Profesi Guru, Antara Idealisme dan Industri Pendidikan


Guru adalah figur utama dalam membentuk dan mengembangkan kehidupan bangsa. Di hari guru ini, marilah kita kembali merenungkan profesi guru dari sudut pandang idealisme dan industri pendidikan.

“Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh guru”. Ungkapan ini kiranya tidak berlebihan, karena gurulah yang memegang peran penting dalam pendidikan di suatu negera. Namun kalimat ini boleh jadi belum lengkap. Mari kita lengkapi, “Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kualitas gurunya”. Menambahkan kata ‘kualitas’ dan kata ganti milik ‘-nya’ setelah kata ‘guru’, sudah mempunyai arti yang jauh berbeda. Bisa merasakan perbedaannya?

Kata-kata yang cenderung mengarah pembunuhan makna menuju retorika ini memang begitu indah di telinga. Kata-kata ini tak jauh beda dengan “Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa”. Satu sisi kata-kata ini dapat berarti bahwa jasa guru tak kan terbayar sampai kapanpun jua, tak akan ada orang yang mampu membayarnya dan sebagainya. Namun di sisi lain, kata ini kemudian menggiring guru pada posisi benar-benar tanpa tanda jasa. Sekali gaji guru 6-7%, harga kebutuhan pokok melejit pada kisaran 15-20%. Profesi yang ‘menjanjikan’ bukan?

Di sisi lain, tugas guru begitu bejibun. Jangankan ngomong tentang tugas, berbicara tentang definisi guru saja sudah kelewat berat (sekaligus kelwat mulia tentunya). Dari Bahasa Sanskerta: ???? yang berarti guru, tetapi arti secara harfiahnya adalah “berat”. Tuh, kan! Guru adalah pengajar suatu ilmu (wikipedia.org). Nah, berbicara tentang tugasnya, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Nah, banyak kan?

Entah ada kaitannya dengan kesejahteraan atau tidak, peran guru sekarang sudah bergeser. Guru sudah menjadi bagian dari faktor produksi dalam industri pendidikan. Guru bekerja murni untuk pemilik sekolah (baca pemilik modal). Jika memang ada kaitannya dengan kesejahteraan, logikanya guru-guru dengan gaji tinggi akan melakukan tugasnya dengan lebih total. Sebaliknya guru dengan gaji yang ‘cukup’ (misalnya guru sekolah negeri) akan mendidik dengan cukup pula. Itu logikanya. Hal ini ada benarnya juga, meskipun menurut Daniel Pink, seorang pakar bisnis dan manajemen, bahwa untuk profesi yang mengandalkan aktivitas kognisi tidak terlalu terpengaruh oleh kompensasi. Namun pada level survive untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tentunya besaran gaji tetap memiliki pengaruh, meskipun sebenarnya memang tidak terlalu berpengaruh pada daya kreasi. Karena memang tidak terlalu berpengaruh untuk pengembangan isi pendidikan, maka hal ini kita abaikan dulu. Kita kembali kepada pergeseran peran guru.

Sebagai lembaga yang melayani kebutuhan akan pendidikan, sekolah juga berbicara dengan bahasa yang sama dengan alat pemuas kebutuhan yang lain, yaitu bahasa permintaan dan penawaran. Permintaan masyarakat akan pendidikan sangat tinggi, baik dari orangtua yang bertujuan untuk mengembangkan anaknya, atau dari orangtua yang ingin sekedar sama dengan anak tetangga. Permintaan yang tinggi tentu saja dipandang sebagai peluang pasar bagi pemberi layanan pendidikan. Maka banyaklah berdiri sekolah-sekolah. Yang negeri saja sudah tidak sanggup menampung permintaan yang berjuta-juta. Akibatnya, sekolah negeri bersaing dengan sekolah-sekolah swasta, baik tentang isi, fasilitas dan keseluruhan layanannya. Apakah kedua sekolah itu baik?

Tentu saja sekolah negeri maupun swasta ada baik dan tidaknya. Biasanya, sekolah negeri memiliki harga yang terjangkau. Ini sisi baiknya sekolah negeri. Sedangkan sekolah swasta, kebanyakan berbandrol mahal. Ini tetap menjadi sisi baik buat yang mampu membayarnya. Bukankah masyarakat lebih percaya dengan merek dan harga?

Kembali kepada guru. Kedua jenis sekolah tersebut boleh jadi menggaji gurunya dengan jumlah bayaran yang berbeda. Tentu saja hal ini mempengaruhi kesejahteraan dan unjuk kerja (performa) dari para guru. Namun untuk siapa performa tersebut dipersembahkan? Ini bagian yang menarik.

Ketika guru negeri dengan gaji yang masuk sakunya mengeluhkan jumlah, guru swasta boleh sedikit tersenyum lega dengan uang tebal yang menghias kantongnya. Guru negeri menjadikan gaji sebagai biang keladi bagi kurang berkualitasnya pendidikan yang diberikan. Lalu apakah lantas guru swasta juga memberikan layanan yang lebih baik. Boleh jadi iya. Namun jika kita cermati lagi, sebenarnya para guru tersebut sedang melakukan job description yang menjadi bagian dari kelengkapan organisasi profesional, sama persis dengan dunia industri. Karena itu, kinerja yang (boleh dibilang) baik tersebut, dipersembahkan untuk para pemilik modal. Layanan yang baik dari para guru akan meningkatkan prestise sekolah. Maka akan semakin banyak yang menyekolahkan anaknya di tempat tersebut. Dari situ para pemilik modal memetik hasilnya.

Tak bisa dipungkiri, guru memang adalah profesi, bahkan guru adalah pekerjaan. Guru menyediakan dirinya sebagai faktor produksi bagi industri pendidikan. Karena itulah kita tidak lagi menemukan guru yang bergerombol di bawah pohon dengan muridnya, untuk membicarakan cita-cita dan masa depan. Kita tak lagi menemui guru yang menanyakan, “Apa potensi yang paling kamu andalkan untuk menjalani kehidupan?”. Bahkan kita juga jarang mendapati guru yang meluangkan waktu untuk membahas, apa hubungan integral dan kehidupan, sistem pencernaan dengan sarapan yang kita santap tiap pagi, dan sebagainya. Semua materi pelajaran harus kita serap sebagaimana aturan dari industri yang menaunginya.  Dan semuanya itu hanya terhubung dengan satu hal, ujian.

Para murid merasa lega ketika tugas sekolah terampungkan sudah. Mereka seperti keluar dari ruang tahanan yang di dalamnya ditemani sipir ujian dan pemberi makanan (baca: pelajaran) rutin tiap pagi, siang dan malam. Para tahanan lulus dengan terhapusnya nomor registrasi (nomor induk) yang kemudian digantikan dengan rapor/transkrip dan ijasah. Hubungan guru dan murid semakin mekanis. Ditambah lagi, segelintir guru harus dihadapkan dengan keluar masuknya ribuan siswa (juga mahasiswa).

Masihkan profesi guru dijalani sesuai dengan idealismenya? (foto: katamutiara.co)

Demikian celoteh tentang profesi guru. Tulisan ini hanya media refleksi yang saya tulis bersamaan dengan hari guru. Setidaknya, dengan tulisan ini, kita kembali kepada guru yang ideal, yang kembali berorientasi pada perkembangan diri murid. Para pemilik sekolah kiranya juga bisa ikut berefleksi bahwa di benak merekalah karakter bangsa dibangun.

Bagaimana refleksimu tentang guru di Hari Guru ini?


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *