Di jaman sekarang ini semakin banyak dosen yang membangun kesetaraan atau egaliter dengan mahasiswanya. Meskipun juga ada banyak sisa dari generasi sebelumnya yang kebiasaannya diwariskan kepada anak muda setelahnya. Padahal kebaiasaan lama itu dapat merugikan. Bagaimana dengan budaya kesetaraan?
Tulisan kali ini lebih kepada catatan pribadi, tulisan bebas seorang dosen mengenai keyakinannya tentang relasi dengan mahasiswa. Relasi yang dimaksud adalah relasi yang setara. Kenapa harus setara?
Meskipun ada banyak generasi dosen sebelumnya yang lebih mempercayai jarak sebagai bagian dari wibawa, aku lebih suka mendekat dan membangun kedekatan dengan mahasiswa. Banyak dosen yang takut mahasiswa akan ngelunjak dan ngelamak, tapi aku lebih memilih resiko untuk menerjangnya. Kenapa?
Membangun kesetaraan memang banyak yang dipertaruhkan. Tidak hanya soal kemungkinan mahasiswa akan bersikap tidak sopan, tetapi juga membuka peluang bagi mereka untuk mengetahui ‘dapaur’ kita. Maksudnya, mereka akan tahu segala kelebihan dan kekurangan kita. Sedangkan jika mahasiswa tahu kekurangan dosen, maka yang ditakutkan, mereka tidak lagi percaya atau malah kita jadi bahan bully-an.
Kalau aku kok ya berkeyakinan tidak seperti itu. Aku tidak peraya mahasiswa akan melakukan itu. Buat aku, kesetaraan akan membangun kedekatan. Dan kedekatan akan memunculkan respect. Bahkan tentang kekurangan kita sebagai dosen, aku pernah bilang kepada mahasiswa, “Apa salahnya jika mahasiswa lebih tahu daripada dosennya (setidaknya tentang suatu hal). Karena tidak ada orang yang menguasai segalanya. Ada yang kita tidak tahu, sedangkan orang lain lebih tahu, begitu juga sebaliknya. Tidak ada salahnya jika dosen dan mahasiswa saling bertanya, saling memberi pengetahuan dan berlomba saling mencerahkan. Itu manusiawi”. Buktinya sikapku ini justru membuat mahasiswa menghormati dan menghargaiku.
Lebih dari itu, membangun kesetaraan dengan mahasiswa sengaja aku lakukan agar tidak ada residu. Dengan kesetaraan dan keterbukaan, mahasiswa tidak akan sungkan lagi mengemukakan pendapat, mendebat dan menunjukkan ketidaksetujuan. Hal ini penting, karena jika suatu saat aku salah, aku bisa segera diingatkan, karena dosen bukan dewa. Jika aku segera diingatkan, aku tidak akan menyisakan rasa ngganjel dan bersalah jika memang perkataan, sikap dan perbutanku berdampak (buruk) buat orang lain. Pada akhirnya, aku tidak akan meninggalkan dosa-dosa dunia ketika harus mempertanggungjawabkannya di alam sana.