Psychology | Learning | Parenting | Writing | Education

 

Kreativitas KOWAWA

Februari 7, 2012 . by . in Creative Learning . 3 Comments

Beranikah kita berpikir dengan cara yang tidak biasa? Tahu KOWAWA? Ada kreativitas di dalamnya. Iya, kreativitas KOWAWA.

 

Ada kreativitas di dalam KOWAWA

Pernah dengan kata KOWAWA? Kalau kata ini pernah diucapkan, dan Kamu tahu, pasti pernah dengar. Tapi yang bisa dipastikan kali ini adalah, Kamu pasti pernah baca, karena setelah sampai pada kata yang Kamu baca ini, kata ‘kowawa’ sudah Kamu lalui hehe..

Ok, kita hentikan dulu pembahasan tentang kowawa.

Sebenarnya tulisan yang diawali dengan pembahasan tentang kowawa (masih dibahas aja) ini berawal dari sesuatu yang tidak ada hubungannya. Kalau kowawa (bandel amat sih. Sudah dibilang hentian dulu kok) berawal dari sebuah celetukan, hal yang mendahului kenapa aku menulis ini justru bukan celetukan, tetapi berangkan dari sebuah forum ilmiah. Nah, mulai serem nih 🙂

Siang hari ini aku sedang jadi notulen sidang pertanggungjawaban thesis dari mahasiswa S2. Ada beberapa seneng yang timbul dari sidang ini. Seneng pertama, lagi-lagi punya kesempatan untuk ikutan jadi bingung dengan apa yang dibicarakan dalam sidang. Sampai tiga perempat sidang, masih saja bingung karena sidang ini bisa memporak-porandakan keunikan penelitian kualitatif. Jadinya kualitatif seperti standar gitu, STD banget pokoknya.

Senenag kedua, ya karena ini penelitian kualitatif. Aku berminat dengan bidang yang satu ini. Beberapa kali sempat jadi pengajar penelitian kualitatif. Selain itu, metode ini buat aku juga unik dan melihat realita dengan cara unik. Karena itulah realita jadi unik di mata penelitian kualitatif.

Seneng ketiga, ternyata ada kesempatan juga untuk bertanya. Ini sekaligus sesuatu yang tidak aku suka. Kenapa? Biasanya aku bertanya karena rasa ingin tahu. Selain karena memang tidak punya hak untuk ngetes, sayang sekali kalau kesempatanku bertanya hanya ku gunakan untuk ngetes. Mending aku curi saja kesempatan itu untuk memperkaya diri.

Sepanajng sidang, sebuah tweet meluncur, “Bingung memikirkan formulasi agar para peneliti pemula, termasuk aku, bisa menjadi peka terhadap realita dan teori, keduanya sekaligus”. Kurang lebih seperti itu tweet-nya, karena aku yakin itu sudah lebih dari 140 karakter hehehe.

Nah, karena kesulitan itulah aku bertanya tentang logika konsep self-esteem, prestasi akademik dan slow learner. Kebetulan waktu itu mahasiswa meneliti tentang self-esteem slow learner di SMP. Jadi subjeknya anak SMP yang mengalami slow learner. Sekedar keterangan, slow learner adalah anak normal yang mengalami kelambatan belajar karena kemampuan intelektualnya yang tergolong di bawah, yaitu 80-89.

Si peneliti itu menjelaskan tentang saran yang ia berikan dalam penelitian. Ia menyarankan agar guru membantu mendekati siswa slow learner dengan metode yang mampu meningkatkan prestasi akademiknya seperti siswa lain. Hal ini perlu dilakukan agar self-esteem atau harga dirinya meningkat.

Padahal dalam penelitiannya sebenarnya tidak harus dikaitkan dengan prestasi akademik. Fokus penelitiannya adalah bagaimana self-esteem anak slow learner di sebuah SMP. Presasi akademik hanya kebetulan muncul pada saat penggailan data. Nah, si peneliti terbelokkan hingga prestasi akademik bisa menempati posisi strategis dalam penelitiannya. Tuh sudah keluar dari koridor kan. Nah, logika berpikir yang seperti ini dibutuhkan kepekaan teoritik dan realita.

Peneliti juga menambahkan bahwa subjek yang tergolong usia remaja punya kebutuhan yang tinggi tentang self-esteem. Ok, berarti memang ada hubungan fondasi yang lumayan antara remaja dan kebutuhan akan self-esteem. Hanya saja, yang lupa digali oleh peneliti adalah makna self-esteem bagi slow learner. Ia hanya menekankan self-esteem bagi remaja. Nah loh, lagi-lagi diperlukan kepekaan antara realita dan teori.

Ternyata perkawinan kedua kepekaan itu bolehlah disebut logika. Bermain dilogika jadinya paradox. Perkawinan teori dan kenyataan sepertinya rumit. Ini seperti menjodohkan dua insan yang tidak sealiran, berbeda asal usul dan golongan darah, atau malah tak sama dalam hal keyakinan atau agama. Sebenarnya kalau dua sejoli menjalaninya, jadinya semua akan mudah. Tentu saja karena dijalani, kalau cuma dipikirkan akan tampak ruwet.

Dari sini muncul pemikiran tentang penelitian kualitatif. Penelitian ini unik, karena tetap berusaha menyuguhkan hasil yang sederhana, tapi tetap cantik. Kualitatif berusaha melaporkan fenomena yang simple, tapi unik dan dalam.

Selepas sidang, aku bicarakan tentang kerumitan dan kesederhanaan dalam penelitian kualitatif ini. Aku mencontohkan sebuah penelitian tentang kreativitas. Misalnya ingin menjawab, bagaimana keberanian orang untuk berpikir berbeda.

Aku usil saja berpikir, seorang peneliti menerjunkan 10, 20 atau 100 agen. Agen-agen ini dibekali dengan pertanyaan sederhana. Salah satu contoh pertanyaan yang aku utarakan, “Sebutkan 3 kata yang tidak pernah Kamu dengar!”. Eh, ini bukan pertanyaan ya, tapi perintah hehehe. Tapi kurang lebih seperti itu lah.

Habis kelar semua proses sidang, aku keluar dan menemui beberapa mahsiswa. Aku coba menanyakan pertanyaan yang sama, 3 kata yang tak pernah didengar. Tak berhenti sampai situ, aku juga menulisnya di status facebook dan update twitter.

Di twitter tidak ada yang menanggapi. Sementara di FB ada yang hanya menulis angka, 1, 2 , 3 kosong, tanpa diisi kata apapun. Aku mengerti maksudnya. Artinya, apa yang tidak pernah ia dengar, pasti tidak bisa dikatakan atau ditulis. Ada tanggapan yang lain mengatakan, “Mana mungkin yang tidak pernah didengar diucapkan”.

Paling tidak kita tahu, seberapa berani orang memikirkan sesuatu yang baru, mengatakan apa yang tidak pernah didengar. Artinya, jika mereka berani, maka sebenarnya mereka sendang menciptakan kata baru.

Nah, itulah yang membuat aku ingat dengan KOWAWA. Ini dia yang ditunggu-tunggu. Dari tadi tulisannya sepertinya tidak berhubungan hahaha.

Aku telusuri informasi tentang kowawa. Ternyata tidak ada arti yang pasti menunjuk kepada kata kowawa. Ini sebuah celetukan dari sebuah aku bernama @riniiiii (denngan 5 ‘i’, jangan salah :)). Celetukan ini dipopulerkan @babikbinal dan dibantu @peggybunny. Karena ditweet berbarengan dengan emoticon cerita atau bersorak, maka emoticon tersebut diklaim sebagai arti kowawa.

Ada juga yang mengatakan bahwa kowawa adalah anak persilangan dari koala dan chihuahua. Aku pikir ini serius, ternyata hanya permainan logika, karena adanya perkawinan silang binatang, misalnya singa dan harimau (lion+tiger=liger), macan tutul dan singa (leopard+lion=leopon). Dua persilangan itu benar adanya. Nah atas adanya persilangan itu, maka ada yang menggunakan logika tersebut untuk persilangan antara kola+chihuahua=kowawa. Imajinasi yang lumayan keren 🙂

Apapun artinya kowawa, @riniiiii (ingat, tetapi dengan 5 ‘i’) telah berani nyeletuk atau bisa dikatakan memproduksi kata baru. Ini jelas bukan kata-kata adaptasi. Tentu saja tidak menafikan bahwa @riniiiii punya kenangan atas setiap huruf atau kosakata yang membentuk kowawa. Mungkin saja dia pernah naksir cowok Chinese yang bernama Wawan dan biasa dipanggil Koh. Jadinya Koh Wawan. Mirip kan? hehehe.

Produksi kata baru inilah yang berhubungan dengan pertanyaan yang aku lontarkan kepada mahasiswa, aku tweet dan ku tulis di facebook. Sampai saat ini belom ada yang menyebutkan apa tiga kata yang belum pernah didengar.

Sekedar berbagi, aku pernah membuat skenario untuk drama kolosal. Aku bikin cerita tentang Simaluwatuku, sebuah daerah di pedalaman yang dipimpin oleh Marsulabi, seorang kepala suku. Penduduk yang disebut Simaluwers, diinisiasi, ditandai dengan dipakaikannya ulay suna. Apa itu? ulay suna adalah sebuah rok rumbai-rumbai yang dibuat dair daun-daun Rabita, sebuah daun bertuah warisan kakek-nenek moyang pendiri Simaluwatuku.

Coba perhatikan paragraf di atas. Manakah kata yang belum pernah Kamu dengar?

Sebenarnya selalu ada kata yang belum pernah kita dengar. Hanya saja kita sudah dibiasakan hanya menggunakan kata-kata yang sudah pernah kita dengar, apa yang sudah kita tahu. Inilah yang membuat daya cipta bisa dibilang rendah. Atau tingkat originalitasnya yang masih tergolong rendah. Ternyata bukan soal kemampuan, tapi keberanian untuk keluar dari kebiasaan.

 

Berani berpikir dengan cara berbeda?

Berani memikirkan sesuatu yang belum pernah ada?

Kalau begitu, apa 3 kata yang belum pernah Kamu dengar?

Tag: , ,

Artikel tentang Creative Learning Lainnya:

by

Creative Learning Designer | Parenting Consultant | Writing Coach


 

2 Comments