Mengharmoniskan Isi dan Metode Belajar Cerdas
Februari 24, 2012 . by rudicahyo . in Creative Learning . 1 Comments
Mengawinkan isi dan metode belajar cerdas, lebih daripada sekedar teknik, tapi seni.
Sumber Gambar:Â creativeeducation.co.uk |
Hari ini adalah kali pertama ikut kegiatan yang berjudul Active Teaching di kampus. Eh, dulu pernah ikut sih pada pertemuan kedua, ketika membicarakan tentang Student Learning Outcome. Tapi sebelum terlalu jauh, kita kenalan dulu dengan kegiatan yang satu ini.
Active Teaching adalah program yang dilakukan oleh Fakultas Psikologi Unair dalam meningkatkan partisipasi dalam proses belajar, yaitu dosen dan mahasiswa. Dalam konteks yang lebih sempit, active teaching lebih berarti metode. Artinya, Fakultas Psikologi Unair sedang giat menggunakannya dalam proses belajar mengajar.
Alkisah diawali oleh ‘virus’ yang dibawa oleh Alexandra, seorang mahasiswa dari Polandia. Dia diminta kampus untuk mengajari para dosen active teaching untuk proses perkuliahan.
Kali ini yang menjadi projek ujicoba dari program ini adalah Mata Kuliah Psikologi Umum, Psikodiagnostik 2 (Observasi), Psikodiagnostik 3 (Wawancara) dan Psikologi Sosial. Keempat mata kuliah ini menjadi pilot project diberlakukannya active teaching.
Hari ini sedang dilakukan workshop untuk mematangkan instalasi active teaching pada empat mata kuliah yang ditentukan itu. Aku mengamati teman-teman satu tim sedang bekerja keras untuk membuat skenario pembelajaran. Aku yang baru datang kebagian mencari jurnal dan membuat workbook buat mahasiswa.
Sedang asik mengamati sambil bekerja, aku menangkap hal yang menarik dari proses ini. Aku mengamati tentang perkawinan antara isi pembelajaran dan metode yang digunakan untuk menghantarkannya. Keduanya memang harus kawin dan harmonis. Jika tidak, maka keduanya akan seperti stiker tempel yang tidak menyatu. Bahkan bisa jadi porsinya tidak seimbang. Terlepas apakah ketidakharmonisan isi dan metode terjadi, kiranya hal ini menarik untuk dibahas.
Dalam proses belajar, kita pasti sudah tidak asing dengan dua komponen inti, yaitu isi dan metode, atau aku biasanya menyebutnya content dan context. Keduanya bisa harmonis, bisa beda porsi, atau bahkan saling berselisih. Ada yang terlampau berbekal materi, sehingga mengabaikan proses yang menarik hati. Jadinya, peserta akan jenuh dan mudah lelah dalam belajar. Sebaliknya, jika terjebak pada metode, maka akan terjadi euforia metode. Ini bisa menjebak pada alatnya, bersuka cinta kosong, mengabaikan isinya. Kok bisa terjadi yang seperti itu?
Ada dua penyebab utama sebagai biang ketidakseimbangan isi dan metode. Ini sesuai dengan jumlah komponen inti tersebut, ada dua. Meski mungkin banyak penyebab, tapi sejauh pengamatanku, penyababnya adalah model belajar lama yang lebih menekankan pada pemberian materi. Dan yang kedua adalah karena euforia untuk mewujudkan bealajar yang menyenangkan.
Sudah sekian lama kita belajar dengan model mengisi botol kosong. Artinya, kita datang ke sekolah untuk siap diisi dengan materi-materi yang sudah dirancang. Yang terpenting adalah kejar setoran, semua materi tersampaikan. Apakah itu dibutuhkan buat murid? Itu urutan kesekian. Karena itulah, pembelajaran jadi miskin variasi metode, menjemukan dan cepat lelah.
Sebaliknya, jika belajar terjebak pada permainan metode, maka isinya juga bisa terlupakan. Biasanya, ini terjadi jika ada metode baru. Saking senangnya dengan metode itu, maka metode digunakan begitu saja. Seperti memakai baju. Kita bisa saja melihat manekin memakai baju dengan indahnya. Kita mentah-mentah membeli dan memakianya. Eh, ternyata tak cocok untuk badan atau wajah kita, apalagi buat kantong kita hehe. Misalnya metode bermain. Karena menyenangkan, maka kita gunakan saja maianan atau cara bermain, padahal penggunaannya tidak disesuaikan padap encapaian tujuannya.
Bagaimana agar isi dan metode bisa kawin dengan harmonis?
Seperti halnya perkawinan atau pernikahan dua insan, tentu saja ada keterlibatan cinta di dalamnya. Di mana kita merasakan cinta? di hati. Bagaimana agar perkawinan isi dan metode dilandasi rasa cinta yang tumbuh subur di hati? Beberapa hal berikut bisa dipertimbangkan,
1. Sebelum merancang proses pembelajaran, perhatikan kemauan, utamakan antusiasme
Kadang kita lupa, bahwa semangat kita belum sampai pada mengubah perilaku potensial menjadi perilaku yang real. Daya belum sampai bisa menembus barier hingga menghasilkan lokomosi (garak).
Perlu ditanyakan pada diri tentang ada atau tidak adanya rasa senang dalam merancang pembelajaran. Jika terpaksa atau hanya ikut-ikutan, maka di tengah jalan bisa muncul keluhan, stress, putus asa. Tentu saja hal ini punya efek terhadap hasil rancangan kita buat.
2. Kebutuhan murid adalah intinya
Jika kita ingin mecapai tujuan tertentu dalam pembelajaran, yang perlu ditanyakan adalah untuk siapa dan untuk apa. Pengenalan pada subjek mempermudah untuk mengetahui apa yang dibutuhkan oleh subjek tersebut.
Perhatian kepada kebutuhan murid menjaga pendidik untuk tidak terjebak pada target penyampaian materi saja, tetapi juga bertanggung jawab memenuhi kebutuhan murid dengan materi yang kita bawa. Artinya, materi hanya alternatif pemenuhan kebutuhan, termasuk pilihan materi yang ada di daftar menu. Seperti di buku menu restoran, tidak harus semua kita pesan, Kita mungkin sesuaikan dengan selera, tingkat lapar dan tidaknya, bahkan lagi-lagi juga soal isi kantong.
3. Buatlah isi dan metode bersenyawa
Pernah tahu air dengan rumusnya H2O? Itu adalah senyawa yang meleburkan sifat dari unsur-unsurnya, yaitu hidrogen dan oksigen. Persenyawaan hidrogen dan oksigen ini dilandasi oleh rasa cinta, karena keduanya saling mengenali dengan sangat dalam.
4. Pengajar sebagai fasilitator
Peran yang diambil oleh pengajar dalam pembelajaran juga berpengaruh pada paradigma yang digunakan dalam memandu prose. Jika punya paradigma kita sebagai pengajar atau guru, maka ada kecenderungan bahwa kita serba tahu. Karena serba tahu, maka tugas kita menyampaikan pengetahuan. Nah, dari sini berarti materilah yang kita bawa. Jika mengacu kepada materi, ada kecenderungan lupa bahwa kita sedang punya misi memenuhi kebutuhan murid.
Jika kita mengambil peran sebagai fasilitator, maka kita hanya menciptakan jalan untuk mempermudah murid  mencapai apa yang mereka inginkan.
Namun demikian, bukan berarti kita jadi tidak tahu sama sekali tentang materi yang akan kita sampaikan. Tapi memang kemampuan utama yang ditubuhkan, jika kita berusaha memenuhi kebutuhan murid, adalah kemampuan fasilitasi.
Kemampuan fasilitasi bukan berarti hanya melulu mengacu kepada metode, melupakan isi. Justru kemampuan fasilitasi itu harus memegang isi yang akan disampaikan, sehingga keseluruhan proses mengarah kepada isi tersebut, yang dibutuhkan oleh murid tentunya. Dengan fasilitasi, seorang pemandu bisa mengelola pengetahuan, baik yang ia bawa atau miliki maupun pengetahuan para murid. Jika ada yang lebih tahu, maka murid tersebut akan menjadi sumber pengetahuan. Karena setiap murid punya pengetahuannya, maka mereka bisa saling memperkaya. Fasilitatorlah yang memegang peranan itu.
5. Bahasa fasilitasi jadi mantra pengubah
Ketika sedang ikut workshop active teaching, fasilitator medatangi kelompokku. Ia berbicara tentang pencapaian tujuan murid. ia berbicara tentang what atau apa tujuannya. Nah, ‘apa’ di hanya berkaitan dengan hal umum yang akan dicapai, tetapi masih belum bersifat personal pada diri murid. Karena itulah perlu pertanyaan why atau kenapa harus mencapai tujuan itu, apa kepentingan murid untuk mencapai tujuan tersebut.
Fasilitator workshop active teaching mencontohkan tentang orang yang pergi ke Surabaya. Kota yang tujuan hanya menjawab pertanyaan ‘apa’, tetapi belum menjawab ‘kenapa’ ke Surabaya. Artinya, orang yang pergi ke Surabaya harus tahu kepentingannya pergi ke sana. Ada celetukan dari peserta workshop, ia bilang untuk mencari cewek. Nah, berkenaan dengan ini, pada pertanyaan ‘apa’ yang jawabannya adalah Surabaya, butuh deskripsi tujuannya. Apa deskripsi Surabaya, yang kemudian bisa dikaitkan dengan kenapa kok pergi ke sana. Ternyata Surabaya adalah kota metropolitan yang warganya banyak, termasuk para wanita. Karena alasan ini maka Surabaya jadi kota tujuan untuk mencari cewek.
Aku coba bertanya, karena aku merasakan ada beda antara ‘mendapatkan’ wanita dengan ‘mencari’ wanita. Jelas beda antara mencari dan mendapat. Mencari itu sebuah proses yang lebih melekat pada desain bagaimana caranya ia mendapatkan cewek. Kalau ‘mendapat’ itu sudah berarti ia memperoleh. Karena itu, kalau di pembelajaran masa depan (future learning), kata mendapat itu lebih kuat untuk dijadikan target hasil belajar. Sayangnya fasilitator yang aku tanyai tidak menangkap maksudku atau mungkin belum menyadari kekuatan dari pilihan kata dan penggunaan bahasa dalam fasilitasi.
Sekecil apapun metode atau aktivitas yang kita lakukan dalam proses pembelajaran, kita tahu bagaimana efeknya untuk pencapaian tujuan, dalam hal apa dan seberapa kontribusinya. Artinya, tidak ada metode yang tercecer atau sia-sia. Jika tidak diperhatikan, maka peserta hanya akan bersenang-senang dengan prosesnya, tetapi sama sekali tidak ada makna dalam belajarnya.
Apa lagi ya, yang dapat mengawinkan isi dan metode, sehingga keduanya bisa mesra?
One Trackback
[…] Pada tulisan sebelumnya, Transformasi Kesulitan Menuju Hikmah, aku ceritakan tentang bertumpuknya jadwal hingga 11 mata kuliah. Dalam perjalanannya, mata kuliah itu bisa dikurangi 2, sehingga tinggal 9 mata kuliah. Namun, tambahan 1 mata kuliah karena aku tergabung dalam uji coba Active Teaching, maka jadilah mata kuliahnya 10 buah. Masih tetap banyak ya.. pfiuh.. Tentang active teaching, sekilas bisa disimak di sini. […]