Ini analisis post strukturalisme tentang angka dan tuhan. Agak berat. Jadi kalau belum siap, mending tidak usah membacanya. Selamat menikmati!
Angka. Ringan sekali menyebutnya, namun lebih besar pengaruhnya dalam menjaring kepercayaan. Mengucap kata “angka” memang lebih ringan daripada kata “tuhan”. Mungkin bisa dikarenakan kata “angka” diawali dan diakhiri dengan vokal yang sama, sehingga dengan hanya dua kosa kata saja, bunyi a lebih mendominasi dari pengucapan ang maupun ka. Fungsi huruf mati ng (sebagai peleburan dari n dan g yang menjadi eng) hanya diucapkan pada posisi mati. ng memang sedikit kuat pada kosa kata ang, tetapi dilemahkan karena a pada ang dibacking oleh kekuatan a akhir pada ka. Untuk kosa kata ka sendiri, konsonan yang semivokal dan disepakati sebagai ka, sebenarnya tidak membutuhkan a. Namun karena diikat oleh kosa kata ang dalam kata “angka”, yang selanjutnya diperkuat (lagi-lagi oleh konvensi) dengan makna yang ditunjuk (ciri bahasa manusia yang ke-7: kebermaknaan), maka tidak mungkin hanya ditulis angk kalau tidak ingin menjadi angek
Pada sisi lain, kata “tuhan” lebih merepotkan karena diawali konsonan t dan diakhiri konsonan n yang keduanya membutuhkan tenaga tambahan lagi ketika pengucapannya tidak menurut fonim semivokalnya. Misalnya saja “tuhan” menjadi tahan, tuhen, atau bahkan tahen. Kelelahan pengucapan ini ternyata masih bisa diperingan karena konsonan ha sudah memenuhi semivokalnya. Memang ketika dirangkai dengan huruf lain, semivokal dengan bunyi vokal di belakang lebih ringan dan mudah daripada di depan. Hal ini bisa dikarenakan kesepakatan untuk bunyi vokal mengikuti konsonan (semivokal) lebih banyak daripada yang bunyi vokalnya mendahului (berbanding 12:6, vokal 5, huruf yang lebih kompleks 3, yaitu q, x, z).
Kenapa harus “angka” dan “tuhan”? Sebelum menjawabnya, mari kita tinjau arti kata “angka” dan juga kata “tuhan”. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, “angka” diartikan tanda atau tulisan sebagai pengganti bilangan (Poerwadarminta, 1984). Sedangkan kata “tuhan” dalam kamus yang sama diartikan Allah, Tuhan Allah, Allah; Tuhan Yang Esa, Allah yang hanya satu. Lalu apa hubungan antara keduanya?
Dilihat dari artinya, kedua kata terebut memang tidak ada hubungannya blabar pisan. Tapi apa yang tidak bisa dihubung-hubungkan pada jaman sekarang. Hubungan ini bukan cuma hubungan yang stagnan, hanya mentok sampai pada tingkat “ketemu”, seperti detektif yang mencari penitinya sendiri karena lupa tempat menaruhnya. Bukan juga hubungan seperti pada kebanyakan skripsi yang hanya mengait-ngaitkan (kalau tidak membandingkan) antara pikiran, perasaan, dan perbuatan. Seperti juga kawan Dauz yang menghubung-hubungkan antara cinta dan sendal jepit sebagai usaha menjawab bahwa semua bisa dihubungkan kalau kita mau. Namun di sini tidak akan sekedar membolak-balik antara “kata tuhan” dan “Tuhan (ber)kata”. Di sini akan coba membahas unsur kebermaknaan yang pragmatis-fungsional dari bahasa yang akhirnya juga mengarah kepada ciri ke-6 (spesialisasi) dari bahasa manusia. Spesialisasi adalah efek bahasa yang dengan daya kecil menghasilkan dampak yang besar, baik fisik maupun psikis.
Dari sinilah hubungan antara “angka” dan “tuhan” dapat dirunut. Sementara kata “tuhan” kita biarkan dulu sendirian, mari kita bahas tentang “angka”. Seperti pada paragraf awal tuisan ini, angka mempunyai efek dalam menjerat pengikut untuk mempercayainya. Banyak hal hanya bisa dianggap meyakinkan kalau sudah dikuantifikasikan dalam angka-angka. Penelitian misalnya, kuantitatif dianggap lebih meyakinkan daripada kualitatif, meskipun tidak lebih sangar (katanya sih). Buku-buku juga lebih laris manis dengan judul yang memanfaatkan kekuatan angka-angka: 10 Kiat Meraih Sukses, Meningkatkan Kemampuan Otak Dua Kali Lipat Hanya dalam Waktu 24 Jam, 6 Jurus Meruntuhkan Hati Lawan Jenis dan lain-lain. Contoh yang paling dekat dengan kita adalah dalam bidang akademis. Ternyata angka (baca nilai) masih memegang pengaruh melebihi kualitas hasil belajar yang berupa kepintaran.
Dari uraian yang boros kata-kata di atas, dalam menghubungkan “angka” dengan “tuhan” mungkin cukup dengan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya hanya perlu dirasakan untuk akhirnya bisa menghubungkan atau membandingkan “angka” dengan “tuhan”. Apakah yang Anda rasakan ketika nilai Anda A, AB, B, BC, C, CD, D, DE, atau E (memang ada nilai seperti itu? J) yang sumbernya juga dari kategori angka-angka? Di sisi lain, bagaimana perasaan Anda ketika hari kemarin Anda nyontek atau tidak nyontek (nyontek dapat A= yess, berhasil nyontek; tidak nyontek dapat E=sial, kenapa dulu nggak nyontek saja). Tapi yang lebih ditekankan adalah pada perbandingan perasaannya (senang atau sedih) ketika berhubugan dengan angka dan ketika berhubungan dengan Tuhan. Bagaimanapun dalam menghubungkan tergantung pada tingkat bagaimana Anda merasakan.
Keperkasaan angka-angka yang menjurus pada dominasi tidak sepenuhnya salah konsumen (baca siswa atau mahasiswa), tapi juga diperkuat oleh kokohnya sistem yang menanamkan mental “angka tuhan”. Dengan otoritasnya, sistem membangun anggapan bahwa A lebih pintar daripada E, tanpa melihat isi di balik A atau E tersebut. Penulis tidak bermaksud mengatakan angka telah dipertuhan. So, think it by your self!
_______________
Tulisan ini berasal dari mosaic-learning.blogspot.com