Work-Life Balance Apakah Sebuah Fatamorgana?
Oktober 13, 2023 . by rudicahyo . in Psikologi, Psikologi Populer . 0 Comments
Work-Life Balance, sebagaimana berbagai konsep ideal lainnya, selalu terbentur oleh kenyataan yang lebih sering tak mengijinkan. Pada akhirnya itu semua adalah pilihan, yang mengandung konsekuensi yang harus siap diikhlaskan.
Work-Life Balance di Tepi Kolam Renang
Hari ini saya ingin berbicara tentang work-life balance. Saya tidak akan membahas tentang konsep maupun banyak teori. Saya hanya ingin berbagi obrolan saya dengan istri, ibunya anak-anak.
Saat itu Hari Minggu. Ini adalah jadwal dua anak saya les berenang. Sambil menunggu mereka di dekat kolam, sambil menikmati gorengan dan teh hanget, saya dan istri membicarakan tentang hidup, tentang porsi dalam perhatian dan pencurahan energi.
Sebenarnya kami tidak terbiasa berbicara tentang sesuatu yang serius. Hidup kami sehari-hari, di luar rumah, sudah terlampau serius. Saya selalu menggunakan kesempatan bertemu dengan istri dan anak-anak sebagai tempat untuk bersenda gurau, bersuka cita, membicarakan banyak hal yang tidak penting. Apakah ‘hidup kami’ memang tidak sepenting itu?
Sebenarnya kita juga punya bahak diskusi dalam keseharian. Kadang kita membicarakan tentang perkembangan politik, masalah capres dan cawapres, tentang pandangan dan keyakinan. Tapi itu semua hanya sebuah obrolan sampingan. Banyak inti dari obrolan kita adalah gurauan. Atau kalau sedang seriius, ya selalu ada saja cara atau bungkus candaan di dalamnya.
Hari ini akan berbeda ketika kita berbicara tentang porsi energi yang dicurahkan untuk kehidupan. Istri saya sebenarnya sering membicarakan tentang capaian saya di tempat kerja, tentang melanjutkan kuliah, tentang kenaikan pangkat, tentang prestasi dan penghargaan, tentang pemenuhan kewajiban akademik dan saintifik.
Kal ini adalah kesempatan saya untuk mengupasnya secara lebih serius. Saya bilang kepada istri saya,
“Aku memang bukan orang dengan orientasi achievement yang kuat. Aku lebih cenderung peaceful dan menjalani hidup dengan harmoni”
Ungkapan saya ini bukan tanpa awalan. Sebenarnya antesedennya bukan tentang banyak pertanyaan istri saya tentang kinerja. Awalnya kami membahas tentang karakter si adek yang cenderung tidak fight dalam kompetisi. Ketika ada kata kompetisi atau ujian, nyalinya ciut. Satu sisi ini memang sesuatu yagn negatif. Bagaimanapun anak harus punya daya juang, apalagi jika lingkungannya mulai mengharuskan begitu.
Saat ini si adek baru masu kelas 1 SD. Memang sudah sewajarnya lingkungannya mulai ada unsur kompetisi dan diuji. Namun kami memang punya kebiasaan untuk tidak membebani anak, apalagi tentang akademik. Meskipun ujian buat kami muncul ketika dari gurunya ada himbauan ini itu dan kadang temannya lebih dalam hal ini itu. Tapi pada akhirnya, kita cencerung menjaga kondisi pikirannya tetap relax. Kami hanya ingin, upaya anak dalam mencapai prestasinya lebih didorong karena ia butuh dan menginginkannya, bukan karena orang lain melakukannya. Saya sadar, ini adalah ujian dalam membangkitkan motivasi internalnya. Inilah yang lebih mirip dengan saya.
Kembali kepada obrolan saya dengan istri tentang kinerja. Saya melanjutkan,
“Jangan khawatir, sejauh ini aku selalu menjaga kinerja pada pencapaian yang seharusnya, namun memang tidak lebih. Ini adalah pilihan sadar, karena aku harus memberikan porsi untuk tetap memperhatikan anak-anak. Aku tidak ingin melewatkan masa-masa ketika mereka bertumbuh”
Entah kenapa, biasanya istri saya mendebat dulu, apapun pendapat saya. Tapi kal ini dia mengangguk, matanya terlihat begitu teduh dan damai. Penjelasan saya seperti pembasuh yang menjawab sekain pertanyaannya tentang prestasi. Aku melanjutkan lagi,
“Lebih jauh lagi, aku hanya ingin menjaga keluarga kita tetap bahagia, sejak dari hati. Aku sudah memperhitungkan segala konsekuensi. Pada akhirnya ini adalah sebuah pilihan. Mungkin capaianku tidak mentereng, tapi aku masih terus bisa melihat dan memastikan istri dan anak-anakku selalu tersenyum bahagia.”
Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, kadang godaannya bisa datang dari pertanyaan orang terdekat atau dari berbagai capaian yang diperoleh teman-teman kita. Karena itu, muncullah pertanyaan, apakah work-life balance adalah fatamorgana?
Work-Life Balance di Kelas Functional Invariant
Saya akan beranjak ke cerita lain di kelas Functional Invariant. Tenang, cerita di kelas ini masih punya benang merah dengan cerita di tepi kolam renang.
Hari ini saya mengajar kelas internasional dengan topik tentang functional invariant, konsep belajar dari Jean Piaget. Functional Invarian adalah proses untuk mengupayakan keseimbangan dalam belajar. Terjadi proses penyeimbangan antara asimilasi dan akomodasi, hingga kita memiliki pengetahuan tentang sesuai.
Functional Invariant tidak pernah berhenti. Kalaupun orang sudah mencapai keseimbangan dengan menerima sebuah pengetahuan baru, akan datang masa ia disuguhkan objek baru lagi yang menantang pengetahuan sebelumnya. Untuk pembahasan detil tentang functional invariant, boleh dibaca di sini.
Bagaimana Sesungguhnya Work-Life Balance?
Jika kita hubungkan dengan konsep work-life balance, kita dapat menyoroti tentang keseimbangan sementara, sebagaimana yang equilibrasi dalam functional invariant. Terhadi titik equilibrium sementara, sebelum kemudian disuguhkan dengan objek baru yang harus dipelajari. Begitu juga dengan work-life balance yang akan selalu tidak stabil. Kadang porsinya berat ke ‘work’, namun di waktu yang lain kadang juga tersedot ke ‘life’. Ketika kita terjebak dalam pekerjaan, maka luupalah dengan kehidupan pribadi kita, termasuk keluarga. Begitu juga kadang kita larut dalam urusan pribadi, dan kemudian menjadi tertatih-tatih dengan tugas dan tenggat waktu yang mengejar-ngejar.
Memang tidak gampang menyeimbangkan atau menjaga keseimbangannya. Namun prinsip yang perlu dipegang adalah:
1. Seimbang bukan berarti harus sama porsinya
Ini seperit prinsip keadilan atau balancing dalam seni. Adil bukan berarti harus sama, seperti ketika kita membelikan baju dengan ukuran yang sama untuk kedua anak kita, sedangkan si kakak sudah beranjak remaja dan si adek masih balita. Begitu juga dalam seni, keseimbangan bukan berarti haru sama. Tentu kita mengenal tentang konsep asimetris dalam seni.
2. Tentukan prinsip kita tentang porsinya
Melanjutkan penjelasan tentang keseimbangan, kita harus memilih dan siap dengan konsekuensinya. Ketika kita ingin menjadi orang yang porsi kerja lebih besar, maka harus siap dengan berbagai konsekuensinya. Begitu juga dengan yang lebih memilih keluarga yang menjadi orientasinya, harus sisap dengan akibat dari pilihannya.
3. Ikhlaskan berbagai konsekuensinya
Ketika kita sudah menentukan pilihan dan memperhitungkan konsekuensinya, saatnya menjadi ikhlas dengan dampak tersebut. Seperti sudah saya singgung sebelumnya, pasti sebuah pilihan akan mengandung godaan-godaan. Ketika memilih urusan pribadi, maka akan ada banyak ujian, misalnya prestasi kerja, penerimaan orang lain, dan sebagainya. Begitu juga ketika memilih pekerjaan, maka sangat mungkin timbul berbagai keluhan di rumah, anak yang merengek akan kehadiran orang tuanya, dan sebagainya.
Sebagaimana yang selalu saya ulang-ulang, pada akhirnya hidup adalah pilihan. Yang terpenting adalah kita tegas memilih, siap dengan konsekuensinya, serta mengikhlaskannya.
Tag: balance, psikologi, psychology, work-life balance