Meskipun anak sangat peka terhadap stimulasi dan rasa ingin tahunya tinggi, tapi ketika sebuah kesepakatan dibuat, anak bisa konsisten terhadapnya. Iya, seperti orang dewasa, anak juga mengenal kesepakatan.
Apakah pernah mengalami adik atau anak merengek meminta dibelikan sesuatu, padahal kita tidak setuju atau mungkin tidak membawa uang untuk membelinya? Pernahkah melihat orangtua yang mengantar anaknya ke sekolah dan sampai di sekolah anak menolak untuk ikut belajar, lebih memilih bersama pengantarnya? Jika Kamu pernah melihat atau mengalaminya, maka cobalah bikin kesepakatan dengan anak.
Beberapa hari yang lalu, Bintang (2.3 tahun) sakit. Aku dan ibunya membawa ke dokter. Sebelum berangkat, kami ngobrol dengan bintang. Ibunya bilang, “Nanti akan ketemu dokter. Itan akan diperiksa. Mau diperiksa kan?”. Bintang mengangguk. Setelah jeda beberapa saat, ibunya mencoba mengulangi lagi pertanyaannya, dan dengan tegas Bintang mengangguk sambil bilang “Iya”.
Sampai di rumah sakit, kita daftar dan menunggu giliran. Kita menunggu di depan ruang tempat pengambilan sampel darah. Seorang anak sekitar umur 5-6 tahun masuk. Belum sampai 10 detik, suara tangisnya pecah. Tidak hanya itu, ia juga marah-marah dan meronta. Orangtuanya ikut masuk dan berusaha menenangkan. Tetap saja ia meronta. Ayahnya sampai marah-marah. Beberapa tendangan dan pukulan dari si anak terdengar membentur-bentur tembok yang terbuat dari kayu. Prosesnya pun lama, berlangsung sampai hampir 20 menit.
Kembali ibunya mengajak Bintang bicara. “Kenapa Kakak itu?”. Bintang menjawab “Diperiksa”. Ibunya bertanya lagi “Itan mau diperiksa?”. Jawaban Bintang tetap, “Mau”. Ibunya bertanya lagi, “Itan berani?”. Bintang mengangguk. “Ndak nangis kayak kakak itu?”. Bintang menjawab “Tidak”.
Proses pemeriksaan berjalan lancar. Padahal, sekitar 2 bulan yang lalu, Bintang masih tidak mau diperiksa oleh dokter. Dia menangis, minimal merengek untuk tidak diperiksa. Sekarang beda. Dia mau, apapun yang disuruh oleh dokter. Bintang memahaminya sebagai bagian dari proses pemeriksaan.
Menurut dokter, hasil pemeriksaan menunjukkan adanya ciri-ciri yang persis seperti sakit tipes. Suhunya naik turun, terutama menjadi tinggi ketika malam hari, beraknya berlendir, perutnya kembung, susah makan. Pokoknya, semua ciri penyakit tipes diadopsi. Apa saran dokter? Bintang diberi surat pengantar untuk cek darah. Berarti Bintang akan dikenai hal yang sama dengan anak yang menangis dan meronta pada hari itu.
Membayangkan anak yang usia 6 tahunan saja meronta dan menangis sejadi-jadinya, bagaimana dengan Bintang yang masih umur 2.3 tahun. Aku saja pernah diambil darah sampai rasanya perut eneg, mual dan kepala pening. Ini ternyata juga berefek ketika akan mengantar Bintang tes darah.
Aku teringat upaya yang dilakukan ibunya di hari sebelumnya. Aku ajak Bintang ngobrol. “Nak, hari ini Itan akan disuntik. Nanti akan ditusuk di tangannya, di sebelah sini (sambil aku tunjukkan). Rasanya sakit sedikit dan hanya sebentar. Itan mau?”. Apa jawab Bintang? “Iya, nanti disuntik”, demikian katanya. “Nanti darahnya diambil. Itan mau?”. Jawaban Bintang tetap, “Iya, darahnya diambil”.
Tibalah di rumah sakit tempat tes darah dilakukan. Ibunya tidak tega dan tidak berani memegangi Bintang. Sama seperti ketika imunisasi, selalu aku yang memegangi Bintang ketika disuntik. Terakhir imunisasi Bintang memang tidak menangis, hanya menggigit bibirnya menahan sakit.
Aku naikkan Bintang ke atas ranjang. Sebelum sampai mendekat ke ranjang. Dokter langsung menyambutnya dan menggendongnya untuk direbahkan di ranjang. Aku dekati Bintang di sampingnya. Dokter sudah pasang kuda-kuda, karena masih teringat dengan anak yang meronta kemarin. Aku kembali bilang ke Bintang, “Sakit sedikit ya”. Bintang mengangguk.
Perlahan dokter menusukkan jarum sampai penuh. Disedotnya darah Bintang perlahan. Aku lihat ekspresinya. Dia hanya tersentak ketika pangkal lengannya diikat. Selebihnya, ketika jarum ditusukkan dan daranya diambil, sama sekali bintang tidak menangis, apalagi melakukan perlawanan. Kesepakatan hari kedua berhasil dengan baik.
Cerita ini mengingatkan aku pada seorang pembuat tas di sebuah daerah industri kerajinan tas dan sepatu. Ketika aku memesan tas untuk Boneka Takita, seorang pengrajin mengeluhkan anaknya. Dia tidak mau mengajak anaknya ke mini market atau sejenisnya. Pasti anaknya minta macam-macam.
Aku bilang ke dia untuk bikin kesepakatan, karena anak memahami itu. Aku pernah pergi ke sebuah mini market sama Bintang. Aku hanya membawa uang yang hanya cukup untuk beli bedak bayi dan minyak telon. Sebelum sampai ke mini market, karena aku sadar bahwa aku tidak membawa dompet, hanya ada uang yang pas, aku bilang ke Bintang, “Itan tidak beli apa-apa ya, bapak tidak membawa uang. Uangnya hanya cukup buat beli bedak sama minyak telon”. Bintang mengangguk.
Ketika turun dari motor, aku bilang lagi, “Ingat, tidak beli makanan ya”. Bintang mengangguk. Ketika masuk ke mini market, Bintang hanya mengikuti dan melihat-lihat. Dia melewati susu cair coklat kesukaannya. Sama sekali dia tidak bicara apapun, kecuali melihatnya saja. Sampai dibedak, dia baru berkomentar, “Beli bedak”. Aku ambil bedak dan minyak telon buatnya. Kami membayarnya dan kesepakatan hari itu berhasil.
Anak juga seperti orang dewasa, paham kesepakatan yang mereka buat dengan kita. Jika Kamu akan keluar rumah dan menginginkan anak berperilaku tertentu, maka buatlah kesepakatan, sebelum berangkat.
Kamu punya pengalaman yang sama? Boleh dibagi di sini.