Sakit itu seperti sehat. Bisa dibilang, sakit itu sisi lain dari sehat. Karena itu, sakit punya posisi yang sama dengan sehat. Kondisi sehat dan sakit juga dipengaruhi bagaimana kita melihat kedua hal tersebut. Nah, bagaimana jika kita melihat sakit seperti kita memandang sehat? Yuk belajar paradoxical intention!
Hari ini bisa dbilang badan lagi remeg. Beberapa hari di perjalanan Bali menuju Lumajang, semalam di sana langsung meluncur ke Sidoarjo, terus putar-putar banyak keperluan di Surabaya. Begitu melanjutkan menuntaskan urusan di Sidoarjo, motor ditendang dari belakang oleh pengemudi yang tak melihat shine kananku dan muncul dari kiri langsung menyambar dari kanan. Terpelanting dan jatuh. Lengkaplah ‘kisah’ hari itu.
Malamnya baru mulai kerasa sakit dari benturan yang diakhiri dengan salaman antar dua pengendara. Malam kedua ini pergelangan tangan dan punggung terasa sakit, terutama jika dibungkukkan. Karena itulah tiap aku bergerak membungkuk, aku selalu bilang “Wadauh!”.
Karena tiap kali merunduk selalu bilang “Wadauh!”, maka aku coba sengaja membungkuk dan sengaja bilang “Wadauh!”. Sakit itu tetap terasa, awalnya. Setelah aku lakukan beberapa kali, aku jadi lebih memperhatikan kata “Wadauh!” dan timing atau waktu mengatakan “Wadauh!”.
Ketika aku waspada pada rasa sakti dan kata “Wadauh!” sebagai reaksinya, ada kelucuan hubungan antar keduanya. Karena itulah aku selalu tersenyum menyadari pasangan kata “Wadauh!” dan rasa sakit itu. Apa efeknya? Sakitnya jadi berasa terkurangi.
Kok bisa seperti itu ya? Ini adalah usaha penyembuhan yang mirip dengan salah satu metode terapi yang oleh Victor Frankl, seorang terapis eksistensial, disebut dengan paradoxical intention. Aku bilang mirip, karena memang tidak sama persis. Paradoxical intention biasanya digunakan untuk menyembuhkan reaksi yang irasional dari emosi yang dialami oleh klien. Lalu apa yang mirip?
Paradoxical intention dilakukan dengan cara menekankan emosi (tidak nyaman) yang dialami oleh klien, agar klien tersebut sadar bahwa reaksi yang ditimbulkan oleh emosinya tersebut tidak rasional. Jadi, paradoxical intention justru menguatkan emosi tersebut, bukan menghilangkannya. Nah, ketika klien menyadari bahwa reaksinya tidak rasional, diharapkan ia akan meredakan sendiri emosinya.
Kalau di buku yang pernah aku baca, contoh yang digunakan adalah seseorang yang phobia keringat. Oleh seorang terapis, ia diminta menghitung berapa banyak keringat yang keluar setiap satu menit (kalau tidak salah begitu). Seharunya kan orang tersebut semakin takut, karena diminta memperhatikan keringat. Tapi klien itu bukan konsentrasi terhadap rasa takutnya, tetapi pada jumlah keringatnya. Ada yang pernah baca tentang ini tidak?
Jadi ingat, cara ini pernah aku gunakan ketika aku memegang seorang klien yang mengalami depresi dan halusinasi. Klien ini takut pada sosok yang menyeramkan. Aku minta ia menggambarkan sosok tersebut. Aku minta menceritakan perasaannya. Aku minta ia menunjuk bagian mana yang membuatnya takut. Setelah ia menunjuk, aku tambahi bagian tersebut coretan, sehingga tampak lucu. Ini ku lakukan terus menerus sampai ia benar-benar merasakan bahwa gambar tersebut lucu. Aku berharap ada kelucuan yang dilekatkan pada sosok yang ia takuti.
Begitulah sekilas tentang terapi diri dengan menertawakan rasa sakit, atau dalam hal ini adalah paradoxical intention. Cara ini bisa dikreasikan dengan teknik yang berbeda, tetapi tetap menggunakan prinsip yang sama, seperti contoh yang berbeda-beda di tulisan ini.
Apakah Kamu tertarik untuk mencobanya? Bagaimana teknik yang akan Kamu lakukan?
Ingin diskusi dengan saya? Silahkan follow @rudicahyo
6 responses to “Paradoxical Intention, Terapi Diri dengan Menertawakan Rasa Sakit”
hallo mas, bisa gk dibilang kalo paradoxical intention ini mendistorsi emosi yang tidak rasional itu ? ini sama gak dengan desintisasi mas (kalo gak slah, slah satu teknik mngatasi phobia)
Tidak sama.
Paradoxical intention mengubah fokusnya. Kalau desensitisasi fokusnya tetap, cuma diberikan setahap demi setahap
paradoxial intention membuat individu menginginkan apa yg ditakuti, bs di bilang hampir sama dengan flooding, bukan SD krn stimulusnya diberikan tidak bertahap tapi sekaligus.
yg mengubah fokus setau saya teknik de-reflection bukan paradoxial intention. yg awalnya memfokuskan ke diri sendiri, di ubah fokusnya jadi ke yang lain.
tq
Kata kuncinya di intensi yang paradox. Teknik ini biasanya digunakan untuk menerapi gangguan spesifik, seperti phobia atau obsesif kompulsif. Flooding itu memberikan stimulus yang tidak diharapkan oleh subjek dengan maksud agar stimulus tersebut menjadi familiar buat dia, tetapi diberikan secara sekaligus. Sementara de-reflection mengubah fokus kepada hal yang positif. Hal ini jauh lebih luas dan mendalam, karena memanfaatkan kemampuan transendensi, misalnya membantu klien untuk fokus kepada potensi dan nilai-nilainya dia yang selama ini tidak diperhatikan.
mas, teknik ini berarti bisa untuk meningkatkan rasa percaya diri siswa?
InshaaAlloh bisa Bu Mayangsari