Seperti Apakah Perubahan Diri Kita setelah Belajar?


Setiap belajar pasti punya luaran. Perubahan perilaku, sudah pasti lah. Lebih penting lagi dari itu adalah perubahan diri, menjadi diri yang utuh. Seperti apakah perubahan diri kita setelah belajar?

Hari-hari di minggu ini adalah masa akhir semester. Kuliah sudah mau habis, termasuk mata kuliah yang aku ajar dan juga mata kuliah dimana aku jadi penanggungjawabnya.

Psikologi Humanistik. Iya, itu adalah mata kuliah yang aku jadi penanggungjawabnya. Di bagian akhir dari rencana pembelajaran mata kuliah tersebut, tertulis judul kuliah, “Review Psikologi Humanistik”.

Aku memanfaatkan sesi akhir tersebut untuk mengajak mahasiswa kembali berefleksi dan menghayati setiap materi yang telah dipelajari.

Sejenak sebelum mengangkat bicara di depan mahasiswa, aku memandang mereka satu  per satu. Sengaja aku biarkan mereka menunggu sedikit lebih lama, agar merasakan hal yang berbeda.

Barulah aku memutuskan untuk mengatakan sesuatu. Aku mulai dengan sebuah pertanyaan, “Apakah mata kuliah ini penting buat Kamu?”. Meskipun mereka ragu-ragu untuk menjawab, dan hasilnya tidak ada suara, aku yakin jawabannya pasti ‘penting’.

Apakah ini berarti aku ke-pe-de-an? Tidak, ini tidak bisa dihubungkan dengan pe-de atau tidak pe-de.  Justru ada keyakinan lain di balik keyakinanku atas jawaban ‘penting’ dari mahasiswa. Apa itu? Jawaban mereka tidak asli. Setidaknya untuk sebagian besar mereka yang mengatakan ‘penting’.

Mari kita cermati. Sebuah penelitian yang dilakukan Howard Moskowitz tentang produk saus spageti. Ketika dilakukan survey, saus seperti apa yang paling mereka inginkan, rata-rata menjawab merah, cair, manis. Itu jawaban umum, jawaban yang mereka sadari sebagai keharusan yang mestinya diucapkan. Padahal, ketika dilakukan percakapan yang lebih intens melalui focus group discussion, 75% diantara mereka meinginkan saus spageti yang kental.

Begitu juga sebuah penelitian produk kopi. Ketika banyak orang dikumpulkan dalam sebuah rung, dan ditanyai, kopi seperti apa yang mereka inginkan, jawabannya sudah pasti, hitam, kental dan kuat. Padahal, ketika diselediki lebih dalam, 75% orang lebih sering meminum kopi yang encer, lemah dan menggunakan krim.

Nah, seperti itulah kondisi mahasiswa ketika ditanya, apakah mata kuliah yang diajar oleh dosennya penting buat mereka. Lalu apa yang aku lakukan kemudian?

Aku berkata demikian, “Setelah dipikir-pikir, terlalu naif kalau aku berpikir, bahwa kalian berpikir mata kuliah ini penting”. Pertanyaan yang aku berikan kepada mereka kemudian, “Lebih sering menemukan dosen yang mengatakan ‘aku yakin kalian berpikir bahwa mata kuliah ini penting’ atau dosen yang mengatakan ‘mata kuliah ini penting untuk kalian’?”. Kali ini mereka berani menjawab, lebih sering menjumpai dosen yang model kedua.

Aku lanjutkan lagi berbicara pada mahasiswa. “Setelah aku pikir-pikir, kadang aku berpikir seperti model dosen yang pertama, yaitu mengira mata kuliah yang aku ajar dipandang penting oleh mahasiswa”, demikian kataku. “Dan setelah ku pikir-pikir ulang, wajar kalau mahasiswa memandang sebuah mata kuliah tidak penting buat mereka, termasuk mata kuliah ini”, lanjutku.

Kemudian aku minta menghitung, berapa mata kuliah yang masuk di golongan: benar-benar diambil, mengambil karena wajib diambil dan situasional. Untuk golongan mata kuliah yang ketiga, misalnya adalah mata kuliah yang diambil dengan didahului pertanyaan-pertanyaan seperti ini: Dosennya baik nggak? Dapat nilainya mudah nggak? sampai pernyataan, “Sudah lah, buat menuhin sks”.

Kalau hasil perhitungan mahasiswa menunjukkan bahwa jumlah mata kuliah yang benar-benar  diambil lebih sedikit daripada yang wajib dan atau yang situasional, bahwa ada yang aneh di sistem pendidikan kita.

Lalu apa hubungannya dengan hasil belajar? Dalam kuliah Psikologi Humanistik, ditekankan untuk mempelajari eksistensi diri. Segala hal yang berhubungan dengan eksistensi adalah kesadaran, aktualisasi, realisasi dan determinasi. Jika mahasiswa belajar dengan baik, maka mereka akan menyadari eksistensinya, serta berani menentukan sikap dalam berhubungan dengan lingkungan.

Apakah dalam perjalanan kita belajar selama ini, didukung untuk menyadari keberadaan diri dan mengelola hubungan yang baik dengan lingkungan? Soal pelajaran atau mata kuliah saja, lebih banyak yang ditentukan orang lain, apalagi mau mendukung muridnya untuk berani menjadi diri sendiri.

Seperti apa sih menjadi diri itu? Untuk menjadi diri yang utuh, setidaknya kita berhasil di empat hal: mengenal diri sendiri, mengelola diri, mengenal lingkungan dan memanajemeni relasi. Inilah yang akan menjadi bekal keterampilan hidup (life skills).

Seharusnya, semua mata pelajaran/mata kuliah punya komitmen untuk mendukung ketercapaian empat hal tersebut. Bagaimana menurut Kamu?


4 responses to “Seperti Apakah Perubahan Diri Kita setelah Belajar?”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *