Psychology | Learning | Parenting | Writing | Education

 

Bagaimana Cara Belajar yang Sesuai dengan Perkembangan Anak?

Juni 8, 2012 . by . in Creative Learning . 3 Comments

Umumnya orangtua suka kalau anaknya maju dengan lebih cepat dibandingkan anak-anak sebayanya. Hanya saja, sebagian orantua memaksakan anaknya untuk belajar sesuatu yang belum waktunya, juga dengan cara yang belum sesuai dengan dirinya. Lalu bagaimana cara belajar yang sesuai dengan perkembangan anak?

Belajar akan lebih optimal jika disesuaikan dengan perkembangan anak (model: @bintangABC)

Kemarin (7/6) tiba-tiba dihubungi, diberi tahu bahwa aku harus memandu proses belajar di Mata Kuliah Psikologi Belajar. Wah, padahal sebelumnya berangkat dengan santai saja, karena di desain perkuliahan normalnya aku memang tidak sedang mengajar. Ternyata aku melupakan sesuatu bahwa aku dulu pernah digantikan mengajar ketika sedang ada tugas workshop AMT di Ponorogo. Karena itu aku harus membayarnya sebagai hutang.

Ketika masih memacu kendaraan, berjibaku di jalanan, telpon berdering yang mengingatkanku akan hutangku itu. Dengan gegap gempita ku pacu kendaraan sekencang-kencangnya.

Sampailah di kampus dengan telat yang tak tanggung-tanggung, satu jam lamanya. Untunglah mahasiswa masih terus menunggu. Pertanyaan tentang keterlambatan berseliweran di telinga. Aku minta maaf dan ku ceritakan kondisi yang sesungguhnya.

Hari ini mahasiswa belajar dengan metode presentasi. Materi yang dibawakan oleh kelompok yang bertugas sebagai penyaji adalah tentang tokoh Psikologi Belajar yang bernama Jerome Seymour Bruner. Beliau ini paling terkenal dengan teori Discovery Learning-nya.

Bagian menariknya adalah tentang tahap perkembangan menurut Bruner. Ia membagi tahap perkembangan menjadi 3: tahap enactive (0-3 tahun), tahap iconic (3-8 tahun) dan tahap symbolic (> 8 tahun).

Tahap enactive (0-3 tahun) merupakan tahapan ketika anak mencoba memahami lingkungannya melalui objek konkrit. Contonya, seorang anak yang belajar berhitung dengan menggunakan kelereng sebagai media.

Tahap iconic (3-8 tahun) merupakan tahapan ketika seorang anak mencoba memahami lingkungan melalui gambar. Contohnya, anak-anak belajar berhitung dengan gambar-gambar, misalnya gambar bola.

Tahap symbolic (> 8 tahun) adalah tahapan dimana anak-anak merespon kegiatan dan alam nyata dengan simbolisasi. Contoh menggunakan simbol angka untuk berhitung.

Pada sesi tanya jawab, tahap perkembangan itu jadi kajian menarik. Pertanyaan yang muncul adalah apakah tahap tersebut sama pada semua orang secara alamiah atau sesuatu yang bisa dipelajari, sehinga seorang anak bisa melompat ke tahap perkembangan yang belum waktunya?  Kalau diterjemahkan dalam contoh berhitung tadi, apakah seorang anak yang masih kecil (pada tahap enactive) bisa belajar berhitung seperti anak di tahap symbolic?

Untuk pertanyaan ini, aku lebih suka bercerita daripada menjelaskan dengan teori. Ada dua cerita. Pertama, cerita tentang pengalamanku soal tuntutan untuk berprestasi hingga SMP. Cerita kedua tentang @bintangABC, anakku, ketika ia belajar mengucapkan angka.

Cerita tentang pengalaman masa kecilku adalah tentang prestasi akademik dan kebiasaan belajarku. Sejak TK aku sudah belajar banyak sekali. Berhitung, menulis dan membaca. Dalam berhitung, aku sudah menguasai operasi hitung tambah, kurang, kali dan bagi. Begitu juga dengan membaca, aku sudah bisa membaca tulisan arab maupun latin dengan lancar. Tak kalah juga kemampuan menulis, meskipun tulisanku juga tidak indah indah amat.

Prestasi ini terus berlanjut sampai SD dan SMP. Akan tetapi, aku mulai merasa jenuh di SMP kelas 2. Aku punya beberapa teman dekat yang berbeda sekali denganku. Prestasi mereka biasa saja. Mereka juga dianggap bandel atau nakal. Aku ingin seperti mereka. Aku tidak ingin dianggap luar bisa atau berbeda dengan yang lain.

Untuk keinginan itu, aku sengaja tidak belajar ketika ujian catur wulan kedua (waktu itu pakai sistem cawu). Aku mengundang teman-temanku ke rumah waktu ujian. Bukan untuk belajar, tapi untuk mendengarkan musik, nonton film dan ngobrol santai. Pada waktu ujianpun, sebagian besar soal aku jawab tanpa membacanya.

Hasil dari ujian itu justru membuat aku stress. Prestasiku menurun dan aku dimarahi karena memang terlihat tidak belajar. Yang lebih bikin stress, prestasiku menurun dari selalu peringkat pertama menjadi peringkat kedua. Aku merasa ini tanggung banget. Menurunnya tanggung, aku tetap luar biasa, sedangkan orangtua tetap saja marah.

Dari cerita tersebut, aku mengajak mahasiswa merefleksikannya kepada keberhasilan yang diartikan sebagai prestasi akademik dan keberhasilan sebagai manusia yang utuh. Aku bilang kepada mereka, aku memang berhasil secara kognitif, tetapi aku mungkin gagal secara emosional. Akibatnya, ini mempengaruhi mentalku dan daya tahan psikologisku.

Kenapa aku mengalami hal tersebut? Karena sejak kecil aku sudah belajar dengan bahan yang berat dan menggunakan cara yang seharusnya diterapkan untuk anak dengan tahap perkembangan yang lebih tinggi. Karena pengalaman tersebut, maka aku harus mengambil hikmah untuk cara belajar yang aku terapkan kepada @bintangABC.

@bintangABC berumur 17 bulan (1 tahun 5 bulan). Sekarang @bintangABC sudah bisa mengatakan 1 (satu), 2 (dua), 3 (tiga) dan seterusnya sampai 10 (sepuluh). Apakah @bitangABC bisa berhitung? Ayo kita lihat kembali bagaimana biasanya orang memikirkan seorang anak yang punya kemampuan tersebut.

Sebagian besar orang, kalau menyaksikan anak dengan kemampuan seperti @bintangABC, mereka langsung mengira anak tersebut bisa berhitung. Mereka membayangkan kemampuan tersebut seperti tangga yang berjenjang.

 

Gambar 1. Angka dengan Urutan Berjenjang

Padahal belum tentu demikian. Pada @bintangABC, ia belum tahu makna angka yang diucapkan sebagai urutan yang mengandung nilai yang berbeda-beda. @bintangABC hanya berlatih mengucapkan angka. Seandainya ia tahu angka berikutnya setelah menyebut sebuah angka, itu hanya karena ia ingat urutan pengucapannya, bukan karena sebuah urutan muatan nilai dari masing-masing angka. Jika digambarkan, @bintangABC seperti mengucapkan sederet angka yang analog dengan garis lurus.

Gambar 2. Deret Pengucapan Angka tanpa Nilai

Gambar pertama menunjukkan sederet angka yang lebih dari sekedar bunyi pengucapan, sehingga 1 (satu), 2 (dua), 3 (tiga) dan seterusnya, mempunyai nilai yang berbeda. Tiap angka sudah mengandung nilai dimana 1 lebih kecil atau pada urutan sebelum angka 2. Begitu juga dengan 3, 4, 5 dan seterusnya.

Berbeda dengan gambar 2, yang hanya terdiri dari sederet angka yang punya bunyi tertentu (bukan makna tertentu). Pada gambar tersebut terdiri dari angka-angka yang nilainya sama, sehingga antara satu (1), dua (2), tiga (3) dan seterusnya, hanya pengucapan saja.

Ini jelas sesuai dengan tahap perkembangan @bintangABC. Karena itulah aku lebih suka menggunakan “Satu…..”, “Dua….” dan seterusnya, agar @bintangABC meneruskannya sendiri. Aku tidak mengatakan, “Setelah satu…..?”, “Habis 5….?” dan seterusnya. Cara yang kedua ini berarti mempersulit Bintang, karena makna yang dituntut tidak sesuai dengan tahap perkembangan bintang yang belum kepada iconic dan symbolic.

Jika aku memaksakan @bintangABC untuk belajar yang tidak sesuai tahapannya, apakah bisa? Nah, ini pertanyaan mahasiswa yang lain, yang juga tidak kalah menariknya.

Pahami perkembangan anak untuk ketepatan cara belajar (model: @bintangABC)

Untuk pertanyaan tentang mampu atau tidaknya, bisa atau tidak, jika anak belajar di luar tahapannya, jawabannya, sangat mungkin bisa. Pertanyaan ini berhubungan dengan pertanyaan, apakah tahapan itu sebuah jenjang alami atau sebuah kemampuan yang bisa dipelajari.

Tahap perkembangan anak, seperti yang diungkapkan oleh Bruner, sebenarnya adalah kondisi alamiah yang di dalamnya bisa diisi apapun. Tahapan itu seperti wadah. Jika digambarkan dengan luas penampangnya, ketiganya wadah punya luas atau volume yang berbeda, sehingga akan muntah jika diisi sesuatu yang melebihi kapasitasnya. Tiap tahap punya karakteristik yang akan sesuai dengan isi yang sepadan.

Teori Bruner, seperti halnya juga Teori Piaget maupun Vygotsky, diciptakan untuk bisa diterapkan mengaji maupun aplikasi anak atau orang, siapapun, dimanapun, kapanpun. Hanya saja, perlakuan kita yang seharusnya bijaksana sehingga tiap tahapnya diisi dengan materi belajar yang sesuai dan dengan cara belajar yang sesuai pula.

Jadi, bisa saja anak dipaksa untuk belajar sesuatu yang di luar tahapannya dan dengan cara yang tidak sesuai. Misalnya anak yang masih berpikir konkrit diajari tulisan angka 1, 2, 3 dan seterusnya, bukan pada pengucapan saja, tetapi dituntut untuk mengerti maksudnya dan operasi hitungnya, seperti 2 + 3 = … Proses perhitungan itu tidak menggunakan benda ataupun gambar, langsung simbol angka. Berarti anak dipaksa memahami makna simbol, padahal pada waktu itu belum waktunya.

Mungkin saja anak berhasil. Akan tetapi, karena itu belum waktunya, maka anak berusaha memahami makna dengan modal berpikir konkrit. Seandainya berhasil, bisa jadi itu memang benar-benar berhasil atau hanya kita kira berhasil. Maksud dari ‘dikira berhasil’ adalah, sepertinya anak bisa, padahal itu tidak lebih dari mengingat saja. Coba tes anak yang sudah tahu hasil 2 + 3 =…. dengan perhitungan sebaliknya, 3 + 2 =…. Jika dari jawaban pertama benar, sedangkan jawaban keduanya ia masih berpikir atau menghitung kembali, maka bisa jadi itu bukan tahapnya dia.

Seandainya berhasil, bisa jadi seperti yang pernah aku alami. Aku merasa berhasil secara kognitif. Bisa dibilang aku ini anak pintar. Tapi aku merasa gagal secara emosional. Jika model belajar yang dipaksakan ini diberlakukan, maka harus siap untuk meng-cover efek psikologisnya, sehingga ketika beranjak dewasa, anak tidak jadi rentan stress.

Kesesuaian cara belajar dengan perkembangan anak akan memudahkan prosesnya (model: @bintangABC)

Faktanya, sekarang banyak lembaga bimbingan belajar, baik bahasa maupun matematika yang meng-upgrade kemampuan siswa untuk belajar lebih. Jika orangtua memang ingin melakukan ini, perlu upaya penyeimbang agar anak juga sukses secara mental. Upaya penyeimbang itu mensyaratkan beberapa hal, yaitu,

  1. Pahami tahap perkembangan anak. Awalnya memang butuh belajar, banyak membaca buku atau mencari informasi dari berbagai sumber. Tapi kalau informasi tersebut kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari anak, aku yakin orangtua dengan sendirinya akan lebih peka, meskipun tak menggunakan teori lagi. Karena  teori yang paling berharga itu yang diterapkan dan dikembangkan dari penerapan.
  2. Gunakan belajar yang sesuai dengan tahapan anak-anak. Belajar alamiah anak adalah dengan bermain. Metode bermain diharapkan dapat menyeimbangkan aktivitas kognitif dan emosinya. Tentu saja aktivitas emosi yang positif, yaitu menyenangkan.
  3. Seimbangkan juga aktivitas anak. Jika isi pembelajarannya terlampau berat, maka harus konsekuen, kegiatan refreshing dan relaksasinya juga harus lebih banyak. Ini untuk menyelamatkan psikis anak agar tidak mengalami luka.

Demikian kira-kira cerita mengajar dengan menggunakan cerita di kuliah Psikologi Belajar. Mudah-mudahan bermanfaat.

Satu hal yang harus diingat sebagai pesan dariku, jangan jadikan anak kita orang-orang pinta yang tak bahagia.

Memahami perkembangan anak itu penting (foto: blog.wingsofsteam.net)

Apakah Kamu sudah memberlakukan belajar yang sesuai dengan tahap perkembangan anakmu?

 

Tag: , ,

Artikel tentang Creative Learning Lainnya:

by

Creative Learning Designer | Parenting Consultant | Writing Coach


 

2 Comments