Apa yang Membangun Keyakinan Diri (Self Determination) Kita?


Tak banyak orang yang bisa mendeterminasi diri, sehingga berani melengkapi kalimat, “Aku adalah….”. Apa yang membangun keyakinan diri (self determination)?

Apa yang membangun pendirian? Sumber Gambar: mindbodysmile.com

Hari ini kembali aku memandu belajar di Kelas Filsafat Pendidikan. Materinya adalah Filsafat Behaviorisme dan Pendidikan. Tak ada guncangan dunia, tak ada petir maupun hujan, tak ada SBY datang, demikian juga tak diikuti oleh Dahlan Iskan. Perkuliahan berjalan dengan lempeng, damai, sejahtera.

Seperti biasanya, metode yang digunakan dalam perkuliahan ini adalah presentasi oleh mahasiswa. Mahasiswa dikelompokkan terdiri dari 3 orang tiap kelompok. Mereka diberikan bahan kajian dan harus mempersiapkan presentasi untuk hal itu.

Selesai presentasi tentang Filsafat Behaviorisme dan implikasinya di dunia pendidikan, mahasiswa yang bertugas membawakan presentasi bertanya kepada teman-temannya, apakah ada yang mau bertanya. Sunyi senyap, tidak ada respon, tidak ada lolonga, nyanyian atau tarian hula-hula. Eh, ada satu yang bertanya tentang aplikasi behaviorisme dalam pendidikan.

Pertanyaannya, bagaimana contoh aplikasi Filsafat Behaviorisme dalam proses belajar. Mahasiswa yang presentasi menjawab, contoh aplikasinya adalah pembentukan perilaku aktif di kelas dengan menggunakan token berupa bintang. Sudah dijawab dan mudah sekali terpuaskan, sama sekali tak minta pelayanan plus plus ๐Ÿ™‚

Setelah dipancing lagi, tak ada satu ikanpun yang menyambar mata kail. Aku memposisikan jadi mahasiswa. Memang, dari awal dan biasanya, aku duduk bersama mahasiswa selama proses presentasi dan diskusi. Aku tekankan bahwa aku memang butuh bertanya. Aku sama dengan para mahasiswa yang ingin tahu sesuatu. Coba ada Syahrini, pasti aku tanyanya ke dia ๐Ÿ™‚ Jadi mahasiswa hanya perlu memuaskan rasa ingin tahuku, sebagaimana jawaban juga diberikan kepada mahasiswa yang lain.

Karena kajiannya adalah tentang Filsafat, maka aku bertanya, apakah Behaviorisme mengakui adanya aktivitas kognitif dan emosi? Dengan tegas mereka menjawab mereka tidak mengakui, karena Behaviorisme objek kajiannya adalah perilaku.

Dari jawaban inilah muncul pertanyaan selanjutnya. “Tadi dicontohkan bahwa apliksi Behaviorisme dalam pendidikan adalah penggunaan token berupa bintang. Nah, token sendirikan sebuah penguat perilaku yang harus diterjemahkan. Mungkin token punya arti menyenangkan. Nah, ‘menyenangkan’ dan proses penerjemahan token yang akhirnya bisa memunculkan perilaku tertentu, itu kan aktivitas kognitif dan emosi. Bagaimana menurut pendapatmu?”, demikian kurang lebih pertanyaanku.

Pertanyaan ini membuat penyaji presentasi jadi goyah dengan pernyataannya di awal, bahwa Behavioris tidak mengakui adanya aktivitas kognitif dan emosi. Namun mereka menjelaskan bahwa itulah kelemahan Behavioris yang tidak humanis, berusaha mengingkari humanisme, padahal mereka sendiri tidak bisa menipu diri, tidak bisa lepas dari kognisi dan emosi.

Karena dikembalikan lagi ke forum, ada juga yang memberikan tanggapan, bahwa kaum Behavioris memang tidak sepenuhnya mengabaikan kognisi dan emosi. Berdasarkan hasil belajarnya di Mata Kuliah Psikologi Belajar, mahasiswa tersebut mengatakan, dalam konteks pembentukan perilaku, mereka hanya fokus kepada perilakunya. Wah, keren juga jawabannya.

Baik jawaban dari penyaji maupun dari salah satu peserta sangat menarik. Menurutku, aku yakin, jika tokoh Behaviorisme awal dimintai contoh, mereka tidak akan menggunakan contoh yang tidak menggunakan perilaku. Misalnya token bintang dan rasa bahagia. Rasa bahagia tidak akan pernah digunakan sebagai contoh oleh Kaum Behaviorisme. Mereka pasti akan menggunakan contoh rasa yang sifatnya sensoris, misalnya kenyang, hangat, sejuk. Karena itu, stimulus pembentuk perilakunya pasti bersesuaian, misalnya pelukan untuk menimbulkan rasa hangat, air condition untuk rasa sejuk, dan makanan untuk menimbulkan rasa kenyang.

Behavioris muncul, tumbuh dan hidup di era dimana semangat jamannya adalah science yang mempunyai kriteria objektif dan empiris. Keyakinan akan hal ini dipegang teguh, meskipun tidak bia mengingkari bahwa aspek diri yang berupa kognisi dan emosi tetap ada. Tentang jawaban salah satu mahasiswa bahwa mereka tidak sepenuhnya hanya mengakui perilaku, tetapi juga kognisi dan emosi, itu sebenarnya ada di Kau Behavioris selanjutnya, bukan pendirinya.

Karena dari tadi yang dibicarakan adalah tentang pendapat tokoh atau Kaum Behavioris, aku jadi ingin bertanya tentang pendirian mahasiswa. Aku langsung bertanya, siapa diantara mahasiswa yang bersesuaian keyakinan dan Psikoanalisa. Tidak ada yang mengangkat tangannya. Begitu juga ketika aku tanya, siapa yang menyatakan diri sebagai Behavioris. Juga tidak ada yang tunjuk diri. Bahkan ketika aku bertanya apakah berarti pendirian mahasiswa adalah Humanis, juga tidak ada yang merespon.

Pantas saja, setiap jawaban atau pendapat, terlepas benar atau salah, mahasiswa terdengar ragu, tidak yakin. Ini ternyata karena mereka tidak meyakini yang manapun. Mungkin mereka juga tidak punya pendapat apapun, karena tiap kali aku tanya pendapat mereka, mereka semuanya diam.

Memang, bisa jadi karena kebiasaan digurui oleh pengajar bisa membentuk sikap ini. Namun demikian, kecurigaan bahwa tidak menetapkan prinsip atas apa yang diyakini juga punya kontribusi membentuk sikap mahasiswa.

Kenapa mahasiswa tidak punya keyakinan, ternyata rentetannya panjang. Penyebab yang jelas adalah, 1) mereka terbiasa diajari atau digurui, 2) apa yang dipelajari jarang sekali dikaitkan dengan kehidupan mereka, 3) belajar ditujukan untuk keperluan yang lebih instan, ujian dan 4) murid atau mahasiswa tidak dibebaskan atau diberi kesempatan menggunakan prinsip, keyakinan dan pendapatnya.

Aku minta mahasiswa bikin lingkaran dengan mengaitkan ujung jari telunjuk dengan ujung ibu jari. Aku tekankan agar dibuat sebundar mungkin. Sementara itu, mereka harus mengikuti kata-kataku. Aku minta mereka melekatkan bulatan itu di pipi, sedangkan aku mencontohkan melekatkannya di dahi. Ternyata sebagian besar melekatkan di dahi dan sebagian yang lain kebingungan.

Apa maknanya dari aktivitas terebut? Seorang pendidik, jika mengajari hanya dengan kata-kata, maka itu hanya akan diingat sebagai pengetahuan. Kebanyakan yang terjadi adalah demikian. Apa yang dikatakan pendidik jangang diterjemahkan dalam membentuk pendirian atau diwujudkan dalam perilaku. Apa yang dipelajari di kelas, akan hilang jika pulang ke rumah (classroom effect), dan akan benar-benar lenyap pasca ujian.

Bawah sadar, orang akan lebih mudah membentuk perilaku jika pendidik atau gurunya menjadi teladan, melakukan apa yang diajarkan. Seperti mahasiswa di kelas Filsafat Pendidikan ini, mereka lebih mudah berperilaku karena ada contoh. Maknanya, dalam proses belajar, jika ingin punya dampak sampai pada pembentukan pendirian, sikap dan perilaku, maka haruas ada aktivitas, mengaitkan dengan kehidupan serta memberikan contoh.

Karena aku bertanya tentang pendirian mahasiswa atas aliran dalam psikologi, maka pertanyaan ini dikembalikan kepadaku. Kalau aku ditanya hal yang sama, maka aku menjawab lebih dekat dengan Humanisme, karena aku mempelajari eksistensialisme. Namun demikian, konsentrasiku lebih kepada complexity. Melihat manusia sebagai mahluk yang kompleks. Pada perkembangannya aku lebih punya pendirian memandang manusia dengan tiga cara, complexity, simplicity dan flexibility. Ketiga cara pandang ini yang melahirkan Mosaic Learning.

Jika dikembalikan kepada pembahasan tentang Behaviorisme dan keyakinan tokohnya bahwa objek kajian manusia adalah matter and motion (materi dan gerak), maka aku menggunakan keyakinanku dengan tiga sudut pandang tersebut.

Kaum Behavioris pasti memegang kuat keyakinannya bahwa diri manusia ya perilakunya itu. Karena itu, manusia dikatakan telah berubah sebagai hasi dari belajar, jika perilakunya berubah. Maka dari itu, perubahan diri bisa dilakukan dengan mengelola perilaku.

Menurutku ada benarnya, sebagaimana orang yang meyakini tentang keagungan kognisi, bahwa manusia itu yang apa yang ia pikirkan. Begitu juga dengan orang yang meyakini emosi sebagai yang utama.

Perubahan seseorang bisa diawali dengan mengelola pikir, rasa maupun lakunya. Ada dua pertimbangan bagaimana kita akan melakukan pengelolaan. Pertimbangan pertama adalah kompetensi kita. Seperti para tokoh Behavioris yang kompetensinya adalah tentang perilaku. Mereka akan mengubah orang dari perilaku.

Yang kedua mempertimbangan pragamatisnya, mana yang paling mudah. Jika yang mudah adalah mengelola kognisi, maka lakukanlah, misalnya lewat nasehat dan ceramah. Begitu juga dengan emosi, kita bisa memberikan pengalaman atau menyaksikan kejadian. Sedang perubahan dari perilaku bisa dengan memberikan stimulus atau rangsangan.

Aku menganalogikan dengan selimut yang baru saja digunakan ketika kita terbangun pagi hari. Jika kita akan mengambil selimut dari atas, maka mana yang paling mudah untuk diambil. Iya, bagian ujung teratas yang paling dekat dengan kita. Apakah dengan diambil salah satu bagian selimut, bagian yang lain tidak ikut terangkat? Pasti yang lainnya ngikut bukan?

Artinya, perubahan bisa dilakukan dengan bagian yang punya potensi menimbulkan perubahan. Dengan bahasa lain, fokus kepada kelebihan atau potensi seseorang, akan lebih mudah menghasilkan perubahan.

Contohnya, ada orangtua yang mengatakan anaknya bodoh karena tidak bisa matematika. Padahal sebelumnya anaknya pandai dalam hal menggambar misalnya. Karena orangtuanya terus menerus menekankan pada apa yang tidak bisa, maka energi anak habis digunakan untuk memikirkna matematika. Sampai suatu ketika anak tersebut melupakan keunggulannya dalam menggambar. Kasihan, semua keunggulannya diabaikan dan mengilang. Sekarang tinggal fokus kepada apa yang oleh orangtuanya dikatakan sebagai kebodohan.

Padahal, dengan analogi selimut, bisa jadi anak tersebut belajar matematika melalui gambar. Ambil contoh yang paling sederhana adalah anak tetanggaku. Mereka mengeluh anaknya sulit sekali mengenali dan menulis angka. Aku bertanya kepada mereka, apa yang anak suka atau paling bisa. Mereka bilang, menggambar.

Aku meminta orangtua tersebut mengubah semua paradigma belajarnya dari menulis kepada menggambar. Jika sebelumnya ada kata ‘menulis angka’, sekarang diganti ‘mengambar angka’. Tidak harus menulis angka dengan garis, jika memang anak lebih suka membuat sketsa atau arsiran dengan pinsil. Selanjutnya, sketsa atau arsiran itu bisa dibuat garis di dalamnya. Nah, jadilah garis tersebut sebuah angka. Misalnya mengarsir hingga jadi gambar 5, maka selanjutnya di dalam arsiran itu ditarik garis hingga menyerupai angka 5. Cara lain bisa dengan mewarnai mungkin.

Demikian cerita pengalamanku hari ini dalam perkuliahan Filsafat Pendidikan. Apa makna yang Kamu dapat dari cerita ini?


6 responses to “Apa yang Membangun Keyakinan Diri (Self Determination) Kita?”

  1. Artikelnya cukup membuka paradigma & memberi insight, Pak. Karena dalam kenyataannya saya juga masih belum berpegang pada pandangan manapun dan sekadar menerima saja psikoanalisis, behavioris maupun humanistik.. Sekalipun saya cukup merasa fit dengan humanistik, tapi kalau harus mempertahankan keyakinan terhadap Humanistik yang buat saya terlalu naif & utopis, saya belum bisa.

    Kadang semua pandangan cuma diterima mentah-mentah. Karena masih bingung, boro-boro dikaitkan dengan pengalaman sehari-hari, mau menganut salah satu aliran tertentu saja rasanya males. Haha…

    Jadi berniat mendalami Sapsi lagi Pak, biar makin paham, nggak gampang goyah dan bisa berargumentasi… Berasa selama ini jadi mahasiswa yang dangkal pikirannya ๐Ÿ™

  2. ini tulisan yang singkat tapi isinya sangat mengena. sepertinya bukan hanya pada anak-anak yang harus diberi penjelasan yang konkrit-praktis, orang dewasa pun harus demikian. mengapa, karena dengan penjelasan yang konkrit-prktis ini bisa membuat pemahaman yang mendalam dan mudah diresapi, ini dapat membuat ketertarikan sendiri dan pintu untuk mengeksplor lebih luas terhadap apa yang diminati tersebut., luar biasa pak tulisannya. sangat inspiratif., ๐Ÿ™‚

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *