Psychology | Learning | Parenting | Writing | Education

 

Apakah Pendidikan Kita Membangun Karakter?

March 13, 2013 . by . in Pendidikan . 1 Comments

Setelah sekian lama kita sekolah, apa dampaknya buat kita sekarang? Apakah kita semakin pintar? mungkin iya. Apakah karakter kita terbentuk? tunggu dulu. Di sinilah kita bertanya, apakah pendidikan kita membangun karakter?

Membangun karakter itu penting (foto: 123rf.com)

Kemarin aku berboncengan pulang dengan seorang mahasiswa. Dalam perjalanan yang super duper macet tersebut menjadi kesempatan yang panjang untuk banyak hal dibicarakan. Iya, di perjalanan yang memakan 2 jam lamanya tersebut, salah satunya diisi dengan pembicaraan soal kondisi mahasiswa. Secara lebih luas, pembicaraan ini berimplikasi pada pemikiran yang lebih jauh tentang pendidikan kita. Apa yang dibicarakan?

“Tidak banyak mahasiswa yang membiayai kuliahnya sendiri”, itu adalah salah satu yang terucap dari mulut mahasiswa tersebut. “Lebih banyak mahasiswa yang masih menggantungkan diri kepada orangtuanya”, begitu lanjutan yang mengukuhkan kalimat sebelumnya. Iya, begitulah kondisi sebagian besar mahasiswa. Ini bukan hanya pemikiran mahasiswa itu, tetapi membicarakan tentang fakta teman-temannya sendiri, sebagian besar mahasiswa.

Apa yang terpikir dibenakmu tentang fenomena yang aku obrolkan dengan mahasiswa tersebut? Secara mudah, mungkin kita memikirkan hal yang sama, yaitu tentang kemandirian. Nah, pertanyaannya, apakah pendidikan kita tidak memberikan bekal bagi lulusannya untuk memiliki mental mandiri? Mandiri adalah salah satu bentuk karakter yang digambarkan sebagai sebuah kondisi mental dalam menghadapi realitas.

Aku teringat tulisanku saat menjelang lulus kuliah S1 dulu. Aku lupa judulnya. Intinya, tulisanku membahas tentang keberanian dalam menentukan nasib, memegang kendali atas diri sendiri. Ada sebuah hasil survey dari majalah SWA yang melaporkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, justru menjadi karyawan. Sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan, semakin berani untuk membuka lapangan pekerjaan. Dampaknya, yang lulusan SMA (di bawah ijasah sarjana) kebanyakan menjadi pemilik usaha, sedangkan karyawannya adalah para lulusan perguruan tinggi. Seingatku, tulisan tersebut dibredel hehe. Menentukan nasib sendiri juga sebuah karakter, yaitu kondisi mental dalam menghadapi realitas.

Fakta lain yang aku ingat, suatu ketika aku pernah mengajar mata kuliah filsafat. Saat mengajar tersebut, aku tanya, siapa diantara para peserta kuliah yang (beraliran) Psikoanalisa banget. Seisi kelas tidak ada yang menjawab pertanyaan ini. Ku pikir mereka beraliran lain. Karena itu aku tanya lagi, siapa yang (beraliran) behavioristik banget. Tetap tidak ada yang menjawab. Begitupun ketika aku tanya tentang aliran Humanistik, setali tiga uang. Bahkan ketika aku bebaskan mengatakan keyakinannya sendiri, mereka tetap tidak berbicara sepatah katapun. Cerita ini pernah aku tulis di sini. Menurutku, ini juga sebagian dari karakter.

Pembicaraanku dengan mahasiswa yang aku bonceng tersebut juga membawaku pada ingatan akan ucapan orang-orangtua yang menyuruh anak cucunya untuk sekolah setinggi mungkin, biar pintar. Bahkan seorang teman juga pernah mengatakan, bagaimanapun juga, kita juga dibentuk oleh sekolah. Aku sendiri juga tetap yakin bahwa pendidikan yang selama ini kita tempuh, juga membuat kepekaan logika kita makin meningkat. Mungkin kita tidak paham semua yang kita pelajari atau tidak mengingatnya sama sekali. Akan tetepai cara kita berpikir jadi semakin tajam. Jadi, jejak belajarnya masih ada, meskipun isi yang dipelajari sudah lupa. Inilah yang aku sebut sebagai cognition maturity atau kematangan kognisi.

Faktanya, kenapa banyak mahasiswa yang tidak mandiri, menggantungkan diri kepada orangtua, takut lulus karena bingung mikir pekerjaan setelahnya, terpaku pada ijasah dan melamar kesana-kemari sampai nyaris putus asa? Yang aku sebutkan ini semua adalah fakta, karena terjadi pada teman-teman di sekelilingku (mungkin juga termasuk aku). Apa sebenarnya yang terjadi dengan pendidikan kita? Iya, pembentukan krakter permasalahnya.

Pendidikan kita memang jago mencetak para pelajar dan mahapelajar yang pintar. Terbukti dengan banyaknya siswa yang menang olimpiade sampai tingkat internasional. Orang-orang Indonesia juga banyak yang berbicara di forum luar negeri, membahas tentang pemikiran dan makalah risetnya. Iya, ini semua yang aku sebut cognition maturity.

Apakah kematangan kognisi membentuk karakter? Tentu saja. Sebelumnya sudah aku katakan bahwa pendidikan yang selama ini kita tempuh pasti menambah kepekaan logika. Jejak belajar masih tertinggal meski kita sudah melupakan semua yang kita pelajari, apalagi ketika disuguhi problem-problem nyata. Tapi kenapa karakter masih belum terbangun juga? Karna kematangan emosi dan sosial serta sikap dan perilaku tak turut diperhatikan.

Dalam buku panduan pengajar yang juga dijadikan materi diklat, baik untuk guru maupun dosen baru, sebenarnya sudah dibahas tentang kompetensi kognitif, afektif dan psikomotor. Bahkan ini juga berimplikasi pada adanya tiga model penilaian atas kompetensi tersebut. Hanya saja, pada prakteknya kita tetap berat pada kompetensi kognitif. Dampaknya, kita semakin terlena dengan mengasah ‘otak’, melupakan ‘hati’ dan ‘raga’.

Bukti keterlenaan kita pada kompetensi kognitif dapat dilihat pada penilaian. Coba tengok rapor anak sekolah dan transkrip nilai anak kuliah. Meskipun sekarang sudah ada yang namanya penilaian Satuan Kegiatan Mahasiswa yang didasarkan pada keaktifan mahasiswa dalam kegiatan nonakademik, tetap saja titik tekannya pada transkrip nilai. Melamar pekerjaanpun juga masih ditekankan pada penilaian kognitif tersebut. Apalagi sedari TK, SD, SMP sampai SMA sudah terbiasa begitu.

Ketidakmenyatuan komeptensi kognisi, afeksi, sosial dan psikomotor menyebabkan karakter kita tidak terbangun dengan baik. Bagaimana kita bisa menjiwai yang kita pelajari jika kita belajar tidak melibatkan hati dan menggerakkan tubuh untuk melakukan tindakan nyata. Hati yang terlibat akan membuat kita merasa memiliki terhadap yang kita pelajari. Tubuh yang bergerak membuat kita membuat realisasi atau mengapilasikan apa yang telak kita pelajari. Jika ketiganya menyatu, maka karakter akan terbentuk.

Membangun karakter itu sangat penting (foto: redorbit.com)

Karena itu, diperlukan kematangan sosial dan emosional (socioemotional maturity) serta kematangan perilaku (behavioral maturity) disamping kematangan kognisi (cognition maturity). Apapun penjelasannya, tetap menyisakan pertanyaan, apakah pendidikan kita membangun karakter? Kita semua yang bisa menjawabnya.

0.00 avg. rating (0% score) - 0 votes
Tags: ,

Artikel tentang Pendidikan Lainnya:

by

Creative Learning Designer | Parenting Consultant | Writing Coach


 

One Comment

  1. WordPress › Error

    There has been a critical error on this website.

    Learn more about troubleshooting WordPress.