Tahun ajaran baru sudah jelang di depan mata. Sekolah-sekolah sudah mulai sedini mungkin membuka diri untuk dijajaki dan didaftari. Tak sedikit orangtua yang kebingungan dalam memilih sekolah. Salah satu faktornya adalah lingkungan sosial yanng mempengaruhinya. Hal inilah yang menjadikan memilih sekolah berada diantara pertimbanga kualitas, gengsi dan keampuan keuangan.
Jelang tahun ajaran baru, salah satu kesibukan yang dihadapi orangtua adalah memilih sekolah. Untuk ayah/bunda yang anaknya baru mau masuk PAUD atau TK, kebingungan memilihnya, karena PAUD adalah pondasi bagi pembentukan diri anak. Begitu juga dengan para orangtua yang akan menyekolahkan anaknya di SD. Pertimangan bahwa anak akan mulai belajar mengelola daya pikir, bernalar dan berlogika serta menganalisa, membuat para orangtua yang akan memasukkan anaknya di sekolah dasar, juga tak kalah pusingnya. Sementara itu, Para orangtua yang akan membawa anaknya untuk pendidikan menangah (SMP dan SMA) juga ditantang dengan variasi harga biaya pendidikan.
Baca juga: Bagaimana Prinsip Memilih PAUD untuk Anak?
Beberapa waktu lalu, saya coba melempar pertanyaan ke sebuah grup wali para orangtua di media sosial. Anggota grup ini hampir semuanya adalah para orangtua atau wali yang akan memasukkan anaknya ke SD. Saya coba mencari tahu, ke sekolah mana mereka akan memasukkan anaknya.
Obrolannya sangat menarik. Ada yang bilang, bahwa ia menyekolahkan anaknya sesuai dengan kemampuan biayanya saja. Ia bilang, untuk mengencangkan ikat pinggang. Sementara itu, orangtua lain lebih memilih sekolah yang dekat dari rumah, karena akan memudahkan dalam urusan antar jemputnya. Ada juga yang bertanya temannya yang dikenal kaya, apakah jadi menyekolahkan di sebuah sekolah (yang mahal harganya). Pertanyaannya memang berada antara sanjungan dan sinisme. Memang orangtua yang dikomentari tersebut memang tampak dan tampil kaya. Namun dengan cool si ibu yang dianggap kaya tersebut bilang, bahwa ia tidak menyekolahkan anaknya di sekolah yang disebutkan ibu-ibu sebelumya. Ia mengatakan, sekolah mana saja sama, toh pada waktu akan bekerja, yang ditanya adalah kuliahnya, bukan SD nya. Sementara itu, ada yang berkomentar belakangan, dan sepertinya menanggapi komentar-komentar sebelumnya. Seorang ibu ini memang menyekolahkan anakya di sekolah yang mahal. Karena sedikit tersindir dengan pembahasan sekolah mahal, maka ia bilang bahwa ia memilih sekolah yang mahal cuma kebetulan. Yang menjadi pertimbangannya adalah jarak termpuh, agar pengasuh bisa menjemputnya dengan mudah.
Berkenaan dengan sekolah dan pekerjaan, sedikit disinggug oleh Ken Robinson dalam ceramahnya yang saya tuliskan dalam artikel “Bukan Stratifikais, tapi Diferensiasi Pendidikan”.
Berkaca dari obrolan para orangtua yang akan menyekolahkan anaknya ke jenjang selanjutnya tersebut, maka ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dalam memilih sekolah.
1. Pendidikan usia dini dan pendidikan dasar adalah pondasi
Salah satu orangtua mengatakan bahwa SD tidak lebih penting daripada jenjang pendidikan tinggi, karena pada waktu akan bekerja, yang ditanya adalah pendidikan terakhirnya, bukan SD-nya. Memang, ketika akan bekerja, yang dicantumkan sebagai kelengkapan berkas adalah ijasah terakhir. Ini digunakan untuk kesesuaian spesifikasi yang dibutuhkan dan untuk kualifikasi kemampuan yang dikehendaki oleh perusahaan atau organisasi. Menggunakan ijasah terakhir untuk syarat masuk kerja bukan berarti pendidikan dasar tidak penting. Itu dua hal yang berbeda. Pendidikan itu untuk pengembangan diri anak, sedangkan ijasah adalah atribut yang diperlukan untuk masuk ke dunia kerja sebagai sesuatu yang dianggap mewakili kemampuan pemiliknya.
Nah, ketika kita tidak berbicara ijasah sebagai syarat melamar kerja, tetapi berbicara tentang pendidikan sebagai pembentukan diri, justru pendidikan usia dini dan pendidikan dasar adalah pondasi yang sangat penting bagi anak. Ibarat tulang lunak pada bayi yang nantinya akan mengeras, pembentukan diri terjadi pada saat diri anak masih lunak. Karena itu, pendidikan usia dini dan pendidikan dasar menjadi penentu dan pijakan untuk pendidikan (bahkan kehidupan) selanjutnya.
2. Sekolah tidak melulu harus dihubungkan dengan pekerjaan
Melanjutkan pada pembahasan sebelumnya, sekolah tidak harus dihubungkan dengan pekerjaan. Ini seperti sebuah penyakit peradaban, dimana tolok ukur keberhasilan disandarkan pada produktivitas di dunia kerja. Begitu juga dengan sekolah, dianggap sebagai pintu masuk ke dunia kerja. Karena itulah, jurusan yang paling banyak dibutuhkan di dunia kerja, pasti sangat berjibun peminatnya. Ketika anak tidak berorientasi ke pendidikan tinggi, maka pilihannya adalah kejuruan. Dan ketika melanjutkan ke perguruan tinggi, jurusan yang diambil adalah yang paling laku di pasaran. Begitulah cara berpikir kita di abad ini. Itu juga yang membuat mata pelajaran punya kasta, seperti yang dikatakan oleh Ken Robinson, yang kemudian saya katakan sebagai stratifikasi pendidikan.
Sekolah memang dapat berhubungan dengan pekerjaan anak kelak. Dan memang demikian kejadiannya. Tapi berpikir bahwa sekolah adalah penentu pekerjaan, itu keliru. Sekolah adalah bagian dari jalan kehidupan. Begitu juga dengan pekerjaan. Kedudukan sekolah dan pekerjaan adalah sama. Pembedanya adalah sekuensinya alias urutannya dalam kronologi kejadian. Sekolah lebih dulu dari bekerja. Namun bukan berarti yang terjadi lebih dulu sebagai penyebab bagi kejadian setelahnya. Ini adalah kesesatan berpikir yang disebut dengan post hoc ergo propter hoc. Sekolah (demikian juga pekerjaan) lebih punya ikatan dengan jalan hidup. Nah, jalan hidup itu bukan pekerjaan, tetapi karier. Ingat, karier berbeda dengan pekerjaan.
3. Antara kualitas dan harga
Ada orang bilang “Rego nggowo rupo (harga menunjukkan rupa atau kualitasnya)”. Kata-kata ini ada benarnya, karena ada banyak barang mahal yang kualitasnya bagus. Namun memang tidak selalu demikian. Ada barang yang harganya tidak terlalu mahal (bukan juga berarti murah), tapi kualitasnya tetap bagus (meskipun kadang tidak sebagus kualitas barang yang sangat mahal). Namun karena pola yang demikian, maka hal ini turut mempengaruhi bagaimana cara kita berpikir.
Ketika ada banyak sekolah dengan harga murah tidak memberikan kualitas yang bagus, maka hal ini sudah barang tentu mengkhawatirkan orangtua dan tidak menjadi pilihan. Kebanyakan dari kita berpikir, ketika memilih yang murah, pasti tidak memperhatikan kualitas. Ketika memilih yang murah, pasti karena tidak mampu secara keuangan. Atau, ketika memilih yang murah, pasti sudah kepepet.
Bagaimana yang ideal? Sudah barang tentu, orang ingin menerapkan prinsip ekonomi seakurat mungkin, yaitu dengan pengorbanan sekecil-kecilnya, mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Dengan kata lain, ingin mendapatkan sekolah dengan harga murah, tapi kualitasnya bagus. Ya begitulah idealnya. Tapi mencari sesuatu yang murah tapi bagus, tidak semudah membalik telapak tangan. Karena mencari yang bagus dengan harga murah sulit, maka para orangtua dengan kemampuan keuangan yang luar biasa, lebih merasa aman jika memilih yang mahal sekalian. Mahal tidak hanya berarti kualitas bagus. Mahal juga identik dengan jaminan atau garansi, meskipun secara eksplisit tidak selalu dinyatakan dalam bentuk transaksi. Jadi, bisa dipahami kalau para orangtua yang kaya memilih sekolah yang mahal bagi anaknya.
4. Antara gengsi dan kesesuaian
Melanjutkan pembahasan tentang harga sekolah, mahal bolehlah dibilang bagus. Namun yang bagus belum tentu sesuai bagi anak. Dalam posisi seperti inilah muncul yang disebut dengan gengsi. Dengan demikian, harga mahal bisa berhubungan dengan keamanan akan kualitas, tapi juga bisa berhubungan dengan gensi atau prestise orangtua di mata orang lain.
Berbicara tentang gengsi, memang tidak menjadi monopoli orangtua. Untuk anak yang bersekolah di tingkat lanjut, sebagian sudah ada yang memperhatika soal gengsi ini, misalnya sehubungan dengan pilihan sekolah favorit. Namun untuk anak di pendidikan dini atau dasar, gengsi lebih menjadi konsumsi orangtua. Begitu juga dengan orangtua, seperti yang dikatakan salah satu orangtua di grup sosial media, mereka memilih sekolah mahal tersebut hanya kebetulan, karena letaknya dekat rumah. Berarti tidak selalu melulu soal gengsi juga. Dalam hal ini, prestise bisa jadi hanya efek yang dipetik saja. Namun yang tak bisa dipungkiri, dengan alasan apapun, orangtua tersebut berarti memiliki kondisi keungan yang baik.
Dari penjelasan tersebut, memang sebaiknya orangtua mencari sekolah yang bagus. Namun bagus ini tidak harus mahal. Hanya saja, jika memang orangtua punya kemampuan keungan yang baik, maka boleh-boleh saja memilih sekolah yang mahal. Hal ini akan memudahkannya dari pusing memilih sekolah, karena dengan harga mahal sudah psti mengandung jaminan akan kualitasnya. Namun untuk orangtua yang masih perlu berupaya keras mengelola keunagannya untuk berbagai kebutuhan, yang harus diperhatikan adalah kesesuaian. Sesuatu yang baik di mata orangtua, jika tidak sesuai dengan kebutuhan anak, maka tidak akan menjadi kebaikan atau tidak terjadi kesesuaian. Untuk bagian ini, bisa dilanjut membaca tentang prinsip memilih PAUD.
Nah, kalau Ayah/Bunda/Kakak, apa yang menjadi pertimbangan saat memilih sekolah bagi anaknya?
2 responses to “Memilih Sekolah untuk Anak: Antara Kualitas, Gengsi, dan Kemampuan Keuangan”
Wah bagus banget infonya om, salam kenal
Salam kenal