin, anak tersebut memiliki cara pandang yang tidak lumrah terhadap dunia, tidak sama dengan anak-anak yang lainnya. Entah, apakah aku seperti itu atau tidak, yang jelas perkataan ‘podo’ atau ‘sama’ yang dilontarkan Pak Seger secara otomatis aku amini. Ada banyak kesamaan yang aku rasakan dengan dia. Dan kesamaan yang sampai saat ini belum pernah saling kita buka satu sama lain adalah ramai di luar dan begitu gelap dan asketik di bagian dalam. Ya, itulah Dwi dan aku.

* * *

Setelah pertemuan yang pertama itu, aku sudah lama tidak bersua dengan Dwi. Yang tertinggal hanya perasaan kagum, karena sampai kini pun aku masih merasa ngiri dan mengakui bahwa Dwi adalah anak yang cemerlang.

Kata orang, kalau jodoh tidak kemana. Aku dan Dwi dipertemukan di beberapa perkuliahan. Perilakunya sama seperti mahasiswa lainnya, jarang bertanya atau berkomentar, kecuali aku yang memancingnya. Dia baru senang berkomentar kalau aku ngajar ngobrol hal yang remeh temeh atau menggoda mahasiswi di dekatnya. Dulu beberapa kali ia menggoda mahasiswa yang bernama Firlia, yang sekarang menjadi istri dari Afif, temanku sesama dosen. Aku tahu, itu adalah upaya yang disengaja oleh Dwi. Dia ingin menunjukkan sisi ‘biasa’ dari dirinya, sama seperti anak-anak lainnya. Semakin sederhana tema obrolan, semakin lama dan panjang sebuah cerita. Begitulah cara Dwi dan aku bertukar pikiran serta berkeluh kesah.

Memang, keluh kesah dan ngobrol dari hati ke hati tak kan bisa terlaksana hanya di ruang kelas semata. Kami dipertemukan oleh sebua gagasan tentang Indonesia Bercerita. Bersama Mas Bukik, Maya, Zul dan Imam, aku dipertemukan dengan Dwi dalam sebuah tim kerja. Dari situlah, Dwi dan aku sering ke sana-ke mari bersama. Aku sering membocengnya dengan motor. Dan sepanjang jalan itu pula tak pernah berhenti kita berdua saling berbicara.

Kadang aku juga memaksanya untuk pulang bareng dengan memboncengnya tanpa helm. “Nanti kalau ada polisi gimana, Mas?”, tanya Dwi. “Ya aku bilang ke polisinya: Saya nemu anak ini di jalan, Pak. Kasihan”, jawabku. Kami berdua pun tertawa. Itu terjadi beberapa kali, dan syukurlah kita selalu selamat. Maksudnya selamat tidak sekadar dari sempritan pak polisi, tapi selamat dari apapun yang mengincar keselamatan kepala yang sepanjang Surabaya-Sidoarjo tak mengenakan helm sebagai pengamannya.

Namun beberapa waktu setelah dia sudah tidak di Indonesia Bercerita dan masih melanjutkan kuliah serta sibuk dengan skripsinya, dia mulai enggan ketika aku tawari untuk pulang bersama. 

* * *

Ada satu peristiwa yang melibatkanku dengan Dwi dan keluarganya. Dwi pernah ingin keluar dari kuliahnya. Awalnya Dwi meminta Mas Bukik untuk menjadi juru bicara kepada orangtuanya. Maksudnya biar Mas Bukik memberikan penjelasan kepada orangtuanya. Karena Mas Bukik tidak bersedia, maka Dwi memutar haluan beralih kepadaku. Setali tiga uang, aku juga tidak berkenan mengabulkan keinginannya.

Hingga suatu ketika, dipertemukanlah aku, Mas Bukik, Dwi, beserta tim Indonesia Bercerita dalam sebuah tamasya kerja di Trawas. Saat itulah aku dan Mas Bukik punya nasihat yang sama untuk Dwi: Jika kamu memang sudah tidak suka dengan kuliah, maka segera selesaikan, sehingga segera menjauh dari hal yang tidak Kamu sukai. Entahlah, hal itu manjur atau tidak. Yang jelas, Dwi akhirnya tetap melanjutkan kuliahnya.

Namun permohonan agar aku ngobrol dengan orangtuanya pada akhirnya ku kabulkan juga. Tapi temanya tidak memberi penjelasan agar niat Dwi keluar dari kuliah bisa dikabulkan. Aku dan orangtuanya hanya bercerita tentang keinginan Dwi untuk terus melanjutkan kuliah.

Kalau dari sisi bapaknya, beliau sudah menasehati Dwi: Le, bapak iki wis soro. Ojok sampe anake yo podo sorone (Nak, Bapak ini sudah susah. Jangan sampai anaknya juga ikut susah). Begitu kurang lebih cerita bapaknya saat aku melayat, sehari setelah kepergian Dwi. Kami mengenang permintaan Dwi itu sambil diiringi mata bapaknya yang berkaca-kaca.

* * *

Selalu ada saat lama tidak bersua. Ketika Dwi sedang sibuk dengan game dan skripsinya, aku juga tidak tahu perkembangannya. Hanya sesekali ketemu di ruang kantor pembelajaran mandiri (PMPM), di kampus. Saat ketemu, aku cuma ngobrol sepintas diiringi candaan dan memberikan motivasi atas skripsinya.

Begitu pula aku juga tidak tahu atas kelulusannya, sampai aku mendengar kabar bahwa Dwi sudah bekerja. Tetiba merasa cemas atas keberadaan Dwi di Jakarta. Mungkin kalau Dwi mengetahui perasaanku saat itu, pasti dia paham bagaimana orangtuanya selalu menghawatirkan dia. Ada cerita lain sih, tentang hubungan Dwi dan orangtuanya. Tapi bagian itu bisa dibaca di wall facebook Mbak Ira, Aryani Tri Wrastari. Kecemasanku sebenarya lebih karena memandang Dwi seperti adik yang perlu dilindungi. Setahuku Dwi tidak pernah jauh dari orangtuanya. Jauh dalam artian fisik.

Namun agak sedikit lega ketika mendengar kabar bahwa Dwi kembali ‘bersatu’ dengan Mas Bukik. Dia resign dari tempat kerjanya di sebuah majalah game karena alasan idealisme yang terluka. Ya, lagi-lagi kesamaan-kesamaan itu langsung bisa ku rasa.

* * *

Rasa lega itu tidak bertahan lama. Mendengar kabar bahwa Dwi sakit, agak sedikit terusik. Namun buru-buru pikiran ini merasionalisasi, ah mungkin cuma sakit biasa. Agak mulai mengganjal ketika banyak teman-teman Jakarta menanyakan keadaannya kepadaku. Bahkan ada yang mencari-cari alamatnya. Kata teman yang berusaha melacak alamatnya tersebut, Dwi selalu menjawab, “Ah nggak usah, nanti ngerepotin”. Ya, begitulah Dwi, berusah amemandang biasa ketika orang lain memandang sesuatu luar biasa. Selalu berbeda.

Ketika dengan tidak sengaja mengetahui kabar bahwa Dwi ternyata sakit karena ada tumor di paru-parunya, barulah rasanya tidak Terakhir bertemu dengan dia di rumah sakit. Tubuhnya tergolek lemah. Namun ia meminta bapaknya untuk membantu duduk ketika aku, Mbak wiwin dan Pita (teman-teman dosen) datang menjenguknya.

Ketika teman-teman sedang ngobrol tentang Dwi dengan orangtuanya, aku lebih memilih berdua dengan dia. AKu mengusap-usap rambutnya. Tak bisa ngomong apa-apa, hanya sesekali bibirku lirih berkata, “Oalah Le Le… (Owalah Nak Nak…)”. Saat akan berpamitan, aku memeluknya cukup lama. Aku bisikkan kepadanya, “Ayo, ndang sehat. Ndang nulis bukumu dewe. Ndang boncengan maneh karo aku. (Ayo cepat sehat. Segera menulis bukumu sendiri. Segera boncengan lagi sama aku)”. Aku kecup kepalanya.

* * *

Beberapa hari kemudian, aku mendengar kabar, Dwi meninggal dunia, mendahului aku dan kita semua. Rasanya ada angin dingin yang menghempas wajah dan tak henti meniup di telinga. Asam lambungku naik dan mual-mual tak keruan.

Aku pergi ke rumahnya untuk melihatnya terakhir kali. Dan aku kembali ingin muntah saat menatap wajahnya. Sebuah reaksi yang biasa ku alami saat emosi tidak menentu.

Emosi mereda ketika aku lihat wajah kedua orangtuanya. Keduanya adalah orangtua yang tegar. Bapaknya malah sangat bersyukur, dia akhirnya bisa sangat dekat dengan Dwi justru ketika sedang sakit dan menjemput ajalnya.

Akhirnya, selamat jalan Dwi Krisdianto. Sampai ketemu di alam pertanggungjawaban.

Aku dan Dwi saat bekerja bersama di Indonesia Bercerita (foto: indonesiabercerita.org)
Aku dan Dwi saat bekerja bersama di Indonesia Bercerita (foto: indonesiabercerita.org)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *