Memahami AKU sebagai Pondasi Menjalani Hidup


Pilar utama atau pondasi menjalani hidup dan memperoleh makna darinya adalah dengan memahami diri.

Sumber Gambar: breakyourshackles.com

Hari ini kelas Psikologi Humanistik kembali digeber. Beberapa menit menjelang jam masuk kelas, aku intip desain, apakah yang harus aku sampaikan atau aku pandu kali ini.

Psikologi Humanistik dibagi menjadi tiga kelas, dua kelas di hari Senin dan satu lagi di hari Rabu. Karena hari ini Senin, maka ada dua kelas. Awalnya berniat ke kelas yang biasanya aku pandu, tapi karena todongan dari teman-teman mahasiswa dan anjuran dari salah seorang teman pengajar, maka aku memandu kelas yang tidak biasanya.

Tersiar kabar bahwa dosen yang kelas satunya sedang tidak ada di tempat dan akan telat sekitar 20 menitan. Karena mahasiswa masih tercecer di depan ruangan, maka bertemulah aku dengan penghuni kedua kelas itu yang sama-sama minta diajar. Akhirnya tetap harus memilih, aku masuk kelas yang tak biasa ku pandu.

Aku bilang kepada mereka, ada dua pertanyaan sehubungan dengan pemilihan kelas yang aku pandu. Pertanyaan pertama adalah, kenapa aku mengajar Psikologi Humanistik? Kalau itu sih sudah terjawab, ya karena harus mengajar. Pertanyaan kedua, kenapa aku mengajar Psikologi Humanistik di kelas ini? Karena aku tidak bisa mengelak telah diminta langsung oleh mereka yang di belakang sana. Aku merasa terhormat. Ini adalah bentuk apresiasi untuk mahasiswa yang dengan sadar lebih memilihku untuk mengajar mereka.

Aku bilang lagi kepada mereka. Sebenarnya aku mengajar di kelas ini atau kelas sebelah, sama-sama tidak menguntungkannya. Ups, nyaris salah paham. Maksudku, sama-sama tidak menguntungkannya buat mereka, mahasiswa. Kenapa? Karena aku baru 5 menit yang lalu melihat desain belajar hari itu hihi.

Di desain, aku melihat bahwa hari ini akan belajar tentang Fenomenologi. Aku bilang ke mahasiswa bahwa belajar Fenomenologi itu menantang. Hem, karena menantang, maka tantangan kalau dituliskan di sini tak akan begitu terasa. Makanya aku tidak akan membahas tentang teori, tapi akan aku ceritakan saja prosesnya.

Rincian bahan belajar yang ada di desain hari ini adalah tentang pendekatan Fenomenologi atas perilaku manusia, yaitu tentang bracketing dan intensionalitas. Juga mempelajari tentang holisme dan reduksionisme. Terdengar berat bukan? Karena itulah, aku tulis saja tentang prosesnya.

Mahasiswa aku minta mengeluarkan alat tulis dan kertas. Yang perlu mereka lakukan adalah membuat cerita yang terdiri dari 3 paragraf. Setiap paragraf paling tidak ada 6-7 kalimat. Cerita tentang apa? Ceritanya bertema AKU.

Kenapa cerita tentang AKU? Karena dalam setiap pembelajaran, aku tetap berpegang pada pembentukan manusia utuh dalam hidupnya. Ada 4 hal yang perlu dibentuk: pengenalan diri, pengelolaan diri, pengenalan lingkungan dan manajemen relasi. Nah, mengenali diri adalah pijakan yang pertama.

Dalam waktu 15 menit mereka membuat cerita tentang AKU. Ada yang judulnya AKU ada pula yang judulnya, “Aku adalah Pohon”, “Tentangku”, “Spontan” dan sebagainya. Ceritanya juga menarik. Ketika proses menulis, aku baca beberapa. Ada yang sangat sensing (indrawi), ada juga yang sangat intuitif dan imajinatif.

Setelah mereka selesai menulis ceritanya. Aku minta mereka bikin kelomok dengan jumlah 5-6 orang. Aku berikan kesempatan untuk membaca lagi, review apakah ceritanya sudah diyakini atau apakah ceritanya sudah boleh dibaca orang lain. Setelah yakin, merkea akan memutar ceritanya ke samping.

Setiap orang diberikan kesempatan membaca cerita temannya selama 2 menit. Ketika membaca, mereka boleh melakukan 2 hal, menambahi jika menurut mereka masih kuran atau memberi tanda yang, ehm… dalam bahasa mudahnya, “Bo’ong banget!”. Mereka memberikan tanda dengan mengurung atau menggarisbawahi bagian yang dinilai tidak sesuai tersebut. Mereka memberikan catatan terhadap hal tersebut. Salah satu dari anggota kelompok menjadi time keeper.

Setelah 1 putaran, cerita kembali kepada pemliknya, mahasiswa telah memperoleh AKU dialogis. Selain dalam diri mereka harus meyakini, menyadari sesadar-sadarnya tentang diri, ternyata ada beberapa hal baru atau berbeda tentang dirinya yang berasal dari lingkungan.

Aktivitas ini menggambarkan bahwa ada perubahan intensionalitas kesadaran. Pada tulisan sebelumnya, sudah kita bahas tentang “kesadaran akan…”, yaitu kesadaran yang berintensi, karena kesadaran tidak pernah kosong. Mahasiswa memainkan kesadaran pada ruang dan waktu. Mereka bisa menuliskan tentang dirinya atau menuliskan apa yang diasumsikan tentang dirinya. Mahasiswa yang menuliskan “Aku adalah pohon” pasti menggunakan waktu tertentu untuk memindahkan ruang, dari diri kepada pohon. Kesadarannya sudah beralih atau berpindah intensi. Orang awam mengatakan tidak sadar atau kesadarannya turun.

Karena kesadaran itu punya intensi, maka AKU itu mengada, bukan sekedar ada. Untuk mengetahui adanya, maka sesuatu tentang AKU harus dimasukkan dalam tanda kurung. Ini dilakukan dalam upaya melakukan reduksi agar keseluruhan bisa diketahui.

Lucu ya, reduksi digunakan untuk mengetahui keseluruhan? Iya, begitulah caranya, karena dengan mengetahui esensi dari sesuatu, maka kita perlu menempatkannya pada eksistensinya yang original.

Nah, dengan cerita tentang AKU, mahasiswa mengetahui dirinya, baik yang dipersepsikan atau yang dianggap sesungguhnya. Paling tidak, dari aktivitas tersebut mahasiswa mengetahui tentang kesadaran, intensi, bracketing, reduksionisme dan holisme.

Terakhir, karena diri itu mengada, dan tidak sekedar ada, maka mahasiswa boleh membingkai cerita tentang AKU. Barangkali saja ketika esok hari mereka membaca, diri sudah mulai berubah.

Bagaimana cerita tentang dirimu?

 


2 responses to “Memahami AKU sebagai Pondasi Menjalani Hidup”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *