Seni Pengawasan terhadap Anak


Anak perlu diawasi. Berbicara pengawasan, kadang orangtua bingung, apakah dilonggari atau diketati. Karena itulah pengawasan terhadap anak adalah sebuah seni. Bagaimana seni pengawasan untuk anak?

Seorang ibu yang pernah ikut talkshow creative parenting menceritakan pengalamannya tentang pengawasan anak. Anaknya usia 3 tahun. Si ibu ini mengajak anaknya ke mall. Berdasarkan ilmu yang sudah dia dapat dari talkshow, dia punya pendirian bahwa anak tidak perlu diawasi. Ketika orangtua terlalu ketat mengawasi anak, maka anak juga akan mempersepsi hal itu tersebut sebagai suasana pengawasan yang mengekang atau justru bisa dimanfaatkan. Dia lebih banyak melepas anaknya.

Suatu ketika, si anak naik ke depan trolley belanja. Dia memanjat di depan dan menaiki trolley dengan berdiri. Sementara itu, ibu mendorongnya. Tetap dengan wajah yang santai, si ibu mendorong trolley sambil melihat-lihat etalase di kanan dan kirinya. Sampai dia tidak menyadari, kaki anaknya menggantung. Dia hanya berpegangan dengan tangan, sementara kakinya tidak berpijak di besi trolley. Karena kelelahan, anak melepaskan pegangannya, sementara ibunya tetap mendorong trolley. Akibatnya, pipi anak terbentur besi trolley. Dia mengeluh giginya sakit. Pengalaman ini menjadi keluhan yang diceritakan si ibu kepadaku.

Satu sisi, ibu tersebut begitu mengingat isi talkshow saya tentang membentuk atmosfir yang aman dan nyaman bagi anak. Ketika anak dalam kondisi apapun, misalnya menjelang jatuh atau sudah jatuh, wajah dan respon orangtua lebih baik tetap tenang, tetapi tetap sigap juga memberikan tindakan. Ketenangan si ibu ini membuatnya begitu santai, tidak mengawasi anaknya yang sedang memanjat dan bergelantungan di trolley. Berarti, di sisi lain, si ibu ini tidak menerapkan pengawasan sebagai sebuah seni. Bagaimana seni pengawasan terhadap anak?

Sebelum membahas seni pengawasan terhadap anak, kita singgung dulu pentingnya membentuk atmosfir yang nyaman dan aman bagi anak. Memang benar, anak sangat peka mengamati ekspresi dan gestur kita. Kecemasan, ketakutan atau bahkan perhatian yang kita berikan, dapat ditangkap dengan baik oleh anak.

Karena anak mengamati dengan baik reaksi kita terhadap situasi yang melibatkannya, ada dua kecenderungan tindakan anak atas situasi ini. Pertama, anak akan tertular merasa takut atau cemas. Misalnya saja ketika anak jatuh, orangtua langsung menjerit, “Aduh…!”, apalagi ditambah mengomeli. Maka anak akan cenderung trauma dan takut mengulanginya lagi. Padahal, bisa jadi peristiwa tersebut justru menjadi kesempatan belajar bagi anak. Tindakan kedua yang mungkin dilakukan oleh anak adalah memanfaatkan. Jika anak tahu, dengan tindakan yang dilakukan membuatnya lebih diperhatikan, maka ia akan menggulanginya. Misalnya saja ketika anak berlari menjauh ke keramaian. Jika kita mengikuti, maka anak akan merasa bahwa ia diikuti, jadi tidak mengapa bermain lari-lari menjauh. Namun jika kita tetap tenang seolah tidak cemas dan tidak terlalu peduli, maka anak dengan sendirinya akan kembali. Nah, hal inilah yang membutuhkan seni pengawasan, karena ada kemungkinan anak tidak peduli dan terus berlari, misalnya ketika ada yang sangat menarik perhatiannya.

Untuk itu, orangtua tetap perlu mengawasi anak, meskipun tetap mempertahankan ekspresi dan gestur tetap tenang. Hati boleh resah, tetapi sedapat mungkin mampu mengontrol agar tidak nampak dari luarannya. Seperti contoh anak yang naik trolley. Boleh lah kalau si ibu tetap santai dan melihat-lihat etalase samping kanan kiri, tetapi matanya tetap terbagi, tetap mengawasi anak yang sedang bermain di depan trolley. Sehingga jika anak melepaskan pegangannya dan melorot ke bawah, anak tidak sampai terjatuh karena tertabrak trolley. Dengan melakukan pengawasan diam-diam, si ibu akan lebih mudah untuk mengerem trolleynya ketika anak melepas pegangannya.

Begitulah yang disebut seni pengawasan terhadap anak. Tetap cool untuk membentuk suasana yang aman dan nyaman bagi anak, tetapi secara diam-diam tetap melakukan perhatian penuh tanpa anak tahu apa yang sedang kita rasakan. Karena itu, seni pengawasan memang membutuhkan kontrol diri yang cukup baik.

Seni pengawasan untuk anak itu penting diketahui orangtua (model: @bintangABC, foto: koleksi @rudicahyo)

Demikian pembahasan tentang seni pengawasan terhadap anak. Mudah-mudahan bermanfaat.

Jika ingin share pengalaman tentang seni pengawasan, silahkan tuliskan di bagian komentar, di bawah artikel ini. Terimakasih

,

4 responses to “Seni Pengawasan terhadap Anak”

  1. ass.wr.wb
    Saya tinggal di ponpes yang berada di kab.sukabumi dan saya kebetulan mempunyai rumah tinggal.
    saya tinggal disana semenjak 2003 sampai skrg dan orang tua saya tinggal di jakarta tapi mereka tiap 2x minggu selalu datang ke pondok pesantren,krn saya ada kekurangan di syaraf bagian kanan jadi saya dititipkan oleh sepasang suami istri yang usianya cukup muda dan mempunyai anak yg masih kecil,mereka dititipkan oleh orang tua saya untuk memasak,mencuci dan membereskan rumah saya.
    cuma sayangnya pengawasan yang mereka berikan kepada saya terlalu berlebihan sehingga kalau ada yg datang utk les private bahasa inggris dengan saya,suaminya harus keluar dlu ke rumah sambil melihat apa yang saya lakukan dengan anak2 didik saya sehingga saya merasa terawasi.
    Pertanyaannya adalah:
    1.apakah saya harus melapor kepada mereka apabila ada yang mau datang ke rumah?.
    2.kenapa pengawasan yang mereka berikan terlalu ketat sekali?

    • Walaikumsalam wr. wb.

      Salam kenal Mas Rahman. Semoga itu adalah bentuk perhatian mereka terhadap amanah dair ortu Mas Rahman. Tapi jika memang itu mengganggu, hendaknya dibicarakan dengan yang bersangkutan dan ada baiknya disampaikan kepada orangtua Mas Rahman

      Salam hangat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *