Psychology | Learning | Parenting | Writing | Education

 

Warisan Unas: Ketika Kejujuran Menyisakan Penyesalan

Mei 27, 2013 . by . in Pendidikan . 5 Comments

Hasil Unas sudah diumumkan. Di satu sisi decak kagum berkumandang, di sisi yang lain rutukan dan kesenduan mengiringi hasil yang kurang diharapkan. Di balik cerita itu semua, kejujuran mendatangkan persoalan sebagai buntut dari hasil yang berupa nilai pelajaran.

Tumben, hari ini judul artikelnya tidak komersil. Mungkin berkebalikan dengan konstruk utama yang ada dalam judul tersebut, kejujuran sendiri sudah menjadi komersil. Tulisan inipun dibuat begitu pagi, dini hari. Tidak tahan rasanya kalau tidak menyuarakan sebuah kejadian yang seharusnya dihilangkan dari dunia pendidikan, yaitu ketidakjujuran. Menjadikan jujur sudah selayaknya menjadi tugas lembaga pendidikan, bukan sebaliknya. Harga mahal kejujuran dicabik-cabik lagi oleh Unas.

Berawal dari curhatan seorang teman guru sebuah SMA di pinggiran kota Sidoarjo. Pasca diumumkannya hasil ujian nasional, ada banyak hasil mengejutkan. Intinya, para siswa yang sebelumnya dikeluhkan oleh para guru sebagai anak-anak yang tidak bisa apa-apa, tak pernah memperhatikan gurunya di kelas, bahkan sebagian memabaca saja tidak lancar, justru banyak yang mendapatkan nilai sempurna. Nilai 10 atau 9 sudah seperti kacang goreng saja, hampir di semua mata pelajaran. Sebaliknya, murid-murid dari teman saya tersebut banyak yang mendapatkan hasil biasa saja, bahkan sebagian besar di bawah nilai biasa. Masalahnya, mereka adalah murid-murid yang mengikuti kampanye dari teman saya ini, mengerjakan ujian dengan jujur.

Menjadi persoalan, karena murid-murid yang merasa telah bekerja keras ini seperti tidak rela melihat teman-temannya yang sama sekali tak berusaha memetik hasil yang memuaskan dan bahkan menuai banyak pujian. Eh, sori ralat, mereka sebenarnya telah melakukan usaha, yaitu membeli kunci jawaban atau paling tidak berunding untuk berbagi jawaban. Sementara nada penyesalan dari para ‘pejuang kejujuran’ terus membajiri sms teman saya yang menjadi wali kelas mereka. Sepertinya kejujuran telah disesali.

Teman saya ini terang-terangan bilang begini, “Ah, orang-orang ini (para guru) bohong banget. Mana anak-anak yang dulu dikeluhkan, kalau dikelas bikin ulang, tak pernah memperhatikan, membaca saja sulit, tak punya harapan dan berbagai sumpah serapah lainnya. Buktinya nilai mereka sempurna”, begitu kata-kata sindiran ini diberikan oleh teman saya. Bukannya menanggapi, para guru yang dulu mengeluhkan para murid yang kata mereka biang masalah ini, malah memberikan pujian kepada mereka.

Seorang wakil ketua kurikulum yang mendengarkan sindiran dari teman saya, berkata, “Bu, sampean percaya Indonesia itu merdeka karena perjuangan atau karena kebetulan?”, begitu kata wakil ketua kurikulum yang sangat tahu berbagai kecurangan di sekolah tersebut.

Mendengarkan curhatan teman saya ini, tergelitik untuk menanggapi waka kurikulum ini. Seandainya aku adalah teman saya ini, aku pasti akan bilang, “Pak, Indonesia merdeka karena kebetulan atau perjuangan, itu sama-sama diraih dengan cara positif. Ok lah, jika perjuangan yang dianggap positif, setidaknya kebetulan itu adalah suatu yang netral. Keduanya tetap tidak bisa dijadikan pembenaran atas perjuangan atau usaha yang sifatnya negatif. Kecuali kalau itu dijadikan pembenaran oleh orang yang statusnya bukan pendidik”.

Warisan Unas: Ketika Jujur Berbuah Penyesalan

Ini tidak hanya sekali dua kali terjadi di sekolah teman saya ini. Bahkan mungkin juga tidak hanya terjadi di sekolah teman saya ini. Ini adalah borok yang ditinggalkan oleh Unas. Unas telah menginjak-injak harga mahal kejujuranMungkin Kamu masih punya borok-borok yang lain? Boleh di-share di sini, agar bisa dibagikan kepada publik, betapa kebijakan Unas sudah tidak relevan lagi buat pendidikan, terutama membangun karakter jujur bangsa.

Tag: , ,

Artikel tentang Pendidikan Lainnya:

by

Creative Learning Designer | Parenting Consultant | Writing Coach


 

5 Comments