Ada orang yang dipercaya, ada pula yang tidak. Selain faktor isi (orang dan keahliannya), ada juga faktor konteks, situasi dan kondisi yang turut menguatkan tingkat kepercayaan orang kepada kita.
Pada sekitaran bulan Mei yang lalu, aku pernah memfasilitasi proses belajar para Ayah/Bunda PAUD di Fakultas Psikologi Unair (salah satu kisahnya bisa disimak di sini). Berawal dari situ, maka aku membangun hubungan dengan para guru anak-anak tersebut.
Mengenang kelas Psikologi Ayah/Bunda PAUD, jadi ingat ketika pertama bertemu mereka. Awalnya aku membayangkan bahwa yang akan aku ajar adalah para bapak dan ibu yang usianya sudah pasti jauh lebih tua. Selain itu, mereka sudah pasti banyak pengalaman bersentuhan langsung denan anak-anak. Selain itu, aku terbiasa berpenampilan apa adanya, tidak dandan ala guru yang siap mengajar. Nah, bagaimana ya mengajari mereka?
Ketika masuk ke kelas, ada beberapa hal yang melegakan, yang akhirnya berujung pada kerasannya aku mengajar di kelas tersebut. Ternyata tidak hanya berisi orang tua. Sebagian diantaranya masih muda. Bahkan yang berusia paruh baya pun, tetap berpenampilan dan bergaya ala anak muda. Syukurlah.
Hal berikutnya yang membuat aku bersyukur adalah soal pakaian. Di tengah jalan menuju ke kampus, aku baru teringat bahwa aku harus memakai kaos yang sudah diberikan oleh panitia. Karena hal inilah aku harus mengulang perjalanan yang sudah hampir 10 Km jauhnya.
Wah, memakai kaos jelas bukan penampilan yang resmi. Biasanya memang penampilan yang seperti inilah yang membuatku nyaman. Begitu sampai di kelas, aku berhadapan dengan para ayah dan bunda yang mengenakan kaos yang sama. Syukurlah, berarti ada kesetaraan di kelas ini yang diperkuat oleh samanya pakaian yang kita pakai.
Posisiku sebagai pengajar menjadi hal berikutnya yang membuat aku lega. Bagaimanapun, status sebagai pengajar, membuat kita dianggap jauh lebih tahu dari pengalaman mereka. Akibatnya, kelas dengan mudah diolah. Bahkan mereka banyak bertanya, sampai waktu tak terasa minta nambah.
Dari pengalaman ini, aku bertemu lagi dengan mereka dalam sebuah seminar. Sebenarnya tajuknya adalah orasi ilmiah. Tapi lebih pas jika disebut seminar atau kuliah umum. Para ayah bunda PAUD menjadi peserta undangannya.
Sebenarnya yang jadi bahasn bukan tentang aku. Malah selama acara berjalan, aku wora-wiri, tak jenak di dalam ruangan. Ini karena aku adalah panitia tunggal. Aku hanya sempat masuk dengan intens di setengah jam akhir.
Pada sesi tanya jawab, aku ikutan mengangkat tangan. Aku tidak bertanya, hanya ingin berbagi pengalaman. Berbagai pertanyaan yang dilayangkan oleh peserta, aku rangkum dalam sebuah cerita tentang @bintangABC, anakku. Intinya bukan pada cerita atau penjelasanku, tetapi pada kepercayaan peserta terhadap apa yang aku katakan. Pengalaman sebelumya sebagai guru mereka, membuat aku serasa seperti pembicaranya. 😀
Sepulang dari seminar, ada pengalaman yang kontras. Waktu mengendarai motor, aku tepat berada di belakang pasangan suami istri muda yang membawa anaknya. Anaknya masih kecil, sepertinya belum satu tahun. Suasana yang macet dan panas semakin lengkap dihias tangis si bocah.
Aku melihat kaki si anak kepanasan, meski telah dibalut celana panjang yang langsung menutup sampai ujung kaki. Aku bisa merasakan betapa panas matahari tetap menembus kain tipis di kaki bayi itu.
Aku berusaha mendekat ke motor pembawa bayi di depanku. Aku tanya, “Umur berapa, Mbak?”. Ibunya cuma tersenyum. Motor kembali melaju, dan aku berusaha kembali membuntutinya, karena suara tangisan itu tetap melengking. Si bayi tetap meronta-ronta.
Kembali motor mereka tersusul. Aku katakan pada ibu bayi itu, “Diajak nyanyikan lagu saja, Mbak!”. Reaksi si ibu kembali tersenyum. Kali ini sedikit ada rasa kecutnya hehe.
Sedikit menjauh lagi motornya, aku susul lagi. Aku berkata, “Diajak ngobrol saja, Bunda”. Si ibu tersenyum ramah, tetapi tetap tak melakukan papun pada banyinya.
Dua cerita itu menjukkan konteks yang berbeda. Padahal apa yang aku katakan di seminar sama dengan yang aku katakan pada ibu yang membawa bayi. Seminarnya tentang ‘Mendidik dengan Musik’, maka aku katakan untuk menyanyikan lagu buat bayi yang dibonceng motor. Aku juga ngomong tentang pengasuhan di seminar tersebut, maka aku katakan pada si ibu bayi itu, untuk mengajak anaknya ngobrol.
Apa yang menarik? Ternyata tempat dan waktu sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan orang. Sudah barang tentu berbeda antara jalanan dan forum seminar, sehingga yang aku katakan juga punya daya tarik yang berbeda untuk diperhatikan, apalagi dilakukan.
Begitu juga dengan waktu. Ayah bunda PAUD punya waktu pertemuan khusus, yaitu seminar. Selain itu, mereka pernah punya waktu bersamaku, yaitu kelas psikologi. Sedangkan aku dan ibu pembawa bayi bertemu dalam waktu yang singkat dan tidak intens.
Dari pengalaman ini, agar kita dapat dipercaya, maka perlu mempertimbangkan tempat dan waktu dimana kita lebih bisa dipercaya. Tentu saja dengan tidak mengabaikan faktor keahlian yang kita miliki dan tampilan kita yang meyakinkan. Jika kita berpenampilan seperti seorang ahli, paling tidak tampak meyakinkan, maka kita akan dinilai seperti apa yang kita tampilkan. Seperti itulah biasanya.
Apa lagi ya faktor lain yang turut mendukung tingkat kepercayaan orang lain kepada kita?