Menulis dari Kaca Mata Penulis Ekstrovert (extrovert writers)


Menulis adalah cara kita mengikatkan ilmu atau pengetahuan yang kita miliki. Namun menulis itu bukan upaya yang mudah karena tidak semua orang bisa ekspresif dalam menuangkan pikirannya. Orang dengan preferensi ekstrovert lebih mudah untuk berinteraksi dan lebih ekspresif. Namun apakah lantas ini menjamin bahwa penulis ekstrovert akan mudah menulis?

Problem dalam Menulis

Pernahkah ingin menulis tapi setelah berjam-jam belum juga menuangkan kata pertama? Apalagi jika menulis bukan dari keinginan sendiri, melalinkan karena diwajibkan atau karena ada penugasan. Pasti para siswa yang harus bikin makalah atau mahasiswa yang sedang galau dengan skripsinya akan mengaminkan pernyataan saya ini. Jika memang betul demikian, coba tuliskan di kolom komentar ya..

Menulis itu menuangkan pikiran kita. Jika kita berpegang pada tujuan ini, tentu saja tidak banyak beban yang harus dipikul oleh orang yang hendak menulis. Kita tidak perlu menjadi calon target intimidasi dari pembaca, karena tulisan yang kita buat tidak lain hanya untuk menuangkan gagasan kita. Nah, kecuali jika kita mulai menginginkan tulisan kita dibaca oleh orang lain atau bahkan dinikmati masyarakat yang lebih luas.

Baca juga tulisan terkait:

6 Cara Menghancurkan Hambatan Menulis

4 Langkah Sederhana Belajar Menulis Cerita

Bagaimana Menulis dengan Ide yang Luar Biasa?

Berburu Ide untuk Menulis

10 Contoh Bahwa Menulis itu Mudah

 

Orientasi agar tulisan kita dibaca orang lain sudah melibatkan aspek interaksi sosial di dalamnya, minimal dalam benak penulis yang sudah mengantisipasinya. Karena hal yang demikian, seorang penulis sering menuangkan satu kata, dua kata, kemudian menghapusnya. Setiap apa yang diketikkan (baca: ditulis) selalu merasa diintai dan dihakimi oleh calon pembacanya.

Berbicara tentang orientasi bersosial dalam menulis, maka akan menarik jika kita membahas tentang preferensi dari penulis berkenaan dengan asal atau sumber energi untuk dirinya. Dalam kepribadian Jung, yang kemudian dikembangkan menjadi alat identifikasi kepreibadian oleh Myers-Briggs. Salah satu preferensi yang diukur adalah sumber energi seseorang, yang kemudian mengategorikan dua tipe orang, yaitu ekstrovert (extraversion) dan introvert (introversion).

Penulis Ekstrovert

Orang dengan kepribadian ekstrovert mengambil energi dari luar dirinya. Ia akan lebih bersemangat ketika ketemu orang lain. Ia lebih ekspresif jika dibandingkan dengan orang introvert. Orang dengan kepribadian introvert memiliki sumber energi yang berkebalikan, yaitu ketika tidak bertemu dengan orang lain. Ketika sendirian, orang ekstrovert juga merasa bersemangat dan bisa menghemat energinya. Sementara itu orang ekstrovert akan berkurang energinya ketika sendirian.

Kali ini saya akan membahas tentang penulis ekstrovert. Jika memang menulis itu bertujuan untuk mengekspresikan gagasan agar dibaca orang lain, sepertinya akan lebih mudah bagi orang ekstrovert. Namun tidak semudah itu ferguso.

Ayo sini sini, Teman-teman dengan kepribadian ekstrovert pada ngumpul. Tuliskan di kolom komentar, bagaimana rasanya ketika bersiap mengetik dan dihadapkan dengan selembar kertas (dokumen word) kosong? Apakah akan dengan mudah melaju begitu saja tiap kata dan kalimat dari pikiran kita?

menulis ekstrovert
Bagaimana Orang Ekstrovert Menulis? (foto: Freepik)

Problem Penulis Ekstroert

Mungkin buat sebagian orang bisa menuliskan idenya, misalnya dengan membayangkan akan menyerahkan tulisannya kepada sahabatnya untuk dibaca. Kita sebagai penulis ekstrovert bisa membayangkan ketika kita sedang tidak sabar menunggu senyum dari sahabat yang membaca tulisan kita, ingin segera mendengar komentarnya.

Sayangnya kertas kosong itu bersifat kering wahai Teman-teman Esktrovert. Dokumen di layar monitor kita itu bukan stimulasi yang seindah dan seramah senyum dari sahabat kita atau gebetan kita yang siap sedia menemani kita saat menulis. Bahkan kertas kosong itu tidak sebih baik dari tatapan sinis para kritikus imajinatif yang sudah siap-siap ‘mengusili’ tulisan kita. Dokumen kosong itu dingin, tidak menytimulasi, tanpa perasaan, bahkan menyapapun tidak.

Mungkin menggunakan imajinasi saat menulis, yaitu membayangkan bahwa tulisan kita ditunggu-tunggu teman kita untuk dibaca, memyangkan khalayak akan berdecak atau bahkan merasa kecewa dan sebagainya, bisa kita lakukan. Sebentar, itu sudah berkaitan dengan preferensi yang lain dari personality kita. Menggunakan imajinasi sudah bergeser membicarakan preferensi sumber pengetahuan (intuitif vs indrawi). Itu kita bicarakan nanti. Mari kita fokus kembali kepada pribadi ekstrovert (dan introvert sebagai lawannya).

Dengan kendala ini, maka para ‘penulis ekstrovert’ perlu punya strategi untuk mengatasinya, untuk mengelola dirinya dalam menulis. Nah, mari kita bicarakan ini pada tulisan berikutnya ya..


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *