Pembentukan karakter dapat melalui berbagai cara dan bermacam arah. Karakter bisa dibentuk dari dalam dan/atau dari luar diri. Karakter dapat terbentuk melalui peristiwa atau pengalaman. Begitu juga pembentukan karakter yang dialami tokoh di film Joker. Tidak terkecuali pembentukan karakter yang dialami oleh para penonton filmnya, Joker. Bagaimana sudut pandang psikologi dalam melihat pembentukan karakter di film Joker?
Sudah nonton film Joker by Warner Bros? Film yang disutradarai oleh Todd Phillips ini bercerita tentang tokoh yang bernama Arthur Fleck (Joaquin Phoenix). Pemuda berusia 40 tahun ini sejak kecil ingin menjadi pelawak. Namun tekanan hidup, penderitaan, dan kesediahan tidak memberikan kesempatan baginya untuk menjadi seseorang lucu. Sampai ia berpendapat bahwa hidupnya yang berupa tragedi adalah sebuah komedi. Selain tekanan situasi yang dihadapi, Arthur juga menderita kelainan otak yang membuatnya bertingkah seperti ‘orang gila’, yaitu dapat tertawa secara tiba-tiba, meskipun situasinya tidak tepat untuk tertawa. Selain itu, ia juga menderita sindroma delusional yang membuatnya seolah mengalami sesuatu yang nyata, padahal hal tersebut tidak pernah terjadi.
Sebelum dilanjutkan membahas tentang film Joker ini, marilah kita flash back untuk kembali mengenang Joker di film The Dark Knight. Dua tokoh Joker, baik di The Dark Knight maupun di film terbarunya ini, sama-sama berhasil. Bahkan film The Dark Knight berhasil menempatkan Joker sebagai figur sentral melebihi tokoh Batman. Beberapa tindakan kriminal yang saat itu terjadi juga dikaitkan dengan keberhasilan Joker dalam mempengaruhi. penontonnya. Karena itulah, film Joker yang baru mendapatkan protes dari masyarakat karena kekhawatiran akan membentuk pribadi yang negatif dan kriminal.
Protes masyarakat sudah diklarifikasi oleh Warner Bros bahwa tidak ada niat sama sekali untuk membuat orang menjadi kriminal melalui film Joker, atau lebih tepatnya melalui tokoh Joker. Meskipun sudah diberikan penjelasan oleh si pembuat film, saya akan memberikan pendapat saya sebagai pentonon yang sekaligus psikolog.
Joker di The Dark Knight telah berhasil membentuk karakter penontonnya, namun sebenarnya ia tidak menunjukkan pembentukan karakter dari tokonya, Si Joker. Film The Dark Knight merupakan film dengan tempo yang cepat dan tensi yang cukup tinggi, nyaris di sepanjang film berusaha menjaga ketegangan penonton tetap tinggi. The Dark Knight lebih menyuguhkan paradoks antara baik dan buruk atau jahat, antara hasrat hidup dan menghidupi (eros) dan hasrat mati atau menghancurkan (tanathos). Hasrat menghidupi diwakili oleh Batman dan hasrat menghancurkan diwakili oleh Joker. The Dark Knight tidak memberikan kesempatan penonton mengenali Joker lebih dalam, selain sebagai tokoh yang mewakili hasrat menghancurkan.
Bagaimana dengan film Joker yang baru, yang menceritakan sejarah tokoh Joker beserta karakternya? Film ini menceritakan kembali asal muasal tokoh Joker yang berawal dari seseorang yang bernama Arthur Fleck. Pembentukan karakter diceritakan secara detil (meskipun kadang terlampau dramatis dan simbolis) di film ini. Satu sisi bisa jadi bahan refleksi bagi orang-orang yang mengalami nasib yang sama dengan Arthur, dan memang masih mengkhawarikan menimbulkan efek modeling sebagai bentuk pembenaran kesamaan nasib.
Namun demikian, film Joker memberikan kesempatan penonton untuk berefleksi secara mendalam untuk mencermati setiap detil pengalaman Arthur sebelum menjadi Joker. Pengalaman tersebut memberkan peluang kepada penonton untuk melihat perbedaan dirinya dengan Arthur yang dilandasi oleh prinsip individual differences. Karena itu, film ini justru malah menyuguhkan kemungkinan penawar atas dampak film The Dark Knight. Orang diajak untuk berempati sekaligus melihat detil-detil perbedaan Arthur dengan dirinya. Dengan demikian, ketika orang berpikir mengidentifikasi dirinya sebagai Joker, pada saat yang sama ia harus berpikir ulang bahwa Joker mengalami situasi dan kondisi yang berbeda, Joker memiliki gangguan kejiwaan delusional. JIka seseorang mengidentifikasi dirinya sebagai Joker, maka sebenarnya ia sedang mengakui dirinya mengalami gangguan delusional. Adakah yang berpikir demikian? Saya kira pemberian kesempatan untuk berpikir ini malah membuat orang menempatkan kesadarannya pada level yang lebih tinggi, dibandingkan dengan ‘pukulan bertubi-tubi’ dari film The Dark Knight.
Demikian review sekaligus analisis saya terhadap film Joker. Namun jika memang masih tersirat kekhawatiran bahwa mungkin terjadi pembenaran untuk melakukan tindakan yang sama karena bernasib serupa (kurang beruntung secara sosial ekonomi), maka silahkan di-share kekhawatiran Kamu dengan menuliskannya di kolom komentar di bawah artikel ini, agar kita bisa berdiskusi untuk mencari cara mengantisipasi segala dampak yang tidak baik dari film Joker. Terimakasih telah membaca, dan semoga bermanfaat.