Efek drama dalam sebuah cerita tidak harus dikatakan dengan terang-terangan, misalnya “Aku sakit”, “Dia marah membabi buta” dan sejenisnya. Tapi juga bisa secara tidak langsung melalui representasi kata. Apa itu? Ayo belajar menulis cerita!
Hari ini kembali memfasilitasi belajar di kelas Psikologi Humanistik. Setiap Senin, mahasiswa belajar dengan cara presentasi hasil review cerita dari Buku Suara Bisu. Kali ini materinya adalah tentang Well Being dan cerita yang di-review adalah “Duaribu Limaratus”.
Kita tidak akan membahas tentang Well Being, ntar jadi pusing hehehe. Kali ini kita ngomong tentang cerita “Duaribu Limaratus” saja. Apakah mau diceritakan? Jangan, nanti bisa capek bacanya, panjang dan lama hehehe. Kita hanya akan bahas sebagian kecil dari cerita tersebut yang sempat disinggung ketika perkuliahan berlangsung.
Dalam “Duaribu Limaratus”, ada bagian cerita tentang perselingkuhan. Coba simak beberapa kalimat yang aku ambil dari cerita tersebut.
Parjo terkejut melihat sebuah Mercedes tua di halaman rumahnya.
Dipelototinya setiap sisi dari mobil tua yang masih kelihatan mengkilap itu.
Dua kalimat tersebut adalah bagian cerita yang mengisahkan adanya tamu seorang istri di rumah seorang tokoh bernama Parjo. Nah, mobil itu adalah milik tamu tersebut, yang ternyata sedang asik ‘bercengkeraman’ dengan istrinya di kamar. Wow! *kopril..
Apa yang menarik dari dua kalimat yang aku ambil dari cerita “Duaribu Limaratus”? Letak kata kuncinya adalah pada Mercedes tua milik tamu istri Parjo. Iya, kata menariknya di Mercedes tua. Kenapa?
Mercedes tua adalah mobil klasik. Biasanya identik dengan orang kaya dan tua. Tua berarti identik dengan orang dari jaman lalu. Mercedes yang tergolong mobil lama, kemudian identik dengan klasik dan cenderung konvensional. Artinya, mungkin orang yang datang adalah orang kaya, tua, konvensional atau kolot.
Jika yang datang adalah orang tua yang kolot, maka boleh jadi orang tua tersebut menggaet istri Parjo dengan kekayaan atau melalui orangtua istri Parjo. Untuk yang terakhir bisa digugurkan, karena istri Parjo sepertinya sedang menikmati malam itu bersama orang kaya tersebut. Berarti yang mungkin adalah kekayaan yang menggiurkan buat istri Parjo.
Menariknya, dalam cerita ini, jika dibandingkan dengan skrip sinetron yang sering mengatakan, “Aku marah!”, “Dia sedih” dan sejenisnya, sangat jauh berbeda. Setidaknya ada tiga cara yang bisa kita manfaatkan untuk menggambarkan makna dari sebuah kisah, adegan atau peristiwa dalam cerita yang kita tulis.
1. Representasi enaktif
Ini adalah cara yang lugas, yang sering dipakai dalam banyak sinetron kita. Jadi mengatakan langsung, “Tamu dari istrinya Parjo adalah seorang yang kaya raya dan sangat kuno”. Bisa juga ditambahi dengan mengatakan “… ini bisa dilihat dari mobil mewahnya yang modelnya dari jaman baheullah”.
2. Representasi ikonik
Cara ini diterapkan dengan membuat gambaran yang mewakili kenyataannya. Misalnya menggambarkan detil soal mobilnya. “Di depan rumah Parjo tampak Mercedes mewah. Mobil ini tampak antik. Selain itu mobilnya mengkilap terawat. Sudah pasti ini mencerminkan orangnya”
3. Representasi simbolik
Cara yang ketiga ini langsung menggunakan simbol-simbol yang mewakili. Pembaca dipersilahkan mengaitkan dengan pengalaman pada umumnya. Yang perlu digarisbawahi adalah ‘pada umumnya’. Lebih baik tidak menggunakan pengalaman yang sangat personal. Dengan kata lain, penulis memilih simbol yang maknanya hanya dia yang tahu, orang lain (secara umum) tidak memahami. ‘Marcedes tua dan mengkilap’ dianggap memiliki arti yang umum, yaitu orang kaya dan tua atau punya karakteristik seperti orang tua.
Kita boleh pilih menggunakan cara yang mana untuk merepresentasikan makna dibalik kata atau kalimat yang kita pilih. Nah, Kamu yang suka nulis boleh melihat kembali tulisan-tulisanmu. Kamu termasuk yang menggunakan cara yang mana?