Berkenalan dengan Mosaic Learning


Tahu mosaic kan? Pernah lihat mosaic? Aku yakin semua pada tahu mosaic. Iya, benar. Mosaic adalah gambar yang tersusun dari kepingan-kepingan dengan beraneka bentuk maupun warna. Apa yang melintas di benak Kamu jika disajikan sebuah mosaic?

Karya seni mosaic punya keunikan jika dibandingkan dengan hasil karya seni yang lain. Mosaic itu merangkum sudut pandang. Jika dilihat dari jauh, justru semakin terlihat gambarnya. Jika lebih didekati, maka akan semakin jelas unsur pembentuknya. Bandingkan dengan lukisan, hologram atau patung.

Lukisan memang hampir sama dengan mosaic, yaitu sama-sama hasil karya seni rupa dua dimensi. Bedanya, setiap unsur lukisan, yaitu warna dan goresan telah ditakdirkan untuk menjadi unsur yang menetap. Jika sebuah cat berwarna coklat disapukan pada kanvas untuk menjadi gambar jalan, maka sapuan cat itu ditakdirkan menjadi gambar jalan di lukisan tersebut. Jika warna hijau digoreskan untuk menjadi daun, maka warna yang tergores itu menjadi daun. Bagian gambar yang jadi tersebut (jalan dan daun) jika dipindahkan, maka akan tetap menjadi gambar jalan dan daun.

Berbeda dengan mosaic. Apapun unsur yang dipadukan, dalam mosaic masih memungkinkan dihasilkan gambar yang sama, seperti yang diinginkan pembuatnya. Meskipun kita mengurangi kepingan dengan bentuk atau warna apapun, gambar yang kita inginkan masih dapat dibuat.

Bandingkan dengan horogram. Berbicara tentang horogram, memang ada kesamaan dengan mosaic, yaitu tentang persepsi menyeluruh yang membentuk makna. Dalam horogram, sudut pandang yang beda, menghasilkan gambar yang beda pula. Antara satu gambar dan gambar yang lain bersinggungan, tetapi tidak saling mendukung untuk membentuk satu tampulan bersama. Antar sudut pandang berlomba untuk menampakkan gambarnya masing-masing. Lain halnya dengan mosaic. Mosaic membangun satu gambar utuh. Persepsi yang dibangun adalah kebermaknaan menyeluruh untuk membangun sebuah tampilan.

Yang terakhir, mari kita coba bandingkan dengan patung. Seni rupa yang terakhir ini jelas yang paling berbeda dari lukisan, hologram, maupun mosaic. Tahu apa bedanya? Iya, patung berbentuk tiga dimensi. Karena itu, patung merupakan bentuk real dari hologram, tapi punya kesamaan kesatuan dengan mosaic. Patung juga seperti melipat kanvas menjadi bentuk yang punya ukuran panjang, lebar dan tinggi. Namun demikian, patung juga terbangun atas elemen yang sekali cipta sudah merupakan takdirnya (seperti lukisan). Jika sebuah kayu atau batu sudah terukir menjadi kepala, maka sampai kapanpun hasilnya akan tetap menjadi kepala. Berbeda dengan mosaic, setiap bagian bisa menjadi apa saja, beralih peran, berganti posisi.

 

Pembelajaran Mosaic

Itu tadi telah kita bahas mosaic sebagai karya seni dibandingkan dengan hasil karya seni rupa yang lain. Sekarang mari kita letakkan analogi mosaic ini dalam pembelajaran.

Pembelajaran dengan menggunakan analogi mosaic didasari oleh prinsip mosaic triadic, yang terdiri dari complexity, simplicity, flexibility. Mari kita jelaskan satu persatu.

 

Complexity (boleh dilambangkan dengan huruf ‘x’)

Mosaic itu kompleks, begitu juga dengan pembelajaran. Sekali kita merekam fenomena dan memaknai, sesungguhnya terjadi sebuah proses yang rumit, saling terkait satu sama lain. Dalam diri telah terjadi mulai dari proses atensi, persepsi, asosiasi, memori, reproduksi dan seterusnya. Belum lagi jika belajar dilakukan secara kolaboratif, melibatkan orang lain. Terjadi proses pembentukan makna bersama, persepsi diri yang memperkuat persepsi orang lain dan seterusnya. Begitulah pembelajaran.

Dalam mosaic learning, setiap bagian diperhitungkan punya kontribusi mempengaruhi hasil dan proses belajar. Jika kita memilih sebuah metode yang melibatkan visual, auditori, somatic, maka media juga dipilih dengan cara yang tepat. Begitu juga ramuan yang dihantarkan lewat kepiawaian sang fasilitator, juga harus diramu secara tepat. Satu stimulus mungkin punya pengaruh besar buat proses belajar. Perhatikan contoh berikut:

“Kita telah menyelesaikan satu tugas. Yang berikutnya ini lebih susah….”

Kalimat tersebut sepertinya sederhana, tapi coba perhatikan dua hal yang berbeda yang menimbulkan persepsi emosi yang berbeda pula. “Kita telah menyelesaikan satu tugas…” adalah bentuk penghargaan yang membuat bergairah. Tapi “Yang berikutnya ini lebih sulit…” akan membuat orang mengerahkan energi untuk waspada. Seringan apapun tugas berikutnya, pasti akan mudah dipersepsikan sebagai hal yang sulit. Itu hanya salah satu contoh campur tangan prinsip complexity dalam pembelajaran.

 

Simplicity (boleh dilambangkan dengan huruf ‘y’)

Berlawanan dengan complexity, simplicity adalah bagian yang sederhana dalam belajar. Pemotongan proses, alur yang mudah, penguraian materi yang padat adalah contoh usaha yang didasari prinsip simplicity ini.

Setiap unsur pembelajaran yang diramu memang menjadi sesuatu yang rumit. Tapi penyederhanaan mutlak harus dilakukan oleh seorang fasilitator pembelajaran. Seperti mosaic, rumit dan sederhana ini bisa saling berganti tergantu sudut padang kita dalam melihatnya. Benang yang kusut akan terurai jika kita mendekatinya sampai mengetahui setiap celah seratnya. Bayangkan kita masuk dalam simpul-simpul benang itu. Dengan sendirinya mata kita akan mengurainya. Mosaic pun demikian, kita bisa mendekat atau menjauh untuk menghasilkan persepsi menyeluruh dan parsial. Sesungguhnya di dalam kerumitan itu ada kesederhanaannya.

 

Flexibility (boleh dilambangkan dengan huruf ‘z’)

Flexibility adalah kelenturan kita dalam menarik ulur yang sukar menjadi sederhana dan masuk dalam kerumitan dari hal yang tampak sederhana. Dalam proses pembelajaran beralih dari kedua hal itu dibutuhkan. Permasalahan yang sederhana kita perlu urai setiap unsur yang terlebit di dalamnya. Hal ini penting untuk mengetahui bagaimana penyederhanaan dalam proses belajarnya.

Jika peserta ajar menghadapi persoalan yang rumit, maka kita perlu bantu menguraikannya, sehingga lebih mudah untuk mengelolanya. Begitu juga persoalan yang tampak sederhana yang ternyata dapat menjadi persoalan yang runyam dalam proses belajar, coba kita cari unsur-unsur yang memperumitnya. Baru kemudian kita urai menjadi fasilitasi yang memudahkan peserta ajar untuk mencari sendiri jalan keluarnya.

Ini adalah prinsip yang melandasi mosaic learning dalam bekerja. Prinsip ini yang kemudian menjadi pijakan lahirnya berbagai metode yang menggunakan analogi mosaic dalam proses belajar. Dengan mosaic learning, kita akan belajar dengan cara yang kreatif untuk hasil yang berkualitas.

 Tertarik untuk belajar dengan dan mempelajari Mosaic Learning?


30 responses to “Berkenalan dengan Mosaic Learning”

  1. […] Karena aku bertanya tentang pendirian mahasiswa atas aliran dalam psikologi, maka pertanyaan ini dikembalikan kepadaku. Kalau aku ditanya hal yang sama, maka aku menjawab lebih dekat dengan Humanisme, karena aku mempelajari eksistensialisme. Namun demikian, konsentrasiku lebih kepada complexity. Melihat manusia sebagai mahluk yang kompleks. Pada perkembangannya aku lebih punya pendirian memandang manusia dengan tiga cara, complexity, simplicity dan flexibility. Ketiga cara pandang ini yang melahirkan Mosaic Learning. […]

  2. sangat tertarik..

    sepertinya x dan y seringkali saya pakai sadar atau tidak,
    tapi yang z.. belum terkontrol baik (kurang sabar menggunakan x atau y), jadi g menyelesaikan benang ruwet tapi malah ditarik hingga jadi menggumpal menjadi bola hampir pejal dan sulit diuraikan lagi.. 😀

      • mau banget dong, hehe, Kapan? dimana? berapa? kalau boleh minta yang murah meriah, biar terjangkau….terus menghubunginya kemana? ke twitter ajakah?caranya gimana?apa cukup mention saja?terimakasih

        • Mosaic learning masih di kosep dasar. Kalau ‘how to’ nya masih digunakan untuk fasilitasi belajar kreatif dan analisa iklan. Jadi Mosaic Learning-nya sendiri belum dicoba untuk dilatihkan. Kalau belajar langsung sih boleh

          • analisa iklan? kebetulan saya ingin belajar juga soal kreativitas dan Psikologi Advertising, belajar langsungnya dimana? kapan dan jam berapa?Terus hubunginya kemana Rudicahyo?

          • Kalau analisa iklan, aku sendiri juga masih proses belajar. Penyaluran hobi dan potensi kecerdasan visual saja 🙂

          • terus gimana keterkaitannya dengan emosi? apakah bisa untuk melakukan terapi emosi juga? dengan mengekspresikan dalam bentuk mozaik? bila iya, apakah ada teorinya mengenai ini?

          • Kalau terapi butuh basic clinical psychology. Aku sendiri sudah tidak berkcimpung di psikologi klinis sejak 2006. Coba cek tentang paroxical thinking di rudicahyo.com. Itu terapi dari victor frankl yg menggunakan fondasi mosaic psychology

        • oh belum di coba untuk dilatihkan, maaf baru baca lagi dan mesti berulang, kalau dilatihkan untuk training tersendiri sepertinya seru dan bisa mengundang peminat yang banyak terutama bisa disisipkan pada event2 para coaching atau motivator baik pemula, maupun yang sudah profesional, kebetulan saya sudah nulis sedikit buku terutama yang menyangkut tulisan,, tolong bantu doa saja biar semuanya lancar,, mozaik termasuk dalam penulisan juga,,,

          • Iya harapannya seperti itu. Sedang terus dipelajari. Belakangan ini penerapannya lebih banyak ke storytelling

          • Kalau pelatihan untuk coach atau fasilitator sudah sering sebenarnya, tetapi masih belum benar-benar menerapkan mosaic psychology

      • hmm I see, iya dan untuk story tellingnya itu apakah ada dampak pada kecerdasan emosi anak?saya baru baca sedikit tapi masih kurang datanya, apakah ada sumber/pernah meneliti ini?

  3. Maaf mas RudiCahyo artikel ini paroxical thinking di rudicahyo.com sebagai terapi dari victor frankl yg menggunakan fondasi mosaic psychology, ada dimana?saya bongkar semua blog sampai ke tulisan yang lama, tapi belum nemu, mohon maaf merepotkan, terimakasih

  4. kalo boleh tau ini pendapat dari tokoh terkenal atau ahli bukan? kalo iya. siapa, saya tertarik dengan teori ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *