Tantangan dalam Membudayakan Membaca Pada Anak


Membaca adalah salah satu cara untuk mendapatkan informasi sebagaimana cara yang lainnya, seperti mendengar dan melihat atau nonton. Tapi kenapa membaca begitu penting? Karena sebagian besar asupan informasi yang terstruktur adalah berupa teks. Tapi kenapa kita masih belum membudayakan membaca? Apa tantangan dalam membudayakan membaca pada anak?

Apa dampak ranking kemampuan baca anak pada diri kita?

Belakangan ini, Selasa 3 Desember 2019, telah dirilis skor dari Programme for International Student Assessment (PISA). Data hasli asesmen menunjukkan bahwa skor membaca Indonesia berada di peringkat 72 dari 77 negara, skor matematika berada di peringkat 72 dari 78 negara, dan skor sains berada di peringkat 70 dari 78 negara. Sebuah posisi yang cukup rendah dibandingkan dengan rasion jumlah negara yang berpartisipasi dalam asesmen. Kali ini mari kita fokuskan pada skor membaca, karena tulisan ini memang akan ditujukan untuk menyoroti budaya membaca.

Berbicara tentang budaya, berarti sedsang membahas cerita panjang kehidupan, mengingat budaya itu tidak terbentuk hanya sekali bertepuk tangan. Kalau dibilang budaya mebaca negara kita rendah, betul memang. Tapi mungkin kita perlu menyadari lebih dulu, bahwa yang dimaksud dengan membaca di sini adalah kesenangan membaca, bukan sekadang bisa membaca.

Sejak kecil kita diajari (kalau tidak disebut drilling) untuk membaca, agar kita bisa membaca. Ok, upaya ini rata-rata memperoleh hasil yang diharapkan, yaitu anak-anak bisa membaca. Tapi apakah dari hasil belajar itu juga berdampak pada kesenangan membaca anak? Kesenangan membaca yang dimaksud adalah antusiasme untuk melakukannya.

Antusiasme bisa dibilang adalah produk dari proses, dalam hal ini proses belajar membaca. Jika proses belajarnya memaksa anak untuk mencapai target orangtua atau seseorang di luar dirinya, berarti anak melakukannya lebih karena didorong oleh motivasi eksternal. Seperti yang kita tahu, motivasi eksternal mempunyai dampak yang instan tapi tidak bertahan lama. Belum lagi jika dalam proses belajar membaca disertai dengan tuntutan dan tekanan, maka sudah dapat dipastikan prosesnya menjadi tidak menyenangkan bagi anak. Hal inilah yang membuat anak bisa membaca tapi tidak suka membaca, karena membaca merupakan pengalaman buruk yang traumatik.

Untuk membalikkan kondisi ini menjadi budaya baru, yaitu budaya membaca, sekali lagi saya bilang, bukan seperti membalik telapak tangan. Sebelum membicarakan detil-detil teknis untuk membuat anak menyukai membaca, mari kita kembali lagi kepada diri kita sendiri. Bukankah kata A’a Gym diawali dari sendiri (selain dari yang kecil dan dari sekarang). Kita lihat diri kita, apakah sudah sesenang itu untuk membaca. Jangan-jangan kita yang menginginkan anak menyenangi membaca, belum suka membaca. Saya teringat seorang ibu dalam sesi parenting yang mengeluh bahwa anaknya tidak menyukai membaca. Si ibu sudah bersusah payah menyuruh membaca, tapi anak tetap tidak melakukannya. Saya cuma bertanya kepada si ibu, apakah ia di rumah juga suka membaca? Tahu sendiri jawabannya.

Berdasarkan pengalaman tersebut, ada semacam gaya berpikir yang menghendaki semuanya serba instan. Orangtua menginginkan anaknya segera menjadi penyuka membaca sementara cara yang diterapkan untuk membudayakan membaca tidak jauh berbeda dengan cara ketika mengajari membaca jaman dulu. Anak disuruh membaca, tetapi di rumah (juga sekolah mungkin) tidak dibangun atmosfir yang menyenangkan dalam membaca. Aktivitas membaca kembali menempati posisinya yang lama, yaitu sebagai paksaan atau keharusan.

Ternyata cara suruh baca ini juga dilakukan oleh sebagian orang sebagai bentuk reaksi akan skor membaca anak bangsa yang rendah dibanding negara lain. Semua langsung kepanasan dan lupa bahwa yang akan dibangun adalah sebuah budaya, bukan sekadar prakarya. Tidak jarang cara suruh baca timbul dari bawah sadar karena saking lamanya kita sudah terbiasa melakukan pendekatan tersebut, disamping juga karena keinginan instan sebagai bentuk reaksi atas data kemampuan baca. Akibatnya, menyuruh membaca maupun disuruh membaca sama tidak enaknya, sama beratnya.

Sekarang kita lilhat dari sisi objeknya, yaitu bahan baca atau informasi. Mari kita coba awali dengan pertanyaan, untuk apa sebenarnya kita meminta anak untuk membaca? Untuk mendapatkan informasi dan mengembangkan pengetahuan yang pada akhirnya membangun keterampilan? Saya yakin jawaban ini hanya retorika belaka, karena kebanyakan anak mengawali ‘karier membaca’nya karena mata pelajaran. Anak-anak diharuskan bisa membaca karena dibutuhkan untuk menuntaskan bangku sekolahan, agar mereka adaptif terhadap buku-buku tesk yang diwajibkan. Apakah penentuan bahan baca yang dipaksakan jadi modal yang baik untuk membudayakan membaca pada anak? Silahkan direnungkan.

Berbicara tentang objek baca, kita juga perlu fair dengan berbagai sumber informasi. Berbicara tentang sumber informasi, kita punya alat indera bahkan intuisi untuk berimajinasi. Semua itu adalah jalan asupan informasi untuk membangun pengetahuan yang kita miliki. Artinya, kita perlu berpikir terbuka bahwa informasi teks sekarang sudah semakin mendapatkan banyak saingan. Internet telah menyajikan berbagai informasi audio visual yang membuat anak tinggal berbaring santuy untuk menerima informasi. Kita perlu menyadari varian sumber informasi tersebut, sehingga kita paham tantangan dalam membangun kebiasaan membaca pada anak. Menyadari varian sumber informasi bukan berarti memusuhi sumber informasi non-teks. Kita perlu fair dengan semua itu, dan menyadari tantangannya. Sebenarnya berbicara tentang preferensi belajar atas bentuk asupan informasi yang sesuai juga merupakan modal untuk membudayakan membaca pada anak. Tapi untuk ‘how’ nya akan kita bahas di tulisan yang berbeda.

Demikian sehelai refleksi buat kita semua, agar kita menyadari tantangan dalam membudayakan membaca pada anak. Tunggu tulisan berikutnya, tentang cara membudayakan membaca pada anak ya..


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *