Perbuatan Baik Dapat Kembali Memurnikan Hati
Agustus 5, 2012 . by rudicahyo . in Inspirasi (Insert) . 2 Comments
Setiap perbuatan yang melibatkan rasa, mengikutkan emosi, apalagi dengan intensitas yang tinggi, akan membentuk diri. Begitu juga dengan perbuatan berpahala dan yang mengandung dosa. Percayalah, perbuatan baik dapat kembali memurnikan hati.
Tulisan ini berasal dari #TweetRamadhan Sabtu siang kemarin. Sebelumnya perlu diberikan gambaran lebih dulu, apa itu #TweetRamadhan.
Awalnya berasal dari keinginan positif untuk menjadikan Ramadhan tahun ini produktif. Selain produktif di amalan ibadah, juga produktif di amalan karya. Kenapa disebut amalan karya? Ya namanya Bulan Ramadhan, segala perbuatan positif bernilai sebagai ibadah.
Salah satu kegiatan yang jadi kebiasaan harian adalah #ngetweet. Kenapa tidak sekalian saja kegiatan tersebut dimasukkan dalam program Ramadhan Produktif. #TweetRamadhan tidak hanya #ngetweet seputar agama atau ceraham. #TweetRamadhan juga berisi cerita pengalaman dan #insight sehubungan dengan Bulan Ramadhan.
Ketia iseng membuka tagar #TweetRamadhan, ternyata banyak juga yang #ngetweet dengan menggunakan tagar tersebut, meskipun tulisannya gini, #tweetramadhan :). Setelah ku lihat-lihat, ternyata yang intens masih tetap @rudicahyo yang #ngetweet hehe.
#TweetRamadhan Sabtu siang kemarin membahas tentang pahala dan dosa serta hubungannya dengan pembentukan diri. Selanjutnya kita sebuh saja dengan kebaikan sebagai pengganti pahala dan keburukan sebagai pengganti dosa, karena pahala dan dosa itu soal konsekuensi yang hak prerogatifnya ada di tangan Alloh.
Setiap perilaku kita, itu akan membentuk kepribadian kita. Perilaku terkecil sekalipun, misalnya refleks, juga membentuk pola perilaku. Nah, pola-pola ini pada akhirnya juga membentuk pribadi kita.
Perlu diketahui, dalam diri kita, yang belajar bukan cuma pikiran kita. Aktivitas otak kita tidak hanya berhubungan dengan kegiatan berpikir, tetapi juga merasa dan berbuat. Penyatuan pikiran dan emosi yang diwujudkan dalam perbuatan, akan membentuk keyakinan. Keyakinan ini semakin kuat jika perbuatan diulang-ulang.
Dari sononya, manusia ini diciptakan dalam keadaan baik, karena itu sebenarnya punya tarikan untuk mengarah kepada sebuah arah yang baik. Tuhan telah memberikan tawaran itu sebagai sebuah kondisi optimum yang dapat kita capai. Hanya saja, apakah langkah kita akan kita bawa ke sana atau tidak. Nah, soal bawa dan tidak membawa inilah yang kemudian berhubungan dengan kebaikan dan keburukan pilihan perilaku kita.
Karena kodrat kita adalah baik, diciptkan dengan sesempurna-sempurnanya mahluk, maka kondisi natural kita adalah kebaikan. Jika kita berperilaku tidak baik, maka kondisi kita menjadi tidak murni lagi. Setiap kali kita berbuat baik, maka sebenarnya kita dalam proses memurnikan diri kembali.
Menjadi diri yang murni sebenarnya sama saja dengan memberihkan hati. Kenapa kok hati? Ya karena hati adalah penimbang dan pengeksekusi atas tindakan kita. Nabi Muhammad SAW pernah ditanya oleh serang sahabat, bagaimana membedakan pahala dan dosa. Beliau hanya menekan dada sahabat tersebut dengan ketiga jarinya sambil mengatakan “Tanyakan kepada hatimu” sampai tiga kali. “Yang membuat hatimu bahagia, itu artinya pahala. Yang membuat hatimu resah, itu artinya dosa”, demikian kira-kira penjelasan beliau.
Aku juga pernah dengar ceraham dari KH Zainudin MZ yang membahas soal hati ini. Da’i sejuta umat itu mengatakan bahwa dalam diri manusia, yang menjadi raja adalah hati. Jika hati baik, maka akan baiklah seluruh amalan. Sebaliknya jika hati buruk, maka buruklah amalannya. Begitu kira-kira penjelasan dari sang ustad.
Hati yang murni maupun yang telah terkotori tetap memegang peranan dalam mempertimbangkan amal perbuatan. Setiap kali amal baik dilakukan, maka hati dimurnikan, dijaga dalam keadaan bersih. Begitu juga sebaliknya, jika perbuatan buruk dilakukan, maka hati terkotori. Berarti, hati yang bersih jika melakukan pertimbangan atas sebuah perilaku, pasti juga dilakukan dengan bersih, dengan jernih. Sebaliknya, hati yang mulai terkotori, maka akan menimbang perbuatan (selanjutnya) dengan cara yang tidak bersih.
Jika perbuatan baik dilakukan terus-menerus, maka hati akan terjaga bersih. Artinya, perbuatan kita selanjutnya juga akan lebih terjaga pada perbuatan yang baik-baik. Namun jika hati dalam kondisi kotor, maka perilaku yang berikutnya adalah hasil dari pertimbangan hati yang kotor. Dengan kata lain, akan semakin mudah melakukan keburukan.
Hati yang semakin ngeflek ini yang membuat kita sulit bertobat. Kita sering menyaksikan penjudi yang sulit sekali menghentikan kebiasaannya. Kalaupun mencoba bertobat (mungkin bukan tobat yang sesungguhnya atau taubatan nasuhah), akan lebih mudah kambuh kembali. Begitu juga dengan orang yang suka mabok, mencuri dan sebagainya.
Namun tak perlu berkecil hati. Karena dari sononya hati diciptakan dalam keadaan baik, maka ia akan selalu menyarakan kebaikan. Rasa resah ketika kita menyakiti orang lain, merugikan orang lain, itu juga kerja dari hati kita, meskipun pada saat itu kita berbuat keburukan. Hanya saja, jika perbuatan buruk tersebut semakin intens kita lakukan, maka hati semakin lemah. Akibatnya, jika ada keinginan untuk berubah, kita selalu punya rasionalisasi, selalu ada cara menentangnya.
Aku bukan orang yang ahli dalam hal agama. Tulisan inipun tidak banyak didasarkan pada justifikasi religi. Ini lebih mirip dengan taujiah psikologi. Karena apa yang diajarkan dalam agama kita, itu memang punya relevansi dengan dinamika kejiwaan kita.
Yang perlu diingat adalah, kognisi, emosi dan tubuh kita itu sama-sama aktif dan terus belajar. Ketiganya saling memberikan stimulus dan saling merekasi untuk saling memperkuat. Hasil kerja bareng ketiganya akan membentuk keyakinan. Dan keyakinan itulah yang menjadi jiwa dalam gerak dan laku kita, menjadi pribadi kita.
Demikian kira-kira sharing dari #TweetRamadhan. Mudah-mudahan bermanfaat. Bagaimana pendapatmu mengenai perilaku baik dan buruk dalam mendukung hati untuk memutuskan perilaku? Ada pendapat lain?
Tag: psikologi populer
2 Comments