Kamu suka menulis? Kalau tidak, sepertinya sudah tidak normal. Tenang tak perlu terprovokasi. Kamu baru membaca lead tulisan ini. Kalau di awal saja sudah terbakar emosi, bagaimana jika membaca isinya? Sekarang saatnya menulis buku.
Pernah ditanya, “Kamu suka menulis?”, dan Kamu menjawab ‘tidak’? Tidak ada persoalan dari tanya jawab ini. Ini menjadi bermasalah ketika si penanya bilang begini, “Helo…! hari gini tidak suka nulis?!”. Nah, ini baru mulai bikin kesel nih. Emang kalau nggak nulis bakalan mati? Tetanggaku yang nggak nulis saja masih bisa makan berlebih, tiap anggota keluarga punya mobil sendiri, dolannya ke luar negeri, cuman kalau mati aja nggak bisa ngubur sendiri.
Persoalannya bukan pada sukses atau tidaknya seseorang yang menulis buku. Bahkan kalau kita bicara penulis saja, tidak semua penulis bukunya masuk box office, eh best seller. Kalau mau menjawab pertanyaan, apakah jadi penulis bisa sukses, itu sama saja dengan pertanyaan, “Jika seorang anak sekolah dengan baik, apakah pada tahun 2072 dia akan pensiun dengan sejahtera?” (adaptasi dari pertanyaan Ken Robinson. Lihat videonya di sini). Sama tidak pastinya kan? Jadi bukan di situ masalahnya. Karena bukan, maka tak usah dipersoalkan. Lha terus?
Kalau bicara soal efek, pastinya ada keuntungan dalam menulis, mulai dari menuangkan ide, mudah mengingat gagasan, mengikatkan ilmu, mendokumentasikan pengetahuan, sampai pada efek terapinya, karena menulis adalah media ekspresi untuk menguraikan emosi. Nah, karena itulah, tanpa harus dihubungkan dengan kesejahteraan finansial, pernyataan “Hari gini nggak nulis?!” itu masih logis. Kenapa?
Untuk menulis, bahkan menuangkan ide dalam tulisan, kita punya media yang memudahkannya. Jaman sudah semakin canggih. Internet menyediakan diri untuk ditulisi eh. Kalau dulu kita butuh kertas dan seperangkat pena dengan tintanya, sekarang kita tinggal di depan layar dan menuangkannya, bukan tinta tentunya. Kita tinggal ngetik saja. Apa loe kata, tinggal ngetik saja?
Iya, kita punya media yang menjembatani ide sampai bisa diwujudkan dalam bentuk tulisan. Kalau dulu orang butuh bersemedi, mencari sumber dan membacanya sampai hampir mati, sekarang prosesnya bisa dibalik. Tuliskan saja yang ingin kita tuliskan, baru dipercantik dengan data dan pengayaan informasi. Apa media yang memungkinkan untuk itu? Yup, media social seperti twitter, facebook dan blog.
Dengan media sosial tersebut, proses lama sudah dibalik cara kerjanya. Kita dimungkinkan untuk menuliskan apa saja, baru kemudian dirapikan dan ditata. Jika mau dijadikan buku, rapikan saja dan tunjukkan nilai jualnya. Nilai jual ini tak hanya soal konten saja, tapi bagaimana popularitasnya di media maya (lha, istilah apa lagi ini).
Banyak para penulis sekarang yang populer dan punya buku yang diterbitkan oleh penerbit mainstream. Hanya saja, kalau mau popularitas buku tetap terjaga, ya sekalian marketing, isinya juga kudu keren. Inilah hasil sajian dari media sosial yang memungkinkan menjadikan ‘coretan’ jadi untaian kata bermakna nan enak dibaca.
Mari kita bahas cara kerjanya!
1. NgeTweet dan Update Status di facebook
Siapa yang tidak tahu kedua cemilan tersebut? Twitter dan facebook adalah tempat kita menulis pada awalnya. Bentuknya adalah tweet dan update status. Keterbatasan karakter membuat twitter dan facebook mengharuskan kita untuk kreatif membuat kalimat, agar idenya menjadi padat. Nah, dari sinilah tambang emas buat tulisan kita.
2. NgeBlog
Langkah selanjutnya adalah ngeblog. Blog adalah web dinamis yang memungkinkan kita melakukan posting tulisan secara berkala. Kamu punya blog? Duh, buruan bikin! Lalu, apakah dengan punya blog lantas membuat kita mudah menulis? Anggap saja tidak hahaha.
Eh, boleh juga dianggap mudah sih. Lho kok plan plin? Ya, jadi mudah kalau kita tak terbebani dengan menulisnya. Kalau blog itu milik kita, tentu hak kita untuk menulis apa saja. Itu yang membuat blog mempermudah.
Namun, masih banyak lho yang masih mikir lama sebelum menuliskannya. Ya, pertimbangan dibaca orang lain atau ada kecenderungan perfeksionis bisa juga menjadi penyakitnya (baca 5 Setan Penciptaan Ide dalam Menulis). Boleh deh, kita tak langsung menulis. Kita kumpulkan saja tweet-tweet atau status-status kita dengan tema yang sama. Lebih mudah lagi kalau tweet-nya bertagar (hashtag). Nahm tingal kasih judul di postinya, “Kumpulan Tweet tentang ………”. Nah, enak kan? Awas kalau jawab tidak.
Selanjutnya, kalau ada waktu, baru kita urutkan tweet atau status tersebut sesuai dengan alur tertentu. Alur ini bisa dibuat berdasarkan urutan peristiwa, hubungan sebab akibat (alur logika), atau didasarkan pada sub-sub tema. Peringatan, jangan menyusunnya berdasarkan urutan atau waktu ngetweet/update status. Kalau itu dilakukan, tetap saja tulisannya amburadul, kecuali jika diambilkan dari kultuit (kuliah lewat twitter).
3. Jadi Buku
Nah, kalau tulisan di blog sudah banyak, kita buatkan outline-nya, semacam daftar isi atau kerangka isi. Kita bisa membuat outline sesuai dengan ketersediaan tulisan. Dengan kata lain, outline menyesuaikan dengan tulisan yang sudah ada di blog kita. Atau kalau lebih pe-de, kita bisa langsung bikin outline, kemudian tulisan yang sudah ada di blog dimasukkan ke dalamnya. Hanya saja, cara terakhir ini masih memungkinkan ada kekurangan tulisan untuk sub judul/tema yang ada di outline. Nah, kekurangannya ini yang perlu ditambal dengan membuat tulisan lagi.
Namun demikian, tak terasa kita sudah menulis buku. Sekarang sudah siap deh untuk mencari penerbit atau boleh deh melalui penerbit online semacam nulisbuku atau dapurbuku. Sekarang Kamu sudah jadi penulis dan tambah cakep tentunya :).
Sudah siap jadi penulis? Atau masih ada yang perlu ditanyakan? Silahkan tulis di bagian komentar ya..
2 responses to “Dengan Social Media, Menulis Buku Kini Lebih Mudah”
[…] (bisa di blog atau buku catatan). Catatan dari berbagai sesi obrolan kemudian bisa disatukan untuk menjadi sebuah buku. Khusus bagi yang menulis di blog, ada dua pilihan untuk menjualnya, pilihan pertama yaitu melalui […]
Setuju, kini menulis buku lebih mudah