Tentunya pada tahu kasus kekerasan seksual pada anak yang terjadi di Jakarta International School, bukan? Kalau berbicara tentang abnormalitas, ini disebut sebagai pedophilia. Kali ini kita akan membahas kekerasan seksual dan pedophilia dari sudut pandang psikologi.
Sebelum membahas tentang kekerasan seksual pada anak dan pedophilia, mari kita ingat kembali kasus yang terjadi di Jakarta International School (JIS). Telah terjadi pemerkosaan (orang menyebutnya sodomi) kepada seorang murid TK yang dilakukan oleh petugas kebersihan di JIS (20/3). Begitulah kisah memilukan yang telah terjadi.
Sebenarnya yang ingin dibahas dalam tulisan ini adalah tentang kekerasan seksual kepada anak dan pedophilia. Namun karena muncul satu term lagi yang sering disebut oleh media, maka kita perlu menjelaskannya juga. Term tersebut adalah sodomi.
Sodomi sebenarnya adalah istilah hukum yang berarti tindakan seks yang tidak biasa. Maksud dari tidak biasa di sini adalah terjadi pertemuan antara alat kelamin dengan organ lain, selain alat kelamin. Hubungan seks tersebut bisa terjadi melalui oral, anal, atau organ non kelamin lainnya. Bentuk hubungannya bisa heteroseksual, homoseksual. Meski tidak menyinggung soal moral, sodomi dinilai amoral dan melanggar hukum. Ini bersesuaian dengan kisah awal tentang Kota Sodom dan Gomora. Artinya, yang dilakukan oleh pemerkosa anak di JIS memang benar dalah tindakan sodomi.
Sebenarnya, tulisan ini bermula dari kultweet #PsikoTweet di @rudicahyo, atas usulan @hirsa_dp. Biasanya, aku membuat tulisan dulu, baru aku jadikan kultweet. Tapi kali ini terbalik, kultweet tentang kekerasan seksual pada anak di #PsikoTweet aku jadikan tulisan.
Kenapa di awal tadi aku juga menyertakan term pedophilia disamping term kekerasan seksual? Karena pelaku memang menyetubuhi anak-anak. Ini disebut sebagai pedophilia. Jadi, pedophilia atau paedophilia adalah ketertarikan seksual primer orang dewasa atau remaja yang lebih tua kepada anak-anak prapubertas, sekitar 13 atau 11 tahun ke bawah. Pedophil berusia minimal 16 tahun, sedangkan anak yang menjadi sasaran, usia maksimal 16 tahun.
Apa hubungannya pedophilia dengan kekerasan? Pedophilia adalah bentuk ketertarikan seksual yang tidak wajar. Ketika seseorang tertarik secara seksual terhadap orang yang di luar rentang usia atau tahap perkembangannya, maka hal tersebut dinilai tidak wajar (secara sosial), misalnya remaja tertarik kepada orang dewasa atau anak-anak. Artinya, orang dewasa atau remaja yang lebih tua yang tertarik secara seksual primer kepada anak-anak (atau sebaliknya) dinilai tidak normal.
Ketika secara sosial dianggap menyimpang, maka pelakunya sendiri juga sadar bahwa hal tersebut menyimpang. Kemungkinan bentuk reaksinya ada dua: mengubah diri atau memuaskan dorongan seksualnya secara diam-diam. Keputusan yang diambil oleh pelaku di JIS adalah memuaskan dorongan seksualnya secara diam-diam. Ini tidak legal dan disebut sebagai tindakan kekerasan secara hukum.
Bagaimana dengan term kekerasan seksual? Berkenaan dengan term ini, kita bisa membahasnya dari sudut padang biologis dan sosial, yang kesemuanya berkaitan dengan dampak psikologis pada anak. Mari kita lanjutkan pembahasannya.
Secara biologis, sebelum pubertas, organ-organ fital anak tidak disiapkan untuk melakukan hubungan intim, apalagi untuk organ yang memang tidak ditujukan untuk hubungan intim. Jika dipaksakan, maka tindakan tersebut akan merusak jaringan. Ketika terjadi kerusakan secara fisik, maka telah terjadi tindak kekerasan.
Bagaimana dengan sudut pandang sosial? Karena dorongan seksual dilampiaskan secara sembunyi-sembunyi, tentu saja pelaku tidak ingin diketahui oleh orang lain. Untuk itulah, pelaku akan berusaha membuat anak yang menjadi sasaran ‘tutup mulut’. Salah satu cara yang paling mungkin dilakukan adalah dengan melakukan intimidasi. Ketika anak diancam, maka saat itu juga secara alami tubuh anak juga melakukan pertahanan atau penolakan. Ketika secara biologis tubuh anak menolak, maka paksaan yang dilakukan oleh seorang pedophil akan semakin menimbulkan cedera dan kesakitan. Saat itu berarti terjadi kekerasan.
Rasa sakit dan ancaman ini tentu saja menjadi pengalaman traumatis bagi anak. Anak akan selalu mengalami perasaan tercekam sampai ia mengatakannya. Sedangkan untuk mengatakan, anak selalu dihantui oleh intimidasi dan ancaman dari pelaku. Karena itu, rasa sakit dan intimidasi juga menjadi kekerasan psikologis bagi anak.
Begitulah kekerasan seksual pada anak di mata psikologi. Pedophilia (apalagi dengan sodomi) adalah bentuk kekerasan atau pelanggaran hukum, dan juga merupakan bentuk kekerasan seksual yang melukai fisik maupun psikis.
Apa pendapatmu tentang perilaku seksual para pedophil di JIS?
2 responses to “Kekerasan Seksual pada Anak di Mata Psikologi”
Pak, saya ingin menanyakan pendapat Bapak mengenai kekerasan seksual pada anak, apakah kasus tersebut berhubungan dengan teori well being ataukah fenomenologis yang dibahas dalam Psikologi Humanistik ? Terima kasih sebelumnya Pak 🙂
Bisa saja berhubungan dengan dua-duanya