Cara bermain anak itu unik. Anak paling tahu cara bermain, meskipun orang dewasa sangat tahu aturan main. Lebih sering keduanya tidak ketemu. Bagaimana seharusnya orangtua menyikapinya cara bermain anak?
Bersama anaknya yang masih 1.5 tahun, Bu Titin pergi ke lapangan di depan rumahnya. Lapangan ini biasanya digunakan badminton. Di tengah lapangan, ada net yang setinggi ukuran net bulu tangkis. Karena ada net, maka Bu Titin bermaksud mengajak anaknya main voli.
Bu Titin menuju seberang net, sementara anaknya berada di sisi yang lain. Bola dipegang anaknya. Si anak sudah bersiap-siap akan melemparkan bola. Bu Titin bersiap menyambut. Dan ternyata, Si anak melemparkan bolahnya ke arah net, bukan lewat atasnya. Ia sepertinya bermaksud memasukkan bola melalui lubang-lubang net. Karena lubangnya tidak cukup untuk bola, maka ia mengulangi lagi. Bola selalu terpantul. Karena bolanya memantul terus, maka anak selalu melemparkan ke net untuk bermain pantul-pantulan bola.
Bu Titin yang melihat anaknya melakukan hal yang tak biasa, kebosanan karena lama menunggu anaknya melempar bola melalui atas net. Bu Titin bergegas ke seberang net, tempat anaknya berada. Ia menuntun tangan anaknya yang sedang memegang bola, untuk melemparkannya ke atas net. Tangan anak serasa kaku. Sepertinya anak menolak. Bu Titin memaksanya dengan tenaga yang lebih kuat. Karena anak merasa ibunya menuntunnya dengan sangat kuat, ia marah. Anak menjerit dan menangis. Ibunya bersikukuh memberi tahu anaknya, bahwa cara mainnya ya dengan melemparkannya melewati atas net.
Kalau saya jadi anaknya Bu Titin, saya akan bilang, “Mama, saya tahu Mama ingin mengajak saya main bola voli. Saya tahu cara mainnya dengan memukul bola melalui atas net. Tapi yang sedang aku mainkan ini bukan bola voli. Ini namanya pantulan bola-bola naga”. Kalau saja anaknya bisa bilang seperti itu, mungkin Bu Titin baru menyadari kesalahannya. Atau malah merasa anaknya aneh? Kalau Kamu jadi Bu Titin bagaimana?
Ilustrasi cerita Bu Titin dan anaknya menunjukkan bawah anak dan orang dewasa berpikir dengan cara yang berbeda. Buat anak, semuanya serba baru. Apa yang ia lihat adalah baru. Yang ia pikirkan dan rasakan adalah baru. Karena baru, maka tidak haram buat anak untuk memberi label apapun untuk sesuatu yang baru ia kenal. Bahkan anak sebenarnya tidak melabeli. Jika menurutnya menarik, maka itu yang ia ambil. Begitu juga dengan cara yang ia kerjakan. Jika menurutnya itu asik, ya seperti itu cara yang mereka tempuh.
Bu Titin menggunakan cara berpikirnya, sudut pandang orang dewasa. Orang dewasa sudah terbentuk oleh pengetahuan yang ia miliki, pengalaman yang telah ia jalani dan ingatan yang telah mereka simpan sekian lama. Semuanya serba biasa buat Bu Titin. Karena sudah menjadi kebiasaan, maka seperti itulah yang benar. Akibatnya, apa yang dilakukan oleh anak dianggap aneh, karena tidak seperti yang biasa diketahui atau dilakukan oleh Bu Titin.
Sebagai orangtua atau orang yang lebih dewasa, maka kita seharusnya:
1. Melihat dengan sudut pandang anak
Seperti yang aku sebutkan sebelumnya, melihat dengan sudut pandang anak berarti melihat segala sesuatu tampak baru. Kita melihat dengan rasa ingin tahu dan tanpa praduga.
2. Hilangkan asumsi
Memang tidak mungkin menghilangkan sama sekali asumsi kita. Tapi kita bisa menahannya untuk sementara. Asumsi kita dengan kenyataan yang sedang dilakukan anak adalah dua hal yang berbeda, bisa dibandingkan, tetapi bukan untuk saling meniadakan atau menggantikan. Aritnya apa? Apa yang kita asumsikan benar, tidak lantas menggantikan apa yang oleh anak dianggap benar.
3. Munculkan rasa penasaran dalam diri
Jika anak melakukan sesuatu yang tak biasa, boleh juga sih kalau dianggap aneh. Tetapi tetap dengan cara pandang yang positif, memandang keanehan sebagai keunikan. Karena itu, terus cari tahu, apa sebenarnya yang dilakukan anak.
4. Temukan bagian yang menarik
Amati apa yang dilakukan oleh anak. Apapun istilah yang mungkin diberikan atas perilaku anak, lihat dengan penuh ketertarikan. Kita perlu berlatih untuk melihat dari sisi menariknya. Sepertinya mudah, tapi jika tidak terbiasa, kita akan terpancing untuk merevisi, melakukan pembenahan, bahkan menyalahkan.
5. Ikuti ritme permainan anak
Jika kita sudah bisa berpikir ala anak, maka kita harus ikut juga merasakan seperti apa yang dirasakan oleh anak. Meski tidak persis, tapi kita bisa mengondisikan diri menjadi antusias dengan permainan. Cobalah ikut bermain dengan cara anak secara ekspresif. Berdayakan seluruh gerak tubuh, sehingga kita menjadi antusias. Temuakn nikmatnya permainan tersebut. Buat diri kita merasa nyaman dengannya.
Demikian seharunya tindakan kita atas cara bermain anak yang unik. Bagaimana pendapat Kamu, apakah Kamu punya strategi keren untuk menyikapi cara bermain anak? Bagi dong di sini!