Kesesatan Orangtua dalam Memandang Perkembangan Anak


Orangtua adalah orang yang mengiringi perkembangan anaknya. Ia mengamati dan bersama anaknya hampir sepanjang waktu. Mereka yang paling tahu pekembangan anaknya. Tapi beda lagi kalau mereka sudah merasa paling tahu. Ini menjadi sumber kesesatan orangtua dalam memandang perkembangan anak.

Beberapa hari yang lalu, aku betemu kembali dengan mahasiswi bimbingan akademikku. Sudah lulus sih. Dia datang lagi untuk meminta rekomendasi untuk melanjutkan kuliah lagi. Dulu ia pernah meminta rekomendasi ini. Bedanya, kali ini ia membawa 2 form. Yang satu form untuk melanjutkan ke Unair dan form lainnya untuk UGM.

Form rekomendasi untuk Unair atas sepengetahuan orangtuanya, sedangkan yang UGM ia buat secara diam-diam. Disembunyikan dari siapa? Iya, orangtuanya, terutama ayahnya. Dia tidak mendapatkan ijin kuliah di luar Surabaya.

Mahsiswi tersebut juga cerita tentang perlakukan ayahnya kepada kakaknya yang kuliah di UI. Meski akhirnya di lepas juga untuk kuliah di Jakarta, si kakak sengaja dibatasi geraknya oleh ayahnya. Kakaknya tidak diberikan kendaraan dan tidak diijinkan membawa kendaraan. Karena itu, si kakak ini pergi kemanapun dengan naik angkot. Jika kuliah pagi, maka jam 6 ia sudah harus berada di jalan untuk menyetop angkot. Kata mahasiswi bimbinganku tersebut, kondisi tersebut sengaja diciptakan oleh orangtuanya karena kakaknya dulu tidak nurut, tidak mau kuliah di tempat yang dekat. Ayahnya berharap si kakak tidak kerasan dan memutuskan untuk kembali.

Orangtua mahasiswi ini, terutama si ayah, mengkhawatirkan anaknya jika berada di tempat yang jauh. Menurut dia, ayahnya selalu berusaha untuk memantau langsung. Ayahnya menganggap anak-anaknya tetap seperti anaknya yang dulu. Mahasiswiku ini masih belum paham alasan ayahnya yang sebenarnya, kecuali karena ingin mengontrolnya dari jarak dekat.

Berdasarkan cerita tersebut, ada beberapa kemungkinan kesesatan orangtua dalam memandang perkembangan anaknya.

1. Merasa paling tahu perkembangan anaknya

Orangtua memang memiliki waktu yang panjang bersama anaknya (meskipun kadang tetap tidak berinteraksi). Sangat mungkin orangtua sangat mengetahui anak-anaknya. Namun, jadi sesat kemudian jika merasa paling tahu anak-anaknya. Dalam setiap perode perkembangan anak terus berubah dari orientasi diri (egosentris) menuju ke orientasi sosial. Dulu mungkin orangtua banyak tahu anaknya, tapi sekarang sangat mungkin anak lebih percaya kepada teman sebaya (peers)nya.

2. Menganggap anaknya masih seperti yang dulu

Karena orangtua selalu bersama dan mengawasi terus anaknya, maka cara memandangnya jadi lekat. Waktu seperti berhenti. Apalagi jika orangtua bukan orang yang bekerja. Karena selalu mengawasi anaknya secara langsung, maka ketika anaknya menjauh, muncul kecemasan-kecemasan. Hal ini juga bisa terjadi dengan orangtua yang terpisah dari anaknya, misalnya tinggal di kota yang berbeda. Setelah lama tidak bertemu, begitu mereka berjumpa, orangtua tetap menganggap anaknya adalah anak yang dulu ditimangnya.

3. Menganggap pengalamannya pasti juga akan terjadi pada anak

“Ayahmu boleh sengsara, tapi Kamu jangan”. Pernah mendengar kalimat semacam itu? Wajar orangtua tidak ingin anaknya sengsara atau mengalami hal yang tidak menyenangkan seperti yang pernah mereka alami. Namun jadi tidak wajar jika orangtua beranggapan bahwa pengalamannya pasti terjadi pada anaknya. Kepedulian yang terscermin dari kalimat “Ayahmu boleh sengsara, tapi Kamu jangan” menjelma menjadi kecemasan antisipatif (meminjam istilahd ari Victor Frankl). Efeknya bisa menjadi orangtua yang cemas, rentan stress sampai yang berpola protektif.

4. Menganggap anak adalah generasa yang sama dengan orangtua

Nabi Muhammad pernah mengatakan “Didiklah anak-anakmu karena nanti akan datang suatu masa/keadaan yang berbeda dengan keadaan sekarang”. Dari nasihat Nabi ini, menunjukkan bahwa setiap masa adalah jaman atau era yang berbeda. Dalam ilmu perkembangan, ada istilah cohort, artinya sesama jaman. Maksudnya, Usia sama, jika dari jaman yang berbeda, maka akan memiliki karkateristik yang berbeda. Sama-sama usia 17 tahun antara jaman sekarang dengan jaman Majapahit pasti berbeda kan?!

Apakah cara pandang kita terhadap perkembangan anak sudah benar? (foto: health.liputan6.com)

Itu adalah kesesatan orangtua yang banyak terjadi dalam memandang perkembangan anak. Apakah Kamu mengalami atau merasakan kesesatan-kesesatan orangtua yang lainnya?


4 responses to “Kesesatan Orangtua dalam Memandang Perkembangan Anak”

  1. Ada saat anak di judgement sesuai pikirannya yang negatif serta perkataannya dan doanya yang masuk ke dalam alam bawah sadar anak yang akhirnya berulang kembali pada anak dan keturunannya, baik secara sadar/a-bawah sadar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *